37 Bab 36 - Sesuatu Yang Dilindungi 2

Rasa gemetar yang begitu hebat, tiada hentinya mendera tubuhku.

Glek... Aku menelan ludah dikala melihat kembali tatapan mata nan mengerikan dari ular itu.

Namun entah kenapa, ular putih raksasa itu hanya mengamati ku saja.

"Mahluk itu tidak menunjukkan indikasi adanya niatan untuk menyerang, kurasa dia hanya bertugas sebagai penjaga gerbang raksasa didepan sana. Aku akan ambil kesempatan ini untuk mundur."

"Mahluk itu dengan sengaja memancing kita kemari, kamu pikir hanya akan sesederhana itu?"

"Guru, Kita tidak ada waktu untuk membahas niat dari ular itu. Yang terpenting kita segera pergi sebelum dia mengubah tindakannya."

Dengan perlahan aku membalikkan badan dan berjalan kembali menuju lorong secara hati-hati, agar tidak menarik perhatian ular tersebut.

Akhirnya tinggal satu langkah lagi aku sudah mencapai mulut dari lorong gua.

BRAAAAAGGGHHHHH!!!!!!!!!!!!!

Namun siapa sangka justru tiba-tiba saja mulut gua tertutup oleh dinding batu yang muncul dari lantai gua.

Aku ingin berteriak sekuat mungkin untuk melampiaskan rasa kesal, namun aku sadar jika ini bukan situasi yang tepat untuk melakukannya.

Hanya bisa bergumam dengan pelan untuk sedikit meluapkan rasa penyesalan.

"Uwaaaaaa... Kenapa bisa begini, jika tahu akan seperti ini maka lebih baik tadi aku langsung berlari saja.

"Huh... Sudah kuduga, memang hal yang dilakukan oleh ular itu tidaklah sederhana. Dia memancing kita bukan tanpa alasan, apalagi tanpa persiapan."

"Jika aku hancurkan batu ini, apakah ular itu akan mengambil tindakan? Tapi mau tidak mau aku harus berani mengambil resiko, atau aku akan habis disini.

"Uh... Sepertinya sudah terlambat untuk itu, dia sudah mulai bergerak."

"Hah??!!!"

Mendengar ucapan Guru barusan, sontak saja aku langsung menoleh kebelakang.

Dan benar saja, ular putih raksasa itu sudah mulai bergerak kemari dengan perlahan.

"Uwaaaaaaa!!!!!!... Dia sungguhan bergerak kesini, apa yang harus aku lakukan?"

Ku pegangi kepalaku dengan kedua tanganku ketika sedang sekeras mungkin mencari solusi dalam sisa waktu yang sangat sedikit.

Setelah memakan waktu beberapa detik, akhirnya sebuah ide terlintas dalam kepalaku.

"Teknik Roh Dasar Tingkat Atas... Pedang Penebas Kehampaan... Aku ingat bahwa aku masih punya Teknik Roh kuat yang mampu membuat distorsi ruang."

"Mari berharap Teknik Rohmu itu paling tidak sanggup memberikan waktu bagimu untuk menghancurkan dinding batu ini."

Aku pun segera berbalik dan menghadap pada ular itu kembali.

Dia sudah semakin dekat, tubuhnya yang besar juga menyebabkan gua bergetar karena gerakannya.

Meski mahluk itu tidak bergerak terlalu cepat, namun jarak kepalanya dengan ku sekarang tinggal kurang dari 100 meter.

Ada sedikit rasa keraguan dalam benakku, namun segera aku abaikan dan langsung mengambil posisi kuda-kuda berpedang.

Setelah aku memantapkan hati serta pikiran, ku sebutkan nama Teknik Roh ku.

"Teknik Roh Dasar Tingkat Atas... Pedang Penebas Kehampaan."

Pedang Energi Roh sepanjang 2 meter pun akhirnya muncul melalui genggaman tanganku yang sedang berpose seolah memegang pedang.

Putaran berkecepatan tinggi dari gerigi pada mata Pedang Roh ini, menimbulkan pergerakan udara yang sanggup membuat helaian rambut serta pakaianku berkibar.

Melihat kembali potensi yang tersimpan oleh Pedang Roh milikku, telah menaikkan kembali rasa percaya diriku.

Aku kemudian mengambil ancang-ancang, sembari menunggu ular itu masuk kedalam jangkauan dari dampak tebasanku.

Tak butuh waktu lama, akhirnya dia memasuki jarak 30 meter dan semakin dekat.

SLAASSSH!!!... SLAAASSSSHHH!!!

Secepat kilat sebuah tebasan vertikal aku lakukan, disusul tebasan horizontal dalam jeda sepersekian detik.

Garis distorsi ruang yang terlihat membentuk tanda <<Plus>> melesat langsung menuju terjangan ular tersebut, ditemani dengan tekanan angin yang kuat

Namun ular itu bereaksi terhadap distorsi ruang yang menghampirinya.

Dia sepertinya cukup pintar untuk menyadari akan bahayanya distorsi ruang.

Sontak saja ular itu membuka rahangnya cukup lebar, lalu melepaskan desis yang amat sangat kuat dan keras.

