41 Bab 40 - Pembuktian Perasaan

Aku benar-benar berada dalam masalah besar sekarang.

Amarah Gita kali ini sudah pasti jauh lebih besar dari sebelumnya.

Juga bakal lebih sulit lagi untuk meredam emosinya yang meluap-luap.

Sangat sulit untuk mengambil kata-kata yang tepat untuk menenangkan dirinya.

Karena saat ini aku membawa pulang seorang gadis cantik, apalagi dia memang benar istriku yang sesungguhnya.

Apapun alasannya, sudah jelas ini bisa disebut dengan perselingkuhan.

Kata-kata jadi amat sulit untuk keluar dari mulutku.

"G-Gita... Kumohon tenang dulu. Gadis ini sebenarnya-..."

Aku tak bisa melanjutkan kata-kata untuk membuat kalimat alasan yang selanjutnya, pikiranku sudah begitu buntu.

Gita yang melihatku kebingungan, malah terus mendesak ku untuk memberi penjelasan.

"Kenapa? Sebenarnya KENAPA?!... KENAPA?!... KENAPA?!... KENAPAAAAAA???!!! CEPAT JELASKAN!!!... ARYA!!!"

Dia meneriakkan itu dengan wajah yang menahan amarah dan tangis.

Wajahnya sangat merah karena amarah, sementara air matanya mulai mengalir di pipinya.

Aku tak sanggup untuk melihat Gita yang amat sangat terluka sekarang.

Membuatku merasa seperti pria yang brengsek dan tak berguna.

Hanya menunduk dengan rasa penyesalan, yang dapat aku lakukan saat ini.

Istriku yang ikut mengamati situasi, jadi merasa khawatir, apalagi setelah melihat reaksiku dalam situasi ini.

Lalu Istriku menarik-narik lengan pakaianku dengan jari-jemarinya.

"Arya... Arya... Kenapa kamu sekarang jadi bersedih? Jika ada sesuatu, katakanlah padaku. Karena kamu sudah bilang akan selalu disisiku, maka begitu juga denganku. Jadi biarkanlah aku ikut membantu dirimu juga."

Setelah mendengar kekhawatiran serta kepedulian Istriku, membuat aku bahagia dan mendapatkan ketenangan hati.

Namun ucapannya juga membuat situasi makin rumit bagi aku dan juga Gita.

Gita pun makin kesal dari sebelumnya, bahkan tubuhnya kembali gemetar karena emosi yang makin meluap lagi.

"SENANGNYA YA KAMU SEKARANG?!... KARENA SUDAH MENDAPATKAN ISTRI CANTIK YANG SANGAT PERHATIAN DENGANMU. JADI PACARMU INI SUDAH TIDAK DIPERLUKAN LAGI DALAM HIDUPMU, BENARKAN ARYA?!"

Sebisa mungkin aku berusaha menjawab Gita, sayangnya aku tak sanggup melihat wajahnya secara langsung.

"T-tentu saja tidak... Gita, kamu bagiku adalah-..."

Sangat sulit untuk melanjutkan kalimatku, suaraku seolah tersangkut di tenggorokan dan sangat sulit untuk keluar.

Cara ku dalam menyikapi situasi ini sangatlah menyedihkan, karena itu pula emosi Gita tak kunjung mereda.

"Arya... Aku... Aku sungguh kecewa padamu. Aku sungguh... kecewa..."

Terjadi keheningan sesaat, karena aku tak sanggup lagi untuk membalas ucapan Gita.

Setelah memperhatikan situasi, Kakek pun mengambil sebuah tindakan.

"Gita, kamu lebih baik menyelesaikan urusanmu dengan Arya secara empat mata dahulu. Aku pinjaman dojo ku dihalaman belakang untukmu. Berbicaralah dari hati ke hati, kamu juga boleh memakai apapun yang berada didalam sana untuk meredakan emosimu."

Ucapan Kakek barusan membuatku tersenyum kecut.

Terutama pada kalimat terakhirnya, itu mungkin akan membuatku sangat menderita.

Sementara itu, Gita yang mendengarkan Kakek, langsung menghampiriku kemudian.

Ditemani langkah kaki yang begitu keras menginjak lantai.

Lalu mencengkram kuat-kuat kain kaos ku pada bagian dada.

Dan menyeret ku pergi meninggalkan ruangan ini.

Aku tak bisa melawan dan hanya pasrah mengikutinya.

