43 Bab 42 - Kencan Pertama

Pagi ini diawali dengan sebuah keributan lagi, kurasa akhir-akhir ini hidupku sudah kehilangan masa damainya.

Aku benar-benar kesulitan untuk menenangkan Dhita yang sedang mengamuk.

Sementara itu Gita tidak merasa malu seperti kemarin, yaitu saat kami pertama kali terpergok tengah tidur dalam satu ranjang.

Justru dia sekarang malah memberikan tatapan dan senyum menantang terhadap adikku.

Karena itu pula, Adikku lebih beringas amukannya dan membuatku semakin repot.

Disisi lain, Rani hanya menatap kami dengan penuh rasa heran.

Pada akhirnya semua keributan itu dapat dihentikan setelah Kakek datang.

Tapi kami bertiga yaitu aku, Gita dan Rani jadi mendapatkan ceramah panjang lebar dari Kakek selama 2 jam.

Setelahnya aku berbicara empat mata dengan Kakek didepan teras halaman belakang.

Sementara Gita diminta untuk mengakrabkan diri dengan Rani dan juga mengajari cara hidup manusia normal pada umumnya, karena permasalahan ingatan yang diderita oleh Rani.

Kembali pada aku dan Kakek yang tengah berbincang cukup serius.

Setelah pembahasan ini memakan cukup banyak waktu, akhirnya aku selesai juga menceritakan bagaimana diriku bertemu dengan Rani, yang tengah tersegel dalam tidur panjang dan juga Ananta yang menjaganya.

Tetapi aku tidak memberitahu dengan detail mengenai apa saja yang kudapatkan dan aku pelajari selama di dimensi kecil itu.

"Begitulah hubunganku dengan Rani, bagaimanapun juga dia adalah Istriku. Jadi aku mohon ijin agar dia boleh tinggal bersama kita juga, Kakek."

Kedua telapak tanganku saling bertepuk dengan rapat didepan dada, saat aku memohon pada Kakek.

Kakek tidak langsung memberikan jawaban, dia memikirkan keputusan yang akan diambil dengan cukup serius untuk beberapa menit.

Pada akhirnya Kakek mengendurkan raut wajahnya, nampaknya Kakek sudah membulatkan keputusannya.

"Lalu bagaimana dengan Gita, soal hubungan kalian sekarang jika kamu tetap mempertahankan Rani sebagai Istrimu."

"Gita sudah memutuskan untuk melanjutkan hubungan kami. Lalu soal Rani, Gita sepertinya sudah menerima kehadiran Rani. Meski dia yang menetapkan aturan dalam hubungan antara aku dengan Rani."

"Mau bagaimana lagi, itu sudah sewajarnya. Gita adalah wanita yang lebih dulu menjalin hubungan denganmu. Meski aku tidak tahu bagaimana kamu dan Rani bisa memiliki ikatan dan janji meski kelahiran kalian terpisah oleh waktu yang tak terkira."

"Yah... Gita lah yang sudah menjadi korban paling menderita oleh kejadian ini. Meski begitu, dia tidak meninggalkan ku sama sekali. Aku sangat bersyukur karena sudah memilikinya sebagai kekasihku. Karena itulah, Gita memiliki hak untuk mendapatkan kebahagiaannya kembali."

Kalimat itu aku akhiri dengan menoleh pada pintu belakang, sembari mendengarkan suara samar Gita dari jauh yang tengah mengajari Rani.

Mendengar suara Gita saat ini, entah mengapa aku jadi merasa amat bahagia.

Tanpa sadar aku sudah tersenyum sendiri saat membayangkan kembali wajah Gita, saat dia didalam kamarku pada malam itu.

PLETAK!!!

Saat aku tengah tenggelam dalam lamunan, Kakek tiba-tiba saja menjitak kepalaku.

"Ouch!!! Aduh..."

Bagian kepala yang sehabis dipukul oleh Kakek, aku usap-usap dengan tanganku.

"Apa yang Kakek lakukan?"

