46 Bab 45 - Senjata Suci

Tak kukira jika Gita sampai bereaksi seterkejut ini.

Mata terbelalak serta mulutnya yang sedikit menganga karena benda di tanganku, sikap itu telah mengindikasikan bahwa tombak yang aku keluarkan berada pada level yang tak biasa.

Sebenarnya aku sudah mengira bahwa semua benda pemberian Ananta itu merupakan barang berharga.

Tetapi hanya satu benda saja, sudah membuat seorang bangsawan yang terbiasa dengan perlengkapan dan barang-barang mewah, sampai bereaksi seperti ini.

Aku tak bisa membayangkan seperti apa reaksinya jika dia tahu bahwa aku masih memiliki ratusan perlengkapan yang nampaknya pada tingkat yang setara.

"Apa benda ini sebagus itu? Sampai orang dari kelas bangsawan sepertimu bisa begitu terkejut."

Sebelum menjawabku, Gita meraih dulu kerah kaos ku dan mendekatkan wajahnya padaku.

Biasanya ini bisa menjadikan suasana yang bernuansa manis diantara kami, tapi raut wajah paniknya mengatakan bahwa itu tak akan terjadi.

"Jelas saja aku sangat terkejut. Tombak yang kamu sodorkan padaku itu merupakan Senjata Suci Tingkat Langit... Tingkat Langit."

"Ah... Tenanglah dulu... Aku belum paham tentang kualitas Senjata Suci. Jadi mari kita bahas pelan-pelan."

"Huft..."

Setelah menghela napas dengan mata terpejam, Gita akhirnya melepaskan cengkraman tangannya dari kaos ku.

Kurasa aku berhasil menenangkan dirinya, jadi sebaiknya bagiku untuk memulai pembahasan ini.

"Apakah Senjata Suci Tingkat Langit begitu luar biasa? Memangnya ada berapa tingkatan dalam penggolongan Senjata Suci?"

"Sebelum aku menjelaskan, ijinkan aku meluruskan sesuatu dahulu."

"Uhm... Ya... Tentu, silahkan saja."

"Mungkinkah benda ini merupakan warisan keluargamu?"

"Jangan khawatirkan itu, benda ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan keluargaku."

"Lalu dari mana kamu bisa mendapatkannya? Ini bukanlah benda yang bisa dengan mudah kamu temukan disembarang tempat."

Aku sungguh ingin memberitahukan pada Gita mengenai kebenarannya.

Tapi jika aku lakukan, aku tak bisa membayangkan seberapa syok dirinya nanti.

Lebih baik jika ceritanya aku manipulasi sedikit, dengan harapan Gita akan mempercayainya.

Alasan segera ku sampaikan dengan semeyakinkan mungkin, walau tanpa sadar aku sampai menggaruk-garuk tengkuk leher ku.

"Hmmmm.... Sejujurnya tombak ini merupakan salah satu pemberian dari seseorang yang menjaga Rani... Lebih tepatnya seorang anggota keluarga Rani menurut ku. Kurasa ini sebagai salah satu tanda terimakasih darinya, karena aku bersedia untuk menerima dan menjaga Rani."

Namun Gita malah mengerutkan dahinya ketika mendengarkan itu, semoga dia tidak meledak-ledak lagi seperti sebelumnya.

"Kamu masih ingatkan bagaimana aku sempat sangat marah padamu, saat kamu membawa Rani? Lalu jika kamu menerima Rani hanya demi beberapa hadiah... Aku benar-benar akan lebih marah lagi padamu, melebihi sebelumnya. Mau bagaimanapun, Rani juga wanita sama sepertiku."

Secara reflek aku membuat isyarat penyanggahan dengan membuat gerakan melambai kecil, menggunakan kedua telapak tanganku didepan dada.

Tombak yang aku pegang pun sampai terjatuh diatas kasur, tepat diantara tempat duduk kami berdua.

"Waaaa.... Tidak... Tidak... Tidak... Aku tidak menerima Rani karena alasan remeh seperti itu. Alasan aku bersedia menerima Rani karena kami memiliki ikatan takdir yang sangat dalam."

"Hooo... Sekarang kamu berani membahas ikatan yang kamu miliki dengan wanita lain di depanku?"

"Uwaaa...A-ampunilah aku, bukan berarti itu keinginan ku untuk menduakan dirimu. Selain itu juga, mana tega diriku membiarkan Rani terkurung ditempat itu seumur hidupnya."