Namun disisi lain itu membuatku lega, karena Gita belumlah membenciku dan tidak pergi meninggalkanku sama sekali.

Istriku yang terlihat khawatir, berusaha meraihku.

Namun Kakek menghalanginya, sembari memberikan isyarat pada istriku.

"Tak usah khawatir nona... Ini akan baik-baik saja."

Aku mengalihkan tatapan pada Istriku sekilas, untuk memberikan isyarat juga agar dia tetap tenang dan menunggu.

Aku dan Gita pun akhirnya keluar dari ruangan keluarga dan meninggalkan mereka semua disana.

Sesampainya kami di teras halaman belakang, Gita mengenakan sepasang alas kaki yang tersedia diantara beberapa pasang alas kaki pada tepian teras.

Lalu Gita menungguku mengenakan alas kaki juga, meski dia masih enggan melepaskan cengkraman tangannya pada pakaian ku.

Saat aku mencoba memakai alas kaki, ku beranikan diri untuk menatap wajah Gita.

"Gita..."

"Hmph..."

Namun Gita malah menolehkan wajah kearah lain dengan cemberutnya.

"Ehe he he.."

Sikap ngambek tetapi malah terlihat imut memang ciri khas Gita kurasa, aku sampai tertawa kecil dibuatnya.

Seusainya aku memakai alas kaki, Gita kembali menyeretku pergi, sampai kami memasuki dojo.

Ketika kami masuk ruangan, semua masih gelap karena semua lampunya masih dimatikan.

Tentu saja aku mencari saklar lampu untuk memberikan penerangan.

Saat saklar berhasil aku raih, telapak tanganku bersentuhan dengan telapak tangan milik Gita.

Gita yang menyadari itu langsung menarik tangannya, sementara aku tetap menekan tombol saklar dan menyalakan lampu.

Akhirnya seisi ruangan sudah menjadi terang, tapi sangat disayangkan bahwa aku tak sempat melihat seperti apa ekspresi Gita barusan.

Aku pun lanjut diseretnya lagi hingga ditengah ruangan.

Disitu kami berhenti sejenak, tak lama kemudian Gita melepaskan cengkraman tangannya.

"Anu... Gita-"

"Duduk!"

"Huh?"

"DUDUK!!!"

"B-baik... Gita."

Posisi duduk di lantai langsung aku ambil secepat mungkin, dengan sikap tegang karena bentakannya Gita.

Setelah perintahnya aku turuti, Gita lanjut melangkah menuju rak barisan pedang kayu.

Tindakannya sudah memberiku firasat tidak enak.

Benar saja, Gita mengambil salah satu pedang kayu itu.

Pedang kayu itu dia ayunkan beberapa kali untuk mengetesnya.

Dirasa sudah cukup dalam mengetes pedang kayu itu, Gita langsung melangkah kembali ke tempat ku.

Dia kemari dengan wajah tersenyum, tetapi itu terlihat jelas merupakan senyum yang menyembunyikan amarah.

Ini sungguh keadaan yang gawat bagiku, aku jadi menelan ludah karenanya.

"A-anu... Gita. Apa yang ingin kamu lakukan dengan benda berbahaya itu?"

Gita mengabaikan ucapan ku dan terus saja mendekat.

"Tenangkan dirimu dahulu... Gita... Kumohon."

Pedang kayu tersebut diangkatnya keatas menggunakan kedua lengannya.

Aku hanya bisa terpaku dan pasrah untuk menerima nasib yang akan terjadi selanjutnya.

"Gita... Tolong agak pelan."

WHUUUUUUZZZZ

Pedang kayu itu akhirnya berayun dengan cepat, mengarah padaku secara langsung.

Sontak saja aku mengangkat kedua lengan untuk menutupi wajahku.

"UWAAAAAAAAAAAA!!!!"

BAG!!! BUG!!! BAG!!! BUG!!! BAG!!! BUG!!!

Pukulan demi pukulan pada tubuhku terpaksa aku terima, hingga Gita merasa lega.

Beberapa menit pun berlalu, selama itu pula aku menahan rasa nyeri disekujur tubuh.

Tapi aku bisa merasakan pada tiap ayunan yang dilancarkan Gita, tidaklah mengandung rasa benci.

Itu murni luapan rasa kesal dan gundahnya, mungkin inilah caranya menyalurkan emosi yang tak terbendung lagi.

