44 Bab 43 - Para Tetangga

KRIEEEEEKKK!!! BRAAAKKKKK!!!

Pintu garasi telah terbuka keatas, walaupun menimbulkan suara agak gaduh ketika dibuka.

Ku perhatikan sesaat seisi garasi yang terlihat sempit ini, setelahnya menapak masuk kedalamnya.

Jika diamati, di dalam garasi terdapat sebuah mobil keluarga berwarna putih dan beberapa rak logam yang menyimpan beragam peralatan.

Barisan rak tersebut menyimpan beberapa perkakas dan onderdil.

Lalu untuk mobil yang terparkir itu adalah milik Kakek, jadi setiap kali ingin dipakai, aku harus minta izin dahulu padanya.

Karena itulah setiap kali aku berpergian, taksi atau ojek online lah yang selalu menjadi pilihanku.

Bukannya aku tidak boleh seenaknya meminjam mobil tersebut, tapi aku tidak tahu kapan saja Kakek akan menggunakannya.

Sementara jika aku membeli kendaraan sendiri, sayangnya garasi ini kekurangan ruang meski untuk motor sekalipun.

Jadi lebih baik aku menggunakan transportasi online saja, daripada berada dalam ketidakpastian.

Tapi khusus hari ini aku meminjamnya, demi kenyamanan kami untuk berpergian ketika kencan.

Untunglah Kakek dengan senang hati dan bersedia meminjamkannya hari ini.

Tapi tentunya dia mengharapkan sesuatu dari kencan kami berdua.

Huh... Kurasa sekarang tidak perlu bagiku untuk terlalu memikirkan apa yang direncanakan Kakek.

Karena Gita sudah menunggu, aku tak ingin dia berdiri diluar terlalu lama.

BIP!!!

Kunci dan alarm mobil inipun sekarang sudah aku non-aktifkan, setelah sebuah tombol yang terdapat pada kunci mobil aku tekan.

Sesudahnya aku masuk kedalam mobil, kemudian memanaskan kendaraan untuk sejenak.

Setelah kurasa cukup, maka mobil mulai aku setir keluar garasi, lalu menuju ke tempat Gita menungguku, yaitu didepan pintu rumahku.

Sesampainya disana, aku melihat Gita sudah dikelilingi oleh beberapa ibu-ibu.

Bahkan beberapa pemuda dan bapak-bapak, ikut mengamati Gita dari agak kejauhan.

Rasa kesal seketika menyeruak dalam benakku karenanya, sangat menyebalkan jika ada pria yang memandangi kekasihku dengan tatapan seperti itu.

Sementara Gita juga terlihat agak kewalahan dalam menghadapi ibu-ibu yang mendesaknya dengan pertanyaan beruntun yang tiada habisnya.

Mobil segera aku hentikan dan keluar dari sana, untuk menghampiri Gita.

Para ibu-ibu itu langsung mengalihkan fokus mereka pada kedatanganku.

Mereka menunjukkan raut muka yang sama padaku, yaitu raut muka yang penuh akan rasa penasaran.

"Nak Arya, siapa sih mbak ini? Sudah dari kemarin ada dirumah nak Arya terus."

"Iya, apakah mbaknya ini merupakan kerabat mas Arya?"

"Mbaknya juga cantik banget, senang deh kalau mau jadi menantu saya."

Ucapan yang terakhir itu sungguh membuatku cukup kesal.

Ditambah para pemuda dan bapak-bapak yang mengamati dari jauh, saling berbisik sembari memandangi Gita.

Mereka jelas memandangi Gita karena terpesona akan kecantikannya.

Aku jadi tersenyum kecut karena semua hal itu.

Kesabaranku hampir meledak, namun aku usahakan agar tetap tenang dan berkepala dingin.

Perlahan aku melangkah mendekat pada Gita, lalu aku meraih bahunya dengan lengan kananku.

Dengan cepat tapi lembut aku tarik Gita, dia pun jatuh kedalam dekapanku.

Semua orang yang mengamati kami, nampak begitu keheranan.

Sembari menampilkan senyum yang menyembunyikan sebuah maksud, aku memberikan jawaban pada mereka.

"Maaf... Karena dia kesulitan dalam memberikan jawaban, dia sebenarnya agak pemalu."

"Owalah... Mbaknya pemalu toh. Pantas dari tadi kebingungan waktu ditanya."

"Lalu nama mbaknya siapa, mas Arya?