"Ukir baik-baik ini didalam kepalamu! Jika kamu sampai membuat Gita menangis lagi, aku tak akan segan untuk menghajar habis-habisan dirimu tanpa ampun sekalipun."

"Huh... Aku sudah mengerti Kek, akan aku ingat itu. Lagipula jika sampai terjadi lagi, aku yang akan menghukum diriku lebih dulu. Aku sungguh tak ingin Gita menunjukkan raut kesedihan itu lagi."

"Baguslah jika kamu sudah mengerti..."

Entah mengapa raut wajah Kakek kembali menjadi agak serius.

Sepertinya dia baru saja menyadari sesuatu.

"Ah... Soal ular putih yang bernama Ananta. Aku jadi teringat kembali soal legenda perang besar di era kuno yang hampir terlupakan. Didalam legenda itu, diceritakan bahwa diantara beberapa sosok legendaris pada perang tersebut, ada seekor naga yang ikut bertarung disisi Kaisar Roh."

Aku jadi agak penasaran dengan penuturan yang disampaikan oleh Kakek.

Apakah naga itu memiliki hubungan dengan Ananta atau tidak?

"Lalu apa sangkut pautnya antara naga itu dengan Ananta?"

"Aku sendiri juga kurang mengerti, hanya saja dalam legenda itu diceritakan bahwa sang naga mampu menelan banyak sekali para iblis yang menjadi sumber kekacauan bagi tiga dunia. Naga itu mampu untuk terus-menerus menelan semua iblis yang dia hadapi dalam jumlah yang hampir tak terhitung, seolah perutnya tidak memiliki batas. Namun dia tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak dan meninggalkan semua rekan-rekannya termasuk sang Kaisar Roh dalam perang itu."

"Sepertinya aku paham dengan apa yang Kakek pikirkan. Apakah ini terkait dengan kemampuan Ananta dalam memanipulasi ruang?"

"Begitulah, bahkan naga itu terkenal akan warna putihnya yang indah. Hah... Sudahlah... Aku sepertinya sudah berpikir terlalu berlebihan."

"Suatu saat akan aku pastikan sendiri bagaimana kebenaran perang besar dimasa lalu itu. Tapi untuk saat ini aku akan fokus untuk langkah awal ku sebagai Praktisi Roh. Yaitu memasuki Akademi Pengawas Roh, yang mana pendaftarannya kurang dari tiga bulan lagi."

Setelah mendengar itu, Kakek pun menepuk pundak ku, kemudian beranjak dari posisi duduknya.

"Persiapkan dirimu sebaik mungkin, lalu jangan sampai kamu membuat malu sang mantan Tetua ini."

Aku membalasnya dengan sebuah senyuman percaya diriku.

"Hooo... Maka bersiaplah, karena aku akan melampaui semua ekspetasimu, Kakek."

Kakek memberikan senyum puas atas jawabanku, lalu dia pun lanjut melangkah pergi untuk masuk kembali kedalam rumah.

Aku tetap duduk terdiam diatas teras untuk bersantai dan sedikit melepas rasa lelah.

Kupikir masih agak lama untuk Gita selesai mengajari Rani berbagai macam hal.

Lebih baik bagiku untuk berkultivasi disini dan sekaligus mencoba Kristal Inti Roh yang telah aku kumpulkan.

Kristal Inti Roh tersebut aku keluarkan dari Pola Inkripsi Penyimpanan Dimensi ditanganku.

Setelah itu, kristal tersebut aku buat retak dengan menggenggamnya sekuat mungkin, dibantu oleh Energi Roh yang aku alirkan pada telapak tanganku.

Energi Roh yang sangat padat mulai mengalir keluar dari celah retakan itu.

Dengan sigap aku langsung mengambil posisi bersila dan memulai proses Kultivasi Roh selama beberapa waktu.

***

Sudah 2 jam berlalu, Gita sepertinya sudah menyelesaikan pengajaran tentang kehidupan manusia normal pada Rani.