Setelah merasa agak kelelahan, Gita menghentikan ayunan pedang kayunya.

Dia menanatap ku ditemani mata yang begitu berkaca-kaca.

Pada saat yang sama, pedang kayu ditangannya dia jatuhkan ke lantai.

Raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa dia sedang menahan tangis.

Tapi pada akhirnya, tangisnya pun pecah juga.

"Hik... Hik... Hik... Hiks... Huwaaaaaa..."

Air matanya terus mengalir dengan derasnya, Gita pun sebisa mungkin menutupi wajahnya menggunakan kedua telapak tangan miliknya.

Saat itu juga hatiku terasa seperti ditusuk, sangat menyakitkan bagiku ketika melihat Gita jadi begitu terluka.

Tangan kananku tanpa sadar aku ulurkan pada Gita.

Namun aku langsung menghentikannya, karena aku juga menyadari bahwa ini semua disebabkan oleh ulahku sendiri.

Aku merasa tidak pantas untuk menyentuh Gita yang sudah aku lukai.

"Maaf... Maafkan aku... Gita..."

Gita tidak menjawabku sama sekali, yang ada justru malah isak tangisnya semakin kencang.

Aku sudah tidak sanggup untuk menahan perasaan tidak tega ini lagi.

Tak peduli mau bagaimana pun yang akan terjadi, aku langsung memeluk Gita seerat-eratnya.

Gita yang menyadarinya, langsung memberontak untuk melepaskan pelukanku.

"LEPASKAN!!! Hik... LEPASKAN!!! MENJAUH DARI KU!!! Hik... Hiks..."

Walaupun dia mengatakan itu, tapi aku tetap tidak akan melepaskannya.

Setidaknya sampai dia merasa jauh lebih baik.

"Tidak... Aku tidak akan melepaskan mu."

"Hik... Kamu masih berani mengambil kesempatan dariku?... Hik... Bahkan setelah bersenang-senang dengan... Hik... Wanita lain dibelakang ku? Kamu ini sungguh-sungguh brengsek."

"Katakanlah apapun yang kamu mau tentang diriku. Lakukanlah apapun yang kamu inginkan padaku. Tamparlah aku... Pukulah aku... Tendanglah aku... Tapi biarkan aku tetap disisimu. Paling tidak hingga tangismu sudah berhenti. Kumohon... Jangan menangis lagi... Sangatlah menyakitkan melihatmu begini."

"Memangnya ini salah siapa? Hik... Padahal... Padahal aku sudah sangat menantikan kencan pertama kita besok. Hik... Tapi sekarang kamu malah membawa wanita lain bersamamu."

Ucapan kekecewaannya barusan, telah memunculkan rasa amarah terhadap diriku sendiri.

Dia pasti sudah sangat menantikannya, menantikan janji yang aku buat.

Namun aku sudah mengkhianati perasaannya.

Pelukan ini pun aku lepas, tetapi kedua tanganku masih tetap memegangi Gita, pada bagian bahunya.

Kemudian aku menatap langsung wajah Gita, hingga kedua pandangan kami saling bertemu.

"Aku tahu bahwa aku ini sungguh brengsek. Aku sudah menjanjikanmu sebuah kebahagiaan, namun berakhir pada pengkhianatan. Aku sudah melukai perasaanmu dengan sangat kejam. Aku tak tahu bagaimana lagi untuk menebusnya. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa perasaanku padamu itu sangatlah tulus."

"Bohong... Hik... Bohong... Aku tak akan percaya pada kata-kata mu lagi. Pada pembohong sepertimu... Semua ucapanmu sebelumnya... Hiks... Pastilah hanya berupa kebohongan. Aku seharusnya sudah menyadari itu dari awal. Bagaimana mungkin rasa cinta bisa muncul pada perjumpaan yang baru sebentar saja."

"Akan aku lakukan apapun untuk membuktikannya padamu. Katakanlah bagaimana cara agar kamu bisa kembali mempercayaiku kembali. Sekarang juga, akan ku buktikan padamu."

"Kalau begitu... Tinggalkan gadis itu... Katakan padanya jika kamu hanya mencintaiku!... Katakan padanya bahwa kamu akan mengakhiri ikatan cinta kalian saat ini juga!... Katakan padanya jika kamu tak akan pernah berhubungan lagi dengannya!... Aku tak akan memaafkan dan mempercayai dirimu lagi sampai kamu melakukannya."