"Perkenalkan, namanya adalah Gita... Lalu terkait siapa dia... Gita merupakan calon Istri saya. Jadi kami sudah mulai tinggal bersama mulai saat ini."

"HEEEEEEHHHHH????!!!!!"

Mereka seketika meneriakkan keterkejutan mereka secara serentak.

Sementara Gita juga sama terkejutnya dengan mereka, namun pada saat yang sama diiringi oleh rasa malu.

Wajahnya yang mulai merona kemerahan, ditemani ekspresi menahan malu yang sangatlah imut.

Membuat orang-orang yang awalnya menunjukkan kekagetan, beralih menjadi terpana oleh nuansa manis dan imut yang diciptakan oleh ekspresi Gita.

Untuk menutupi rasa malunya, Gita menutupi wajahnya dengan mendekapkan wajah miliknya ke dadaku, meski badannya harus agak menunduk.

"UWAAAA... Arya kenapa kamu bicara seenaknya? Dan lagi kamu bilang aku adalah calon Istrimu didepan banyak orang."

"Apakah ada yang salah? Maaf jika sedikit mengganggumu."

Gita menyanggah pertanyaanku dengan sedikit menggelengkan kepalanya, walau wajahnya masih mendekap didadaku.

"Uhm tidak... Aku senang kamu mengatakan itu. Hanya saja ketika didepan banyak orang, aku jadi sangat malu dan bingung untuk menyikapinya."

Para ibu-ibu yang melihat tindakan kami berdua, malah senyam-senyum seolah mereka baru saja mendapat bahan baru untuk mereka obrolkan.

Sementara para pemuda dan bapak-bapak yang berada agak di kejauhan, malah gigit jari serta menunjukkan reaksi kekecewaan.

Beberapa ucapan mereka, samar-samar terdengar di telingaku.

"Sial... Sudah jadi calon Istri toh."

"Padahal mbaknya cantik sekali, sayang ternyata telah jadi milik orang."

"Arya sialan... Beruntung banget bocah satu ini."

"Cinta pada pandangan pertamaku, sudah langsung kandas pada pertemuan pertama."

Reaksi kekecewaan para pemuda dan bapak-bapak itu, memunculkan rasa puas dalam benakku.

Dengan begini, mereka tak akan berani mendekati Gita sedikitpun.

Disisi lain, para ibu-ibu malah memberikan selamat padaku.

"Owalah... Selamat ya mas Arya, sekarang sudah punya calon Istri, padahal masih muda begini."

"Syukurlah mas Arya, bisa dapat Calon Istri semanis mbak Gita."

"Semoga bisa langgeng ya mas."

Aku kesulitan untuk menahan senyuman yang hendak keluar, namun sebisa mungkin diriku untuk bersikap <stay cool>, lalu membalas ucapan mereka.

"Ah... Terimakasih banyak, atas ucapan selamatnya. Saya cukup bahagia bisa mendengar itu. Semoga hubungan kami bisa sampai ke jenjang selanjutnya, jadi saya mohon doanya."

"Amin..."

"Sama-sama mas Arya, tentu saja akan kami doakan."

"Besok kalau mau hajatan, kami diundang ya."

Sayangnya hal seperti pernikahan, masih merupakan hal yang jauh bagi kami.

kami berdua harus memasuki Akademi Pengawas Roh dahulu dan menjadi seorang Praktisi Roh yang mumpuni.

Setelah tujuan kami tercapai, barulah kami akan memikirkan soal pernikahan.

Cukup sulit bagiku untuk membuat alasan lagi jika begini, terpaksa aku harus mengarang sebisanya.

Bahkan aku sampai menggaruk kepala bagian belakangku ketika membuat alasan.

"Tentu saja, meski masih agak lama karena banyak yang masih perlu kami persiapkan. Lalu masih ada pendidikan yang harus kami tempuh juga."

"Hmmm... Begitu toh, yasudah jika begitu. Tapi jangan lama-lama, takutnya keburu diembat orang."

"Dia ada benarnya lho mas, habisnya mbak Gitanya sendiri juga sangatlah cantik."

"Tak perlu khawatir soal itu, karena hubungan kami tidaklah memiliki ikatan selemah itu..."

Sebelum aku melanjutkan kalimatku, aku langsung mendekap bahu hingga kepala Gita dengan pergelangan tangan kananku.

