32 Bab 31 - Ujian Yang Sulit

Dahan demi dahan, pohon demi pohon aku lompati dengan lincahnya.

Aku memilih cara seperti ini untuk menghindari bagian tanah berlumpur pada area yang ku lewati sekarang, karena lumpur dibawah sanggup menenggelamkan kaki jika menginjak diatasnya.

Dengan napas yang begitu terengah-engah, sejenak aku hentikan langkah kakiku yang sudah lumayan lama menuntunku dalam menyusuri hutan.

Langkah aku hentikan dikala diriku masih berada diatas dahan dari pepohonan hutan ini.

"Hah... Hah... Hah... Huft... Hah..."

Keringat bercucuran dari sekujur tubuhku karena dampak aktivitas fisik yang cukup berlebihan.

Kaos abu-abu di balik jaket hoodie hitam yang aku kenakan sekarang telah sepenuhnya dibasahi oleh keringat.

Meski resleting jaket ini aku buka agar bisa sedikit mengurangi rasa panas dari dalam tubuh, namun masih belum cukup untuk memberi kesejukan.

Akhirnya jaket ini aku lepaskan untuk sedikit mengurangi rasa gerah.

Kemudian kedua bagian lengan jaket aku ikatkan pada area pinggang sementara bagian badan jaket menutupi area belakang.

Bersamaan itu pula aku mengutarakan keluh kesah terhadap Guru.

"Sebenarnya seluas apa hutan ini? Setelah beberapa jam aku masih belum bisa menemukan satupun checkpoint."

Mendengar pertanyaan ku itu, nampaknya Guru tidak bisa memberikan kepastian yang jelas.

Terlihat dari gerak-gerik Guru yang tengah menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk dikala berpikir.

Kurang lebih setengah menit, akhirnya Guru mau memberikan jawabannya padaku.

"Aku tidak begitu yakin dengan luas pasti hutan ini, namun luasnya paling tidak sekitar separuh pulau Jawa."

Dahi ku langsung mengerut begitu saja karena jawaban yang kudengar tidak sesuai harapan ku.

"Ugh... Yang benar saja? Aku bahkan tidak membawa bekal sama sekali. Mungkin kelaparan lah yang akan membunuhku daripada Binatang Mistik di hutan ini."

"Aku kan sebelumnya telah memasukkan informasi mengenai buah-buahan ataupun tumbuhan dari hutan ini yang dapat dimakan kedalam kepalamu. Harusnya kamu tidak perlu khawatir tentang masalah makanan."

"Tapi menemukannya bukanlah perkara mudah, aku tadi bahkan hanya menemukan sedikit buah-buahan yang cuma sanggup mengganjal sementara rasa lapar ku."

"Tak ada yang mudah dalam ujian, semakin berat dirimu ditempa maka makin menakjubkan hasil yang kamu dapat."

"Guru bisa bilang semudah itu karena bukan yang merasakan."

Sanggahan yang kuberi justru membuat Guru menjitak kepalaku.

"Ouch... Kenapa kepalaku malah dijitak?"

"Aku bisa bilang begini juga karena sudah memiliki pengalaman."

Lalu entah mengapa raut wajah Guru pun mulai menunjukkan sedikit kesedihan yang muncul dari dalam batinnya.

"Banyak hal berat juga yang telah aku lalui agar menjadi kuat. Dan sekarang aku justru menyesal... Mengapa diriku dulu tidak berjuang lebih keras lagi. Jika saja waktu itu aku..."

Kalimat Guru terjeda dan matanya jadi sedikit berkaca-kaca.

Mungkin Guru saat ini tengah terkenang kembali dengan ingatan pahit masa lalunya.

"Anu... Guru-"

"Tidak... Lupakan saja dulu itu. Yang penting ingatlah kembali apa yang kamu butuhkan dalam ujian di Dimensi Kecil ini."

Kalimat ku langsung dipotong begitu saja, nampaknya Guru tak ingin membahas lebih jauh kenangannya.

Ada baiknya jika aku tak membahas hal itu lebih dalam, terutama membahas luka lama milik seseorang.

Akan aku ikuti saja pembicaraan yang sedang Guru arahkan.

"Tentu aku masih mengingatnya yaitu usaha, keberuntungan dan takdir."

"Untuk sekarang berusahalah sekeras mungkin dalam melalui kerasnya ujian ini. Lalu percayalah keberuntungan adalah salah satu hadiah yang kamu petik dari seluruh upaya mu. Dan kamu sudah tahu akan takdirmu, jalan yang akan kamu tapaki itu tidaklah sempit. Jalanmu sangat besar dan luas, akan ada banyak hal yang akan kamu jumpai disepanjang jalan. Pilihan akan selalu tersedia untukmu."