Gita jadi terlihat cemberut, tetapi tak ada aura kemarahan yang terpancar dari dirinya.

"Moo... Aku kan hanya bercanda, kenapa kamu seserius itu? Aku sudah tahu hubunganmu dengan Rani tidaklah seperti hubungan kita. Jika dilihat dari sikap polos Rani yang bahkan belum tahu apa itu asmara."

Aku jadi bisa bernapas lega setelah mendengar itu.

Hampir saja jantungku copot, karena sangat merepotkan jika Gita ngambek lagi.

Sebelumnya aku hampir kehilangan dirinya, karena itulah sebisa mungkin aku menghindari tindakan yang bisa melukai perasaannya lagi.

"Huft... Candaan mu ini hampir membuatku jantungan.Tapi syukurlah jika kamu tidak marah lagi... Ah... Satu hal lagi yang harus kamu tahu, penjaga Rani memberikan benda berharga ini sebelum aku mengetahui bahwa ada Rani disana. Jadi alasan aku membawa Rani sudah terlepas dari semua pemberian itu."

"Hooo... Jadi begitu, itu bisa sedikit melegakan bagiku. Namun apa kamu yakin? Memberikan Senjata Suci selevel ini begitu saja padaku?"

"Aku tak keberatan sama sekali. Hanya saja..."

"Katakanlah jika masih ada hal yang mengganjal dalam dirimu!"

"Tidak ada kok, aku hanya menanti penjelasanmu mengenai pembagian tingkatan Senjata Suci."

"Yah... Aku memang sudah bilang akan menjelaskannya. Jadi simaklah baik-baik."

Wajah antusias yang aku tunjukkan, nampaknya membuat Gita antusias juga untuk memberi penjelasan.

Sebelum dia memulai, Gita mengelus-elus gagang tombak tersebut dengan jari-jemarinya.

Mungkin aura Senjata Suci ini sudah menarik minat Gita untuk merasakan sensasinya secara langsung.

"Tingkatan Senjata Suci itu terbagi menjadi 8 golongan. Mulai dari Tingkat Normal, Tingkat Unik, Tingkat Istimewa, Tingkat Dunia, Tingkat Langit, Tingkat Legendaris, Tingkat Misterius, Tingkat Dewa."

"Jadi Tingkat Langit itu berada pada tingkat pertengahan atas. Aku jadi bisa memaklumi sikap panikmu."

Entah mengapa Gita jadi tersenyum kecut padaku.

"Kamu akan menarik kembali kata-katamu setelah aku menyampaikan lanjutannya. Untuk membuat Senjata Suci Tingkat Langit dibutuhkan teknik penempaan tingkat tinggi dan sumber daya yang mahalnya bukan main. Huh... Bahkan Keluargaku hanya memiliki 2 Senjata Suci Tingkat Langit."

"Tak kusangka bahkan keluarga Sanjaya yang sangatlah kaya, hanya memiliki 2 Senjata Suci yang tingkatannya sama dengan Senjata Suci ini."

Dahi ku langsung disentil oleh Gita, kupikir ucapanku barusan agak menyenggol harga dirinya.

Aku hanya bisa tersenyum dalam menyikapinya.

"Kamu pikir berapa harga satu Senjata Suci Tingkat Langit? Harganya itu sudah setara dengan separuh aset seluruh keluargaku."

Setelah mendengar harganya bisa setinggi itu, keringat dingin mulai mengalir dari tubuhku.

Kerah dari kaos yang aku kenakan jadi aku longgarkan dengan jariku.

"Kamu sungguh serius? Harganya setinggi itu?"

"Kali ini aku tidak bercanda, harganya memang setinggi itu. Senjata Suci Tingkat Langit milik Keluargaku, salah satunya dipegang oleh Ayahku dan satunya lagi disimpan dengan sangat rapat, untuk diwariskan pada Kakakku nantinya."

Tanganku jadi mulai gemetaran setelah mengetahui hal tersebut.

Yang menyebabkan aku jadi gemetaran bukanlah karena benda yang semahal itu, tergeletak begitu saja diatas kasurku.

Akan tetapi dikarenakan fakta bahwa aku masih memiliki ratusan perlengkapan yang sepertinya memiliki tingkatan yang sama dalam penyimpananku.

"Bagaimana? Kamu harus memikirkan baik-baik sebelum kamu memberikan Senjata Suci ini."