PPPPSSSSSSSSSSSSSSSSTTTTT!!!!!!

Dengan reflek, aku menutupi kedua telingaku menggunakan pergelangan lengan bawah.

Gelombang suaranya membuat telingaku kesakitan, namun bukan itu yang menjadi masalah utama.

Aku terperanjat heran karena distorsi ruang dari tebasanku mulai bergerak melambat dan memudar, meski baru mencapai setengah dari jarak batas jangkauan seranganku.

"Uh... Tidak mungkin... Mahluk itu bahkan mampu mengatasi distorsi ruang. Ini sungguh gila... Apakah tidak ada harapan lagi?"

Melihat serangan pamungkas ku telah diatasi, membuat diriku mematung tanpa daya.

Aku jatuh dalam keputusasaan, setelah menyadari bahwa tidak ada jalan lain lagi.

Namun jika harus mati, aku tak akan mati tanpa perlawanan.

Usaha terakhir akan aku kerahkan meskipun tidak berarti, paling tidak harga diriku masih tetap berdiri tegak.

Aku mengacungkan Pedang Roh ditangan ku ini kearah depan, sambil menanti kedatangan ular putih raksasa itu.

"Akan aku kerahkan usaha terakhirku, setidaknya aku akan mati dengan harga diri seorang pejuang... Dan harga diri sebagai Praktisi Roh."

Lalu pada saat yang sama, perlahan semua kenangan masa lalu hingga masa kini dengan keluargaku pun mulai berputar dalam kepala, termasuk kenangan ku bersama Gita.

Perasaan ku jadi begitu tercampur aduk, sebuah akhir ternyata bisa begitu menyakitkan.

"Ibu... Kakek... Dhita... Dan juga Gita... Terimakasih atas segalanya... Dan maaf... Kurasa hanya akan sampai disini saja."

Kalimat itu aku akhiri dengan senyum kesedihan, sementara air mataku juga hampir menetes.

WHUUUUSSS!!!

Namun tiba-tiba saja kabut putih muncul dihadapanku, kabut itu berkumpul untuk membentuk sesuatu.

Dalam beberapa detik kemudian aku menyadari wujud yang terbentuk, yaitu sosok Guruku yang terlihat setengah transparan.

Dia melayang didepan ku dalam posisi memunggungi diriku, dengan kedua pergelangan tangan yang terbentang lebar ke kanan dan kiri.

"G-Guru... Apa yang sedang kau lakukan?"

Guru tidak menoleh sama sekali dan terus memunggungi diriku.

"Pergilah nak, biarkan aku menahannya... Setidaknya ini bisa memberimu waktu."

"Lalu bagaimana dengan Guru."

"Tak perlu khawatir... Aku akan baik-baik saja."

"JANGAN BOHONG!!!... Guru bahkan tidak memiliki raga. Jika Guru kehabisan Energi Roh, sudah pasti itu bisa menjadi sangat fatal bukan?"

"TAK USAH PIKIRKAN YANG TAK PENTING!!! Kamu masih memiliki keluarga yang menantimu dirumah. Kehilangan dirimu akan sangat menyakitkan bagi keluargamu. Bagi Adikmu... Bagi Kakekmu... Terutama bagi Ibumu... Janganlah sampai dia menangis sekali lagi."

"APANYA YANG TAK PENTING????!!!!!! GURU... Guru... Guru juga adalah keluargaku. BAGAIMANA AKU BISA MENINGGALKAN KELUARGAKU SENDIRIAN DALAM MENGHADAPI BAHAYA???!!!"

Setelah mendengar ungkapan isi hatiku, membuat Guru menjadi sedikit tersentak.

Guru pada akhirnya menoleh kepadaku, matanya terpejam dengan senyum lembut terlukis pada wajahnya.

Senyum yang menunjukkan perasaan bahagia, namun juga menyiratkan kesedihan didalamnya.

Telapak tangan kiri Guru, dia arahkan padaku bersamaan dengan Energi Roh yang mulai terkumpul pada telapak tangannya.

Kemudian Guru mulai mencurahkan perasaannya dengan suara serak, seperti saat ini adalah saat terakhirnya.

"Hidup... Terus hiduplah bersama keluargamu... Dan terimakasih... Sudah memberikan kebahagiaanku kembali... Kebahagiaan yang telah cukup lama tak kurasakan, meski perjumpaan kita baru sebentar saja... Izinkan aku sekali lagi untuk melindungimu... Demi harapan... Dan kebahagiaannya."

Semua gejolak emosi ini telah membuat tenggorokan ku terasa begitu sakit, suaraku pun ikut terdengar serak.

"Guru... Apa maksudmu Guru? Mari kita pergi dari sini bersama-sama... Atau setidaknya kita bisa bertarung bersama... Guru..."

Cahaya dari Energi Roh pada telapak tangan Guru sekarang semakin terang dari sebelumnya.

"Berbahagialah..."

"GURUUUU!!!!"

SLAAAAPPPP!!!

Tiba-tiba saja lidah ular putih raksasa itu menjitak kepala Guru.