"Bukan berarti semua pilihan yang akan aku temui selalu merupakan hal baik. Setiap jalan pasti juga memiliki persimpangan. Arah mana yang aku tuju... Aku takut jika mungkin nantinya diriku akan tersesat."

"Jika kamu takut tersesat, maka tak ada salahnya jika sesekali berhenti untuk bertanya pada orang lain bukan? Akan selalu ada orang yang tersenyum dan dengan senang hati menunjukkan arah padamu."

Brugh!!!... Aku jatuhkan pantatku pada dahan pohon yang sedang aku pijak sekarang.

Selanjutnya punggungku bersandar pada batang pohon agar diriku bisa beristirahat sejenak.

"Huh... Aku sepertinya sudah melantur terlalu jauh. Rasa lelah dan frustasi ini sudah membuat diriku berpikir yang tidak-tidak."

"Ada baiknya kamu cari tempat bernaung dahulu, selain untuk istirahat kamu juga bisa sekaligus berkultivasi roh disana. Dimensi Kecil ini cukup kaya dengan energi roh alam. Karena disini tidak ada mahluk hidup yang mana menyerap kandungan energi roh alam sebanyak di dunia fana."

"Kurasa itu memang ide yang bagus, Kultivasi Roh juga bisa membantu tubuhku lebih prima dan menghilangkan rasa lelah."

Lalu tanpa aba-aba sama sekali, dengan cepat aku membuka lebar telapak tangan kananku dengan jari saling dirapatkan.

Energi roh langsung melapisi seluruh permukaan tangan kananku dengan tepian lapisan energi roh yang tajam seperti pisau.

Slash!!! Gerakan menusuk aku buat dengan telapak tangan kanan menuju belakang tubuhku melalui bagian atas pundak kiri.

Kepala ular bercorak coklat yang mirip seperti kayu pohon dengan bola mata berwarna sama dengan kulitnya itu segera terjatuh ketanah.

Bagian tubuhnya juga ikut menyusul jatuh ketanah, sementara telapak tanganku yang memotong ular tersebut masih terdiam sejenak dalam posisinya.

Setelah beberapa detik, aku hentikan aliran energi rohnya dan menarik kembali tanganku.

"Kamu pikir aku tidak menyadari kehadiranmu? Aku masih dapat dengan jelas merasakan getaran energi roh mu yang dipenuhi dengan hasrat membunuh."

"Kepekaan inderamu sudah meningkat cukup baik."

"Tentu saja, sejak aku melawan para Macan Tutul Kabut sebelumnya. Aku terus-menerus melatih inderaku untuk merasakan beragam getaran energi roh dari mahluk hidup yang berbeda-beda disepanjang hutan yang ku lalui."

Napas dalam-dalam aku hirup dan ku hembuskan, setelahnya aku mengambil posisi berdiri dengan perlahan.

Lengan kanan bagian atas aku putar untuk sedikit merilekskan otot.

"Sebaiknya aku harus mulai mencari tempat yang cocok untuk kultivasi roh."

Kedua mata ini aku pejamkan sejenak, lalu disaat kubuka kembali kedua mataku.

Mata Dewa Roh ku telah aktif dan memancarkan cahaya merah yang memberikan kesan kuat bersamaan dengan tatapan mataku yang tajam.

Bola mataku melirik kesana-sini untuk mencari lokasi yang ideal.

Meski memakan beberapa waktu akhirnya aku dapat menemukan tempat yang kurasa cocok.

Ada sebuah Gua besar yang bertempat ditengah-tengah sebuah tebing pada arah jam 3 dari posisiku.

Jaraknya kurang lebih 5 KM, jadi tidak terlalu jauh.

Akan tetapi didalamnya ada sesuatu yang memiliki energi roh luar biasa dibanding makhluk-makhluk lain yang telah aku hadapi.

Meskipun begitu aku tak ragu sama sekali untuk melesat menuju tempat itu.

"Menarik, akan aku coba seberapa kuat mahluk itu."

Kemudian Mata Dewa Roh pun aku hentikan penggunaannya bersamaan langkah kaki yang makin cepat melompati dahan pepohonan.

Setelah melaju beberapa ratus meter, kabut perlahan mulai menipis dan menghilang.

Cahaya mulai menyilaukan kedua mataku, segera lengan kananku menutupi mata untuk menghalau sinar.