"Hmmm..."

Aku mulai merenung sejenak untuk menimbang pendapat Gita.

Lalu jari aku jentikkan, setelah sekelebat pemikiran muncul dalam kepalaku.

"Ah... Aku tetap akan memberikannya padamu."

"Heeeh??!!!"

Gita hampir terperanjat lagi, tetapi kali ini dia berhasil menahan tingkah lakunya.

Pada waktu bersamaan, pundak milik Gita langsung aku raih dengan kedua tanganku, karena rasa antusias yang kembali muncul.

"Aku tidak masalah dengan itu, malah sekarang jadi jauh lebih baik."

Perkataanku sudah membuatnya semakin heran dengan pemikiran ku, bahkan alisnya jadi terangkat keatas.

"Maksudmu?"

"Yah, sebenarnya aku masih memiliki benda lain yang tingkatnya sama dengan tombak ini."

"Hah? pada tingkat yang sama?"

"Itu benar... Dan uhum... Sekarang aku jadi bisa langsung melamar dirimu dengan penuh percaya diri dihadapan ayahmu."

Wajah Gita jadi sangat merah merona dibuatnya.

Bahkan dia jadi gelagapan saat ingin menimpali diriku.

"M-me-melamarku? B-bukannya itu terlalu terburu-buru? Masih ada hal yang harus kita raih kan? Ugh... Setidaknya biarkan aku untuk menyiapkan hatiku selama satu atau dua hari dulu."

"Huh? Aku tidak bilang akan melakukannya segera. Aku hanya bilang bahwa sekarang aku jadi bisa lebih percaya diri. Bukannya saat ini kita memang masih fokus untuk masuk Akademi Pengawas Roh dahulu?"

Sekarang wajahnya beralih menjadi sangat merah padam, karena saking malunya akan kesalahpahaman yang ia buat.

"Arya... Memang terlalu ya kamu INI!!!..."

PLETAK!!!

Sebuah jitakan dari Gita sudah melayang tepat di kepalaku.

"Ouch!"

Kejengkelan nampak dengan jelas digambarkan oleh ekspresinya saat ini.

"Kalau begitu jangan mengatakan hal yang bisa bikin orang salah paham!"

"Maafkan aku... Tapi jika kamu memang tak keberatan, aku sekarang juga sudah siap kok."

Dengan ditemani rasa agak jengkel, pipiku dia cubit.

"Jangan main-main terus, kita masih dalam pembahasan serius."

"Aku mengerti... Aku mengerti... Kita kembali pada pembahasan... Sebenarnya masih ada yang menggangguku. Jika Tingkat Langit sudah sangat langka, lalu bagaimana dengan yang 3 tingkat diatasnya?"

"Untuk Tingkat Legendaris mungkin hanya dimiliki oleh Organisasi Pengawas Roh milik negara tertentu saja. Sama halnya bagi Alam Roh, hanya beberapa kerajaan tertentu saja yang memilikinya. Pihak mana yang memilikinya saja sudah sangat dirahasiakan. Jelas Senjata Suci Tingkat Legendaris disimpan dalam pengamanan tingkat tinggi. Lalu Senjata Suci Tingkat Misterius sudah tidak diketahui keberadaannya lagi, semenjak perang besar dimasa lalu yang rincian sejarahnya telah terlupakan. Lalu Senjata Suci Tingkat Dewa, konon katanya adalah Senjata Suci yang ditempa oleh para dewa itu sendiri. Kekuatannya sudah jelas tak bisa diukur lagi. Benda seperti itu, diyakini sudah tidak ada di Dunia Fana dan Dunia Roh bersamaan dengan menghilangnya Alam Dewa."

Seusai penjelasan Gita sudah berakhir, aku langsung meraih Tombak yang masih tergeletak diatas kasur ku.

Tanpa rasa sungkan aku menyodorkannya kembali pada Gita.

"Ambilah Senjata Suci ini... Aku selalu memikirkan saat pertarunganmu dengan Druid waktu itu. Kamu bahkan sampai terluka separah itu. Dengan adanya senjata ini, aku jadi tak perlu untuk terlalu mengkhawatirkan dirimu lagi, ketika suatu saat aku sedang tak ada disisimu."

Whuuuuzzz

Sebuah dekapan erat, tiba-tiba saja Gita berikan padaku.

Aku jadi tak bisa berkata-kata dalam menyikapi tindakannya.

