3 03 || DREI

제 3 장

Je 3 jang

"Mereka yang bangkit usai dihantam badai tak akan lagi terusik oleh jatuhnya gerimis. Jika kamu tidak percaya, lalu untuk apa adanya ujian hidup?"

⛄⛄⛄

Hani dan kedua orang tuanya kembali ke rumahnya dengan beberapa plastik berisi kue kering rasa matcha karya tangan Linda. Hari ini begitu letih menghabiskan banyak waktu bersama sang mami dan tante Linda untuk bercerita ria bersama. Semua begitu ramah terkecuali Muhammad Alfi Danendra, putra tunggal dari Linda dan Saka. Yang katanya cowok bercahaya kaya karakter webtoon, namun di mata Hani hanyalah cowok balsem, berisik, judes, dan sok alim.

Dia melangkahkan kakinya lebar-lebar memasuki rumah. Tidak sabar ingin mengganggu sang abang yang entah saat ini sedang pusing merevisi ulang skripsinya sesuai ekspetasi atau asik rebahan seperti kebanyakan realita.

"Hani, bantuin taruh kuenya di dapur ya. Mami mau ke kamar dulu ganti sprei," titah Misa meraih sprei yang terletak di sofa.

Cewek berambut sebahu itu menggaruk kepala belakangnya sesaat. Hani berjalan sempoyongan, lagi-lagi dalam kondisi malas. "Aku boleh nolak, nggak Mi? Hani malesnya akut."

"Nggak boleh, kamu itu Mami didik biar gak males. Semangat ya, sayang," Misa menepuki puncak kepala Hani bangga. Hanya tersisa sedikit waktu untuknya menyemangati hari-hari Hani agar tidak membudayakan bersikap malas.

Dibilang seperti itu, Hani serta merta mengambil alih plastik-plastik itu lagi. Berderap menuju dapur, mengeluarkan isi plastik dan menyimpan beberapa toples di lemari gantung. Tugas selesai, tangannya bergerak mengambil satu toples kue diantaranya untuk ia makan sendiri.

"Hani, ayo santai-santai dulu sama Papi di ruang tamu."

Tiba-tiba Pandu mengajaknya bercengkrama bersama di ruang tamu. Feeling Hani mengatakan, pasti ada hal serius yang mau disampaikan, bukan sesantai apa yang papinya deskripsikan.

Memang begitu, sesuatu yang justru terlihat santuy ternyata hal serius yang dikira mudah untuk diatasi.

"Papi udah terlanjur daftarin sekolah buat kamu. MPLS kira-kira tanggal dua atau tiga. Tapi Papi sama Mami gak bisa ngerawat kamu selama itu. Kami mendadak ada urusan di Surabaya yang harus diselesaikan," ucap Pandu to the point tanpa berbasa-basi.

Tentu cewek mungil yang berhadapan langsung dengan sang papi merasa heran. Baru saja pindah kota, mengapa buru-buru balik lagi?

Hani menatap layar ponselnya yang tertera tanggal, bulan, dan juga tahun di sana. Jika dihitung hanya tersisa dua hari lagi kegiatan MPLS-nya akan berlangsung.

Sebenarnya Hani mau saja ditinggal pergi, tapi tetap saja terselip rasa tidak rela ditinggalkan keluarga saat masih repot-repotnya sekolah pertama. Jika Hani tahu kalau situasinya begini, mungkin ia memilih disekolahkan di Surabaya saja lagi. Setidaknya ia bisa bersama keluarga lengkapnya di sana.

"Yah ... harus ya, Pi? Nungguin Hani selesai MPLS terus ikut ke Surabaya, bisa nggak?" Hani mencoba menawar keputusan Pandu.

"Nggak bisa, Han. Ini permasalahannya darurat, ngelibatin banyak orang. Papi juga gak mau sebagai murid angkatan baru kamu malah izin lama-lama buat ikut ke Surabaya," ucap Pandu memberi pengertian.

"Iya juga sih. Tapi Abang tetep di Jakarta 'kan sama Hani?" tanyanya takut-takut si abang juga ikut meninggalkan rumah. Mau sama siapa nanti ia tinggal?

Pandu melepas kacamatanya sejenak. Kemudian menatap Hani dengan tatapan yang tak terbaca. "Justru Abang kamu jadi peran utama dalam masalah yang Papi selesaikan. Dia harus ikut. Beres enggaknya ada ditangan Abang kamu, Han."

Laksana tersedak angin malam, Hani memegang dadanya menetralkan pernafasan. Yang perlu dinalar, mana mungkin embusan angin bisa membuat orang tersedak? Baik, mungkin Hani menggunakan kaliamat pengandaian terlalu berlebihan.