Namun setelah aku sedikit terbiasa dan membuka kembali mataku, aku baru sadar dibawah kakiku sudah tak ada pijakan.

Dibawahnya adalah sebuah lembah dengan padang rumput hijau nan luas.

"Sial, karena banyaknya pepohonan di hutan. Membuatku tidak sadar ada tepian jurang yang mengarah ke sebuah lembah."

SWUUUUSH!!!... Aku melesat jatuh kebawah jurang tanpa ada tempat untuk meraih pijakan.

Pada umumnya jika aku terjebak dalam kondisi ini, aku hanya dapat panik dan pasrah.

Namun sekarang aku adalah seorang Praktisi Roh yang mana dapat melakukan hal-hal diluar nalar manusia biasa.

Itu membuat diriku jauh lebih tenang hingga aku dapat berpikir dengan jernih meskipun dalam kondisi yang gawat seperti ini.

Aku menoleh pada dinding tebing yang tepat berada dibelakang punggungku.

Sebersit ide untuk keluar dari situasi ini pun langsung muncul begitu saja dalam kepalaku.

Segera aku mengangkat kedua telapak kakiku menghadap ke depan.

Kemudian aku membuat ledakan energi roh dari kedua telapak kaki untuk memberikan daya dorong pada tubuhku supaya melesat pada dinding tebing.

Daya hentak dan dorongannya sangatlah kuat, jika aku menabrak dinding tebing menggunakan punggung pada kecepatan ini, sudah pasti itu akan sangat menyakitkan.

Gerakan salto pun aku buat hingga telapak kakiku yang sebelumnya menghadap ke depan beralih menghadap dinding tebing.

Dalam sepersekian detik sebelum kakiku menghantam dinding tebing, seluruh pergelangan kaki telah aku lapisi dengan energi roh.

BRUUUAAAAGHHHH!!! KRAKKK!!!... Suara dinding tebing yang hancur karena dampak pendaratan ku yang sangat kuat.

Meninggalkan rekahan besar pada dinding tebing tersebut.

Kedua tanganku pun secepat mungkin meraih bebatuan yang bisa digunakan untuk pegangan.

Aku berhenti sejenak dalam posisi berjongkok pada dinding tebing secara vertikal dengan tubuh bagian depan menghadap kebawah.

"Cara penyelamatan diri yang cukup kasar, untung saja bebatuan pada dinding tebing ini cukup kokoh. Jadi aku tidak akan menyebabkan longsor yang membuat diriku terperosok kebawah nantinya."

Disisi lain Guru telah turun dari atas menyusul diriku yang tengah bergelantungan pada tebing.

"Pengendalian energi roh yang menakjubkan, kamu dapat berimprovisasi dengan cepat meski dalam keadaan genting seperti ini. Aku memang telah mengajarimu cara memakai energi roh serta memberi sebuah teknik roh dasar tingkat atas. Namun cara dasar penggunaan energi roh telah kamu tingkatkan pada level ini secara otodidak. Level perkembanganmu sungguh mengerikan."

"Mau bagaimana lagi? hanya itu satu-satunya cara aku dapat bertahan hidup ditempat ini... Ummm... Tidak, lebih tepatnya bertahan hidup dalam dunia para Praktisi Roh."

"Ketika kamu melakukan pendaftaran pada Akademi Pengawas Roh nantinya, kamu akan membuat kejutan yang sangat besar. Seorang Praktisi Roh pada Tahap Dasar Roh Tingkat 1 menunjukkan keterampilan yang tak pernah dibayangkan siapa pun. Kamu mungkin akan menarik banyak musuh."

Ku pejamkan mataku sejenak sembari memikirkan perkataan Guru.

Lalu aku buka kembali kedua mataku dengan tatapan mata yang dingin serta tajam, disaat memikirkan situasi ku yang akan datang.

"Akan selalu ada orang-orang yang tidak akan senang dengan kebahagiaan orang lain, rasa iri dan dengki sudah pasti mengakar kuat pada hati mereka. Dan jika saatnya tiba orang-orang seperti itu datang menghampiriku. Akan kuberi sesuatu yang pantas mereka dapatkan."

Hasrat membunuh pun mulai terpancar sangat kuat dari dalam diriku ini.

"Huh... Meskipun sebenarnya aku sudah melakukannya belum lama ini."

Guru justru menggelengkan kepala untuk menunjukkan reaksi atas sikap ku barusan.