Setelah mendengar persyaratan yang diajukan Gita, aku jadi merasa sangat putus asa.

Tidak mungkin bagiku untuk meninggalkan Istriku dalam kesendirian lagi.

Tanpa siapapun berada disisinya, karena semua keluarga dan sahabat-sahabatnya pasti telah lama tiada.

Mana tega diriku mengatakan bahwa aku akan mengakhiri hubungan kami, setelah penantiannya yang begitu lama, dalam waktu yang tak terkira.

Apalagi setelah melihat wajah bahagianya setelah berjumpa denganku.

"Kamu tahu, Gita? Bagaimana aku bertemu dengannya? Dia tertidur seorang diri dalam kegelapan, ditempat antah berantah. Hanya demi menanti suaminya untuk menepati janji mereka. Meskipun harus menunggu ratusan ribu tahun lamanya. Namun ikatan takdir sangatlah kuat. Pada akhirnya, janjinya dapat terpenuhi."

"Lalu apa hubungannya dengan dirimu? Bukankah dia akhirnya bertemu dengan suaminya? Lalu kenapa kamu malah membawanya?"

"Karena aku sendirilah yang merupakan suami yang dia nantikan. Aku memang belum pernah bertemu dengannya sekalipun. Namun waktu memiliki misterinya tersendiri. Dan kenapa aku bisa mengetahuinya? Karena dengan kedua tanganku sendiri, aku bisa menariknya keluar dari tempatnya terkurung selama ini. Meski sekuat apapun penghalang yang ada disana... Hanya diriku yang diizinkan untuk membangunkannya kembali."

Aku mengalihkan tatapan ku dari Gita, karena tak sanggup memenuhi permintaannya.

"Jadi maafkanlah aku... Tapi aku tak bisa melakukannya. Aku tak sanggup jika harus meninggalkannya seorang diri lagi."

"Jika begitu... Selamat tinggal... Arya..."

Kalimatnya diakhiri dengan senyuman yang dia buat untuk menutupi rasa kecewanya, sembari berlinangkan air mata.

Dia langsung melepaskan pegangan tanganku dan berbalik.

Kemudian dia mulai berlari meninggalkan diriku.

Aku terpaku beberapa saat, sebelum akhirnya tersadar dan berlari mengejarnya.

Ketika aku mengejarnya dari belakang, air matanya yang menetes, jatuh dan mengenai wajahku.

Saat itu juga aku menyadari aku harus meraihnya, atau aku akan kehilangan dia selamanya.

Sebelum Gita mencapai teras halaman belakang, aku mempercepat langkahku berlari dan meraihnya dari belakang.

Aku peluk dia dari belakang seerat mungkin, untuk menahannya.

"Jangan pergi... Kumohon jangan pergi... Aku tetap ingin bersamamu bagaimana pun juga. Aku... Aku sangat mencintaimu... Melebihi hidupku sendiri."

"Kamu bahkan tidak dapat memenuhi permintaanku. Lalu bagaimana lagi kamu akan membuktikan ucapanmu? Apa dengan "Seppuku", hah?"

Seusai aku mendengarkan itu, pelukan ku pada Gita aku lepaskan.

Gita tetap berdiam diri disana, sambil membelakangiku dengan punggungnya.

Sementara aku mengambil posisi bersimpuh diatas tanah.

Setelah itu, Gita pun berbalik dan menghadap diriku untuk memperhatikan tindakanku.

"Apa yang mau kamu lakukan? Jangan pikir hanya dengan memohon dan bersimpuh saja sudah cukup untuk membuat ku mengampuni dirimu."

Aku tak membalas ucapannya sama sekali, tapi malah membuat lapisan Energi Roh yang tajam pada telapak tanganku.

"Kenapa kamu menggunakan Energi Roh, Arya?"

JLEEEEBBB!!!

Tanpa peringatan sama sekali, perutku aku tusuk menggunakan tanganku yang sudah berlapiskan Energi Roh.

Darah mulai mengalir keluar melalui luka di perut dan juga melalui mulutku.

"Kugh."

Tindakanku sudah membuat Gita amat terkejut.

Dia begitu panik, kemudian langsung menjatuhkan lututnya diatas tanah dan memegangi tanganku yang tengah menusuk perutku sendiri.

Tangan milik Gita begitu terasa sedang gemetaran, raut wajahnya melukiskan kekhawatiran yang amat dalam.