Aku segera menghentikan proses Kultivasi Roh, lalu masuk kedalam rumah untuk menghampiri Gita.

Ruang keluarga aku masuki lebih dulu untuk mencari Gita.

Beruntung bagiku, ternyata Gita sudah ada di ruang keluarga ini, dia tengah terduduk diatas sofa untuk melepas penat.

Dari belakang sofa, aku menepuk kepala Gita dengan lembut, kemudian mengelus-elus kepalanya.

"Kerja bagus... Jika kamu membutuhkan sesuatu katakan saja."

Awalnya dia sedikit terkejut, namun perlahan dia mulai menikmatinya.

Wajahnya perlahan semakin merah merona, senyum bahagia seolah ingin muncul diwajahnya, tetapi dia menahannya karena rasa malu.

"Tidak perlu, untuk saat ini aku tidak memerlukan apapun. Kamu bisa melakukan sesuatu untuk Rani sekarang, lagi pula dia Istrimu."

Jawaban Gita membuatku menghela napas, dia sudah mengorbankan kebahagiaannya terlalu banyak.

Aku segera bergerak kedepan Gita, kemudian mengangkat tubuh Gita tanpa sungkan.

Tubuhnya aku gendong, untuk membawa dia pergi dari ruang keluarga ini.

Tindakan tak terduga yang aku lakukan, telah membuat Gita jadi amat gelagapan.

"Hwaaa... Apa yang kamu lakukan, Arya? Ini sangat memalukan... Mungkinkah kamu masih ada perasaan khawatir? Aku sudah tidak lagi merasa marah terhadap dirimu."

Sebuah tatapan mata yang lembut, aku tujukan terhadap Gita.

Dia menatap balik padaku dengan wajah yang tersipu malu.

"Aku melakukan ini karena sekarang aku sangat ingin memanjakan dirimu. Pikiranku saat ini hanya dipenuhi dirimu... Meskipun aku sudah mencoba beberapa kali mengalihkan pikiranku pada hal lain. Yang ada hanya aku semakin menginginkan dirimu."

"Hwa... Ucapanmu itu sangatlah memalukan, bagaimana jika ada yang mendengarnya?"

"Aku tidak memperdulikan hal itu sama sekali. Saat ini, kamu adalah prioritas utama bagiku."

Sepertinya ucapanku barusan sudah menggoyahkan pertahanan hatinya.

Dengan ditemani perasaan malu, Gita melingkarkan kedua pergelangan tangannya di leherku, melewati bahuku.

"Jadi apa yang ingin kamu lakukan untuk ku?"

"Aku sudah menjanjikan sebuah kencan untukmu hari ini, maka sudah pasti akan aku penuhi. Bawa aku kemanapun kamu mau, mintalah apapun yang kamu inginkan, dengan segenap hati akan ku sanggupi."

"Jangan diingkari lho, karena aku akan minta banyak hal darimu."

"Hooo... Jika begitu ayo lakukan sekarang, kita tidak ada banyak waktu hari ini."

"Biarkan aku berdandan dan mengganti pakaian dahulu. Aku ingin tampil sebaik mungkin dikencan pertama kita."

Tanpa rasa ragu, aku mendekatkan wajahku pada wajahnya Gita.

"Haruskah aku sekalian membantumu mengganti pakaian?"

Ucapanku yang sangat frontal, cukup membuat Gita tersentak, disusul perasaan agak jengkel yang terlukis pada wajahnya.

Dan berujung dengan Gita yang langsung mencubit pipiku, setelah aku mengatakan kalimat yang terlalu berani.

"Adu-du-duh... Aku kan hanya bercanda."

"Dasar mesum... Tidak perlu repot-repot, aku bisa melakukannya sendiri."

"Eh he he he..."

Aku terus menggendong Gita hingga sampai di kamarnya, diiringi oleh perasaan berbunga-bunga diantara kami.

Setelah Gita masuk ke kamarnya untuk melakukan persiapan, aku pun pergi ke kamarku untuk mengganti pakaian juga.