Dengan penuh rasa syukur dan bahagia, Gita membisikkan rasa terimakasihnya di dekat telinga ku.

"Terimakasih... Terimakasih Arya... Aku sungguh kesulitan sekarang untuk mengungkapkan rasa gembira ini. Aku merasa bingung untuk berbicara seperti apa lagi. Hari ini merupakan hari terbaik yang pernah aku rasakan. Semua yang sudah kamu berikan padaku, sangatlah berarti bagiku. Jadi biarkan aku untuk membalasmu suatu saat. Yaitu dengan menjadi Istri yang akan membuatmu bahagia disepanjang hidupmu. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk saat ini."

"Aku senang bisa mendengarnya, Gita. Selain itu kamu juga bisa berterimakasih pada Rani. Berkat dirinya pula, aku jadi memiliki kesempatan untuk mendapatkan semua ini. Aku juga akan ikut berterimakasih pada dirinya."

"Yah... Yah... Tentu saja dengan senang hati. Akan aku ungkapkan sebaik mungkin pada Rani."

"Ada apa dengan diriku? Mungkinkah aku sudah melakukan sesuatu yang mengganggu kalian?"

Aku dan Gita terperanjat karena suara Rani yang tiba-tiba terdengar ditengah pembicaraan kami.

Cklek... Krieeeekkk...

Pintu mulai berderit disebabkan seseorang yang sedang membukanya.

Setelah terbuka, seperti yang diduga bahwa Rani lah yang berada dibalik pintu tersebut.

Aku langsung mengisyaratkan Rani agar masuk kedalam, saat ini juga.

Rani pun melangkahkan kakinya masuk kedalam dan mendekati kami berdua.

Dengan kepala yang ia miringkan karena penasaran, Rani mengutarakan keingintahuannya.

"Jadi ada yang bisa ku bantu, Arya?"

Dia mengakhiri pertanyaannya dengan senyuman nan lembut.

Aku dan Gita pun langsung memeluk Rani bersama-sama.

"Waaa... Arya dan Mbak Gita kenapa? Jika ada yang dikhawatirkan, aku dengan senang hati akan membantu. Karena kalian sudah menjaga dan merawatku dengan baik."

"Sudah sewajarnya aku memperlakukan Istriku dengan baik. Malahan kami yang sudah berhutang sangat besar padamu, jadi terimakasih banyak, Rani."

"Itu benar, aku juga turut berterimakasih padamu sedalam-dalamnya. Jika butuh sesuatu, katakan saja pada kami."

Pipi milik Rani terlihat mulai memerah, dia terlihat ingin menyampaikan sesuatu namun terlihat sungkan.

Tapi dia akhirnya berani menyampaikannya juga meski agak malu-malu.

"Aku tidak paham dengan hal yang kalian maksud. T-tapi... Memang ada sesuatu yang aku inginkan. Sebenarnya aku kemari karena merasa kesepian, saat tidur sendirian di kamar yang diberikan oleh Mbah Eka. Jadi mulai saat ini, aku ingin tidur dengan ditemani. Apa Arya bersedia menemaniku?"

"Tentu saja... Mana mungkin aku keberatan dengan itu, lakukanlah selama yang kamu inginkan."

"Tapi aku juga ikut lho... Aku tak bisa membiarkan kalian tidur berdua saja."

"Pfft... He he he he..."

Kami pun berakhir dengan tertawa bersama-sama, sembari berpelukan hingga beberapa menit.

Setelah itu aku tersadar akan sesuatu, lalu melepaskan pelukan, diikuti dengan yang lain.

Aku langsung pergi menuju pintu kamar yang masih dalam keadaan terbuka.

Kemudian meraih sebuah kunci warna perak yang tergantung dibelakang pintu pada sebuah logam berbentuk kait, yaitu tempat gantungan pakaian.

Krieeekkk... Cklek... Cklek

Pintu langsung aku kunci dengan rapatnya.

Gita terlihat cukup penasaran dengan tindakan yang aku lakukan dan mempertanyakannya.

"Ada apa Arya? Tidak biasanya kamu mengunci pintu."

"Aku hanya tidak ingin sampai adikku berusaha membunuhku lagi, tiap kali aku bangun tidur."

Dengan agak terkekeh-kekeh, Gita menimpaliku.

"Eh he he he... Yah... Kurasa itu ada benarnya."

avataravatar
Next chapter