Kelopak mata Gita terbuka lebar-lebar, namun sebelum dia menunjukkan reaksi lain, aku sudah melanjutkan kalimatku dengan tatapan mata <ikemen>.

*(Istilah ikemen adalah neologisme portmanteau yang berasal dari kata Jepang ikeru atau iketeru dan menzu. Ikeru dan iketeru berarti "keren", "baik" dan "menarik", sedangkan menzu adalah Jepangisasi "laki-laki". Istilah ini telah digunakan untuk referensi pria tampan yang ditampilkan dalam budaya pop Jepang.)

"Aku ini sebenarnya cukup egois... Jadi mana mungkin aku membiarkan orang lain untuk menyentuh milikku seorang... Milikku yang paling berharga."

Wajah Gita langsung menjadi sangat kemerahan, bahkan bibirnya sampai gemetaran.

"Hwaaaaaa... A-apakah kamu benar-benar tidak merasa malu dengan u-ucapanmu barusan. Setidaknya jangan katakan itu ditempat umum, aku jadi sangat malu jika dilihat oleh banyak orang."

Tapi aku sudah tak bisa untuk menghentikan tindakanku.

Aku sangat ingin menunjukkan pada para pria yang mengamati kami, bahwa Gita memang adalah milikku.

Tanpa rasa sungkan, aku pegangi dagu Gita menggunakan jari-jemari tangan kiriku.

Kemudian mendekatkan wajah kami berdua, dan saling menatap dalam jarak yang sangat dekat.

"Apa yang harus membuatku malu? Ketika aku menyatakan kepemilikan terhadap wujud keindahan ini."

"H-hww-...Hwaaaaaaa... uh..."

Seketika Gita jadi linglung dan kehilangan daya.

Pikirannya seolah sudah melayang pergi ketempat lain.

Karena tubuhnya yang jadi lemas dan tak sanggup berdiri, aku akhirnya menggendong dirinya.

Sebelum aku membawa Gita pergi, aku mengucapkan pamit terlebih dahulu pada ibu-ibu yang masih terdiam mematung.

"Baiklah bu, saya mohon pamit. Sepertinya Gita sudah tidak kuat berdiri lagi. Jadi saya permisi dahulu."

Masih dengan gaya seorang ikemen, aku menggendong Gita masuk kedalam mobil, yang mana pintunya masih terbuka.

Disusul diriku yang memasuki bangku kemudi, setelahnya menyalakan mesin.

Sementara itu, ibu-ibu yang masih dalam posisi mematung, sudah mulai saling berbicara.

"Jika saja aku masih muda, mungkin aku sudah jatuh hati pada mas Arya ini."

"Aku rasa juga begitu, sungguh indahnya masa muda."

"Jadi iri rasanya, andaikan suamiku juga bisa bersikap begitu."

Sementara para pria mulai kembali gigit jari, setelah melihat perbuatan yang aku lakukan pada Gita.

Mereka saling bergumam dengan penuh nada iri dan kekecewaan.

Meski begitu, aku tahu sebenarnya mereka tidak memiliki niat buruk, hanya sekedar rasa frustasi.

"Uwaaa... Andai saja aku bisa bertukar posisi."

"Arya sialan... Beraninya dia embat sendiri cewek secakep itu."

"Dapat wangsit mana bocah itu???!!! Kok malah nggak ajak-ajak teman-temannya?!"

*(Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti wangsit adalah pesan (amanat) gaib.)

"Aaahhh... Cintaku pergi semakin jauh dan tak terjangkau."

Pada saat yang sama aku mulai menjalankan mobil, sembari melambaikan tangan pada ibu-ibu yang mulai menoleh pada kami, melalui kaca jendela yang terbuka.

BRUUUUMMMMM!!!

Akhirnya dengan mobil yang mulai melaju, kami pergi menjauh meninggalkan kumpulan para tetanggaku.

Dari kaca spion aku dapat melihat para pria yang mengamati kepergian kami, terlihat begitu lunglai karena tengah mengalami tekanan batin.

Benar-benar hari yang menarik, semenjak aku bertemu dengan Gita, hidupku semakin berwarna.

Diiringi perasaan senang, aku melirik Gita kembali dengan tatapan mata yang tajam dan lembut.

Milikku yang paling berharga? Kurasa itu memang benar adanya.

Dalam kencan ini, akan aku buat Gita sebahagia mungkin dan melupakan pengalaman pahitnya belum lama ini.

avataravatar
Next chapter