"APA YANG KAMU LAKUKAN? DASAR BODOH!!! Mengapa harus begini? Apakah kamu ingin mati?"

Dengan suara rintih, aku mencoba untuk membalas ucapan Gita.

"A-aku sudah menyakitimu... Rasa sakit ini, tidaklah seberapa jika dibandingkan rasa sakit yang aku berikan padamu. Aku pantas mendapatkan ini."

"Bodoh... Pikirkanlah keluargamu... Pikirkanlah orang yang menyayangimu... Bahkan... Pikirkanlah diriku... Aku tak mau jika kamu meninggalkanku dengan cara seperti ini. Aku... Karena aku... Sungguh-sungguh Mencintaimu."

"A-ku sungguh bahagia... Mendengarnya... Uhuk."

Batuk yang aku keluarkan, disertai dengan darah yang memuncrat keluar dari mulut.

"Bodoh, diamlah dahulu. Lukamu bisa makin parah nanti. Biarkan aku mengobatinya dahulu."

Telapak tangan kanan milik Gita, dia arahkan menuju permukaan tanah.

Dari telapak tangan itu, cahaya kebiruan mulai muncul.

Sebuah benda kecil perlahan mulai muncul dan terbentuk makin jelas.

Ternyata itu sebuah botol kaca kecil dengan cairan kental berwarna merah didalamnya.

"Aku akan menggunakan eliksir penyembuhan ini, jadi tahan sebentar rasa sakitnya."

"Terimakasih... Gita."

***

Satu jam telah berlalu, aku terduduk diatas kasurku tanpa mengenakan pakaian yang menutupi bagian atas tubuhku.

Hanya memakai balutan perban, melapisi perutku yang sebelumnya terluka.

Lalu tepat disamping ku, ada Gita yang ikut duduk menemaniku.

Gita duduk dengan menyandarkan kepalanya pada bahuku, tangan kami pun saling bergandengan.

Kami saling menikmati kebersamaan kami dalam keheningan ini untuk beberapa saat.

Nuansa kamarku sekarang terasa remang-remang, karena lampu tidak kami nyalakan.

Namun berhiaskan sinar bulan dari jendela, yang menerangi seisi kamar ini.

Setelah hampir 10 menit berlalu, Gita mengawali perbincangan kami.

"Arya, Untuk kali ini... Aku akan mempercayaimu sekali lagi."

"Maafkan aku Gita, kamu jadi harus memenuhi keinginan egois ku ini."

"Tak mengapa, tapi... Aku masih menginginkan sebuah pembuktian darimu."

"Katakan saja Gita, selain permintaanmu sebelumnya. Aku pastikan untuk memenuhinya, bagaimanapun caranya."

Gita perlahan beranjak dari duduk, dan berdiri menghadap jendela kamar ku.

Kemudian dia membuka kancing bajunya, hingga pakaian dalamnya yang berwarna putih terlihat.

Aku terpaku dan keheranan akan tindakannya sekarang.

Mulutku terkunci dan tak bisa mengucapkan apapun, hanya bisa menunggu tindakan Gita selanjutnya.

Sesudah semua kancing terbuka, bajunya ia tanggalkan.

Bentuk tubuhnya yang indah, terpampang begitu saja dihadapan ku.

Tangan Gita pun selanjutnya bergerak untuk meraih pengait branya dibagian belakang.

Akhirnya pengait itu terlepas dan bra miliknya ia jatuhkan ke lantai.

Buah dadanya yang sangat indah dan memikat, dia tunjukkan padaku tanpa penutup apapun.

Aku terperanjat dengan tindakannya yang tak terduga ini.

Bahkan setelah semua keributan yang kami alami.

Kini dia membiarkanku melihat salah satu bagian terpenting dari tubuhnya.

Tetapi perlahan, wajah Gita mulai memerah juga oleh rasa malu.

Dadanya mulai ia tutupi sedikit menggunakan kedua lengannya.

Lalu kami saling menatap satu sama lain untuk sesaat.

Pada akhirnya, Gita pun membuka mulut untuk mengungkapkan keinginannya.

"Jika kamu memang mencintaiku... Maka buktikanlah ketulusanmu padaku. Apakah kamu bersedia mengambil milikku yang paling berharga?... Dan bertanggungjawab untuk itu, Arya?"

Apa yang sedang Gita pikirkan sekarang, hingga dia berbuat seperti ini?

avataravatar
Next chapter