"Terus Hani ditinggal sendiri di sini? Aduh bisa sekarat Pi kalau sehari-hari aku idup sama setan-setan penghuni rumah."

"Astaghfirullah, nggak sampek sekarat kali Han. Kamu tenang saja, Papi udah bicara sama Om Saka buat nampung kamu sementara saat Papi-Mami nggak ada."

"Nah lho, nampung aku?" Hani bingung dan mulai menegapkan posisi duduk. "Maksudnya, aku tinggal bareng mereka?"

Reaksi Hani tidak bisa biasa-biasa saja mendengar perkataan Pandu. Langit-langit atmosfer keteguhan hati Hani mendadak runtuh tertimpa remahan planet pluto dari arah barat.

Hani memang mudah berbaur terhadap lingkungan sekitar, ia juga cewek lawakan yang suka keramaian. Tapi beda lagi soal pindah-memindah rumah. Mau ditaruh mana harga dirinya, jika keluarga om Saka tahu kebiasaan buruk Hani. Ngebo, misalnya.

"Nggak, Hani nggak mau Pi. Mending ini rumah dibuka buat kos putri, nanti Hani punya temen rebahan," usul Hani asal berpendapat.

"Bahaya, Han. Papi gak bisa bayangin kalau yang nge-kos modelan Joker kaya di film. Sekali ada manusia, langsung gercep bawa tembak."

Niat hati ingin menolak, tapi apa daya malah kalah telak.

Cewek remaja itu mengusap ekor matanya yang tampak berair. Bukan sedih, tapi letih. Letih menghadapi manusia-manusia bumi yang bermasalah dan selalu dipermasalahkan. Mungkin hari ini belum saatnya, suatu hari nanti Hani juga akan letih berpura-pura tabah dengan segala urusan bumi.

Terdengar samar helaan nafas begitu berat, dan akhirnya Hani setuju dengan keputusan yang Pandu ambil demi keamanan dirinya sendiri. Hani percaya, kedua orang tuanya sangat peduli.

"Hn ... mau deh kalau gitu. Mayan juga bisa ngusilin anak tunggalnya Om Saka, biar tahu rasa."

Pandu tersenyum sumbang. Ada-ada saja yang putrinya pikirkan untuk beralih topik agar dirinya tak kepikiran.

"Memangnya masalah apa sih Pi? Tumben sampe bawa-bawa Bang Satria."

Lagi-lagi Pandu mengulum senyum, kemudian menepuk kepala putrinya pelan. Menyalurkan rasa tenang lewat telapak tangannya.

"Pi? Hani kepo nih!"

"Nanti kalau udah selesai problematikanya, biar Satria sendiri yang bilang sama kamu. Dia ahlinya soal ini."

Hani mengangguk-angguk mencoba mengerti variasi kehidupan orang dewasa. Pasti banyak tantangan, juga banyak risiko yang diambil. Sekali saja salah melangkah, hasilnya tetap harus dipertanggung jawabkan seumur hidup.

Kalau bisa, Hani ingin tetap jadi remaja saja yang walau labil tidak serumit mereka.

Seketika ia mengingat sang mami yang tiba-tiba terlintas di fikirnya. Kemudian menoleh ke kanan dan kiri. Tidak biasanya Misa melewati pembicaraan seserius ini. Hani jadi curiga di mana mami berada.

"Pi, Mami mana? Sepulang dari rumahnya Om Saka, Hani gak liat sama sekali nih," tanyanya pada Pandu.

Sekilas kedua mata Pandu menyipit melihat ke arah tembok pembatas ruang tengah. Lalu mendekat ke telinga Hani membisikkan sesuatu.

"Mami kamu di belakang bupet tuh, lagi khusyuk nyimak kita dari awal," bisiknya.

"MAMI NGGAK CAPEK NYIMAK HANI SAMA PAPI DI SITU?" teriak Hani dengan ekspresi jahilnya.

Tak lama Misa keluar dari markas persembunyiannya menatap datar sang suami. Dia tahu, Pandu yang memberi tahu keberadaannya pada Hani.

"Berasa ke-gap padahal gak salah apa-apa," ujar Misa mendekat.

Hani membalasnya dengan cengiran. "Sini Mi, sini aku peluk, biar besok-besok gak kangen. Kapan lagi Hani obral pelukan Hani."

"Idih punya anak pede amat, yang ninggal siapa yang kangen siapa," ledek Misa yang pada akhirnya mendekap erat putrinya penuh sayang.

"Eh Mami belum tahu ya? Aku ini anaknya ngangenin lho."

"Iya kalau jauh ngangenin, kalau deket pengen nampol."

"Masya Allah ..."

Sebar-bar apapun Hani, dia adalah darah dagingnya sendiri. Hidupnya tanpa Hani mungkin tidak semenarik ini.

avataravatar
Next chapter