"Tolong hentikan hawa membunuh itu, kamu telah menakut-nakuti mahluk lain disekitarmu."

Mataku langsung terbuka lebar dikala telah menyadari atas tindakanku ini.

Dari arah kiri bawah mulai terdengar dalam telingaku suara tangisan bayi burung setelah sadar dari pikiranku barusan.

Ku tengok sumber suara itu, ternyata disana ada sarang dengan seekor burung elang berjambul dengan warna biru muda tengah mengambil posisi waspada dan nampak begitu ketakutan sementara anak-anaknya yang menangis berada dibawah naungan sayapnya.

Ekspresi kelam akhirnya mulai terlihat pada raut muka ku tepat setelah melihat hasil perbuatan ku ini.

"Ah... Sisi gelap telah muncul kembali dari bagian terdalam hatiku. Ataukah itu memang jati diriku sebenarnya? Kenapa pula orang sepertiku mendapat kekuatan sebesar ini?"

"Aku kira ujian terberat bagimu adalah melawan dirimu sendiri, lebih tepatnya iblis dalam hatimu. Tapi ingatlah itu bukan dirimu yang sebenarnya. Karena yang berada didalam lubuk hati terdalam setiap manusia adalah hati nurani. Rasa bersalah yang muncul dalam hatimu itulah merupakan cara hati nurani mengingatkan dirimu serta cara hati nurani mengingatkan tiap insan manusia lainnya."

Guru pun perlahan mendekat, lalu wajahnya mulai ia dekatkan pada telingaku.

"Percayalah pada dirimu sendiri."

Akhirnya Guru perlahan menghilang dan masuk kedalam diriku lagi, dengan senyum lembut yang dia tujukan padaku.

Perasaan hangat dan syukur segera menyeruak dalam diriku, bahkan membuat mataku mulai berkaca-kaca.

"Aku akan istirahat dulu dalam dirimu, jadi lanjutkan lah sisanya."

"Yah... Tentu saja Guru."

Aku membalas Guru dengan senyum yang mulai terukir jelas pada wajahku.

Lalu untuk sesaat aku memandangi padang rumput hijau di seluruh penjuru lembah yang begitu asri.

Angin sepoi-sepoi membuat rerumputan melambai-lambai seolah menyapa tiap mahluk yang ada disana.

Perasaan tenang pun kembali muncul dalam diriku.

Kemudian aku mencermati ada segerombolan besar hewan mistik ditengah padang rumput.

Dan itu merupakan sekumpulan banteng yang sangat besar dengan warna hitam gelap dan kulitnya nampak seperti batu.

Pada tepian gerombolan itu bahkan ada sepasang banteng yang saling beradu.

Tiap bunyi hantaman kepala mereka terdengar hingga mencapai telinga ku meski dengan jarak sejauh ini.

Bahkan tanah tempat mereka berduel sampai hancur berantakan.

Pohon didekat pertarungan itu juga mulai rubuh akibat gelombang kejut yang tercipta dari tiap aduan kepala banteng-banteng tersebut.

Meski melihat hal yang cukup mengerikan untuk didekati itu, entah mengapa senyum percaya diri yang muncul padaku.

Kakiku segera mengambil ancang-ancang, begitu pula kedua tanganku.

Mataku menatap dengan tajam bersamaan napas dalam-dalam yang aku tarik.

WHUUUZ!!!... Berlari ditepian dinding tebing secara vertikal menuju kebawah, aku melesat layaknya angin.

Burung Elang tadi yang sekarang baru saja aku lewati, menunjukkan reaksi terkejut.

Setelah beberapa detik pun aku hampir mencapai tanah.

Telapak kaki segera aku lepaskan dari dinding tebing dan mulai melapisi seluruh pergelangannya dengan energi roh.

Sekarang telapak kakiku beralih menghadap permukaan tanah untuk melakukan persiapan pendaratan.

Tentu saja pendaratan ku ini menyebabkan dampak yang begitu besar.

BUUUUMMM!!! BRUAGH!!!... Guncangan kuat terbentuk pada permukaan tanah tempatku mendarat.

Awan debu membumbung tinggi dan berterbangan dalam area yang tidak kecil.

Para banteng di kejauhan mulai mengalihkan pandangannya pada kegaduhan yang aku buat.

Dari balik awan debu, aku muncul dan berjalan menuju arah mereka sembari melakukan gerakan peregangan pada sendi telapak tangan.

"Baiklah, aku akan coba sejauh apa kekuatan kalian. Ini akan jadi panen besar-besaran kurasa."

avataravatar
Next chapter