Pakaian yang aku pilih adalah sebuah kemeja abu-abu berlapiskan blazer hitam, untuk bawahan aku menggunakan celana formal berwana hitam, ditambah asesoris sebuah jam digital warna hitam pada tangan kiri.

Seusai aku mengenakan pakaianku, aku menunggu Gita di ruang keluarga, sembari duduk santai diatas sofa.

Sekitar setengah jam aku menunggu, akhirnya aku mendengar suara langkah kaki yang kemudian berhenti dibelakangku.

"M-maaf jika aku sudah membuatmu menunggu cukup lama."

Tiba sudah waktunya bagi kami untuk memulai kencan pertama ini.

Segera aku beranjak dari duduk, sembari menimpali Gita.

"Jangan khawatir, aku tidak menunggu terlalu lama-..."

Ketika aku menoleh pada Gita, ucapanku jadi terhenti setelah melihat penampilannya yang membuatku terpana.

Gita mengenakan setelan blouse coklat muda sebagai atasan, sebagai bawahnya dia memakai palazzo warna hitam, pada pergelangan tangannya dia menggunakan gelang keemasan sebagai asesoris.

Lalu rambut berwarna ungu gelapnya yang memiliki panjang hingga bawah belikat, dia kucir pada area tengkuk leher.

Make up yang ia pakai begitu natural, hingga kecantikan alaminya memancarkan pesona yang lebih dari biasanya.

Parasnya seolah-olah menerjang batinku layaknya badai, aku benar-benar terpaku melihat penampilan Gita saat ini.

Gita yang memperhatikan tingkahku, jadi terlihat sangat tersipu sembari memainkan kedua jari telunjuknya.

"A-ada apa? Apakah penampilanku terlihat aneh?"

Bibirku langsung kututupi dengan punggung telapak tanganku, untuk menutupi rasa malu.

"Uh... T-tentu saja tidak... K-kamu terlihat sangat cantik... Uhm, mungkin kata cantik saja tidak cukup untuk menggambarkan dirimu."

Sontak saja wajah Gita berubah menjadi sangat merah jika dibandingkan dengan sebelumnya.

"Syukurlah jika kamu menyukainya."

Namun tiba-tiba aku baru menyadari jika Dhita sedang mengintip dan menguping kami berdua diluar pintu ruang keluarga, dia terlihat begitu sangat kesal.

Dia mulai melangkah masuk kedalam ruangan dan mencoba untuk menghentikan suasana romantis ini.

Untungnya ada sepasang tangan dibelakang Dhita yang tiba-tiba menyekap mulutnya hingga tak sempat mengeluarkan suara sama sekali, kemudian menarik Dhita untuk menjauh.

Ternyata itu adalah ulah dari Kakek, sebelum membawa Dhita pergi, Kakek menunjukkan wajahnya dari balik pintu sembari mengedipkan sebelah matanya, untuk memberikan kode bagiku jika masalah Dhita akan dia tangani.

Sepertinya aku berhutang lagi kepada Kakek, akan kubelikan dia oleh-oleh nantinya.

Fokus kembali aku alihkan terhadap Gita.

Ditemani perasaan malu, aku mengulurkan tangan kananku untuk Gita.

Jantungku berdegup sangat kencang sekali, bahkan tanganku hampir gemetaran.

"Hari ini, aku sepenuhnya milikmu... Gita."

Gita pun meraih tanganku, meski dia tidak sanggup untuk menatapku secara langsung, bahkan rona merah pada wajahnya tak kunjung padam.

"Aku juga milikmu saat ini... Maka ku percayakan diriku sepenuhnya padamu... Jadi tolong penuhi semua keegoisanku hari ini."

"Yes... My lady... Dengan sepenuh hati."

Cengkraman tangan Gita menjadi lebih kuat lagi, setelah aku memberi balasan pada permohonannya.

Kami berdua pun melangkah pergi sembari bergandengan tangan, untuk mengawali kencan yang pertama kalinya bagi diriku dan juga Gita.

avataravatar
Next chapter