"Apa yang sedang anda lakukan? Dasar bodoh."

Tak disangka ular itu dapat berbicara dengan suara berat dan melakukan tindakan tak terduga, aku sungguh terkejut dibuatnya.

"Heh?"

Sama halnya dengan Guru, dia juga sangat terkejut dengan hal yang baru saja menimpanya.

"Heh?"

"Dari tadi kalian berdua ribut sekali, bahkan sampai melempari saya dengan distorsi ruang. Padahal saya ini hanya ingin berbicara, terutama dengan anda wahai bocah Manusia."

Menyadari kami tengah berada dalam situasi yang cukup mengherankan, membuat aku dan juga Guru menjadi begitu terperanjat.

"HEEEEEEEHHHHH???!!!"

***

Setelah kami berdua menenangkan hati dan pikiran untuk beberapa saat, aku akhirnya mencoba mengambil inisiatif membuka pembicaraan dengan ular itu meski ditemani perasaan canggung.

"Anu... Tuan Ular Putih, apa tujuan sebenar-... Bukan, maksudku apa alasan tuan mengundang kami ketempat anda?" Bukankah ini pertama kalinya bagi kita untuk bertemu?"

Ular putih yang semenjak tadi hanya diam menunggu kesiapan kami, akhirnya membalas rasa penasaranku.

"Anda memang belum pernah bertemu dengan saya, tapi saya sudah tahu jika anda pasti akan datang. Karena saya selalu percaya bahwa janji ini pasti akan terpenuhi, meski butuh waktu yang sangat lama sekalipun. Dan pada saat kedatangan anda kemari, sekali lagi saya merasakan Energi Roh itu. Yang membuat saya akhirnya menyadari bahwa waktunya telah tiba."

Penjelasan yang diberikan oleh Ular tersebut justru membuat rasa penasaranku semakin menguat, hingga aku sedikit mengangkat alisku.

"Janji?... Janji apa yang anda maksudkan?"

"Anda tak perlu mengetahuinya untuk saat ini, masih banyak yang harus anda pelajari. Lalu untuk tuan Hara... Saya sungguh tak percaya, jika anda telah melupakan saya."

"Hah?"

Aku sangat terkejut mendengar apa yang baru saja ular itu nyatakan.

Bahwa Guru dan ular ini sudah saling mengenal sebelumnya

Namun Guru hanya tersenyum kecut sembari mengalihkan pandangannya dari Tuan ular putih ini.

"Uhm... Yah... Aku sudah hidup sangat lama di dunia nyata tanpa raga sama sekali. Jadi beberapa hal yang kurang penting sudah terlupakan."

"Kurang penting? Beraninya anda menganggap hal ini kurang penting. Saya sungguh-... Huh?"

Kalimat ular itu terhenti sejenak, sepertinya dia akhirnya menyadari sesuatu.

"Ah... Jadi begitu... Jika itu sudah merupakan keputusan tuan Hara, maka saya bisa memakluminya. Mari kita lupakan itu dahulu, lalu ikutilah saya."

Ular itu mulai berbalik dan bergerak perlahan.

Aku dan Guru juga mulai mengikuti disamping kepalanya.

Tentu saja timbul rasa penasaran dalam benakku tentang kemana ular ini akan membawa kami.

"Anda akan menuntun kami kemana, Tuan?"

"Menuju ruang dibalik pintu hitam itu... Dimana takdir masih menanti anda didalam sana, sesuatu yang sangat berharga bagi anda."

"Takdirku? Sesuatu yang sangat berharga bagiku?"

"Ikuti saja saya, anda akan segera mengetahuinya juga."

Setelah mengetahui ada hal besar yang telah menanti dihadapanku, membuat jantung ini semakin berdebar-debar.

Setelah beberapa saat, akhirnya kami sampai pada pintu logam hitam raksasa ini.

Ukiran keemasan pada daun pintu yang menggambarkan seorang wanita Druid tengah dikelilingi banyak hewan mistik yang belum aku ketahui, membuatku bertanya-tanya akan apa yang ada dibaliknya.

Disisi lain sang ular putih raksasa itu menegakkan bagian tubuh disekitar kepala, sementara kepalanya sedikit tertunduk dengan mata yang terpejam.

Lalu dia mengucapkan sebuah kalimat dalam bahasa jawa dengan suara beratnya.

"Bangunlah wahai Ratu kami, Sekarang telah tiba waktu bagi janji anda untuk terpenuhi."

Deritan logam yang begitu keras mulai terdengar saat ular itu menyelesaikan kalimatnya.

Perlahan daun pintu raksasa itu mulai terbuka kedalam.

Cahaya yang menyilaukan muncul dan bersinar dari balik pintu.

Saat pintu ini masih dalam proses terbuka, ular itu mengucapkan sesuatu padaku.

"Nah... Saya persilahkan bagi anda sekarang untuk memenuhi janji tuan, wahai Pewaris Kaisar Roh."

"Janjiku...?"

Aku membalas ucapan ular putih tersebut dengan ekspresi tertegun, disaat aku tengah mengamati cahaya yang bersinar dari balik pintu raksasa itu.

avataravatar
Next chapter