29 Bab 28 - Dimensi Kecil

Meski napas ku terengah-engah karena didera rasa panik, sebisa mungkin aku menenangkan diri.

Aku memantau sekeliling ku untuk memastikan apakah ada bahaya disekitar diriku.

Namun yang kulihat dan kurasakan hanya hutan lebat yang hampir terasa sunyi.

Suara ranting dan dedaunan yang saling bergesekan karena angin dapat terdengar begitu jelas.

Kabut yang cukup pekat itu juga memberikan kesan yang cukup mencekam ditengah kesunyian ini.

Ditambah pula adanya suara samar namun mengerikan dari serangga atau hewan yang terasa asing oleh telinga ku jauh dari balik kabut, memunculkan pada diriku rasa enggan untuk memasuki hutan lebat itu.

Lalu setelah menghabiskan waktu berapa saat, akhirnya bisa sedikit lebih tenang.

Aku sudah teringat kembali bahwa aku tidak sendirian di tempat mengerikan ini karena Guru masih bersama diriku, jadinya aku bisa menghela napas lega.

"Guru, sebenarnya kita sekarang berada ditempat macam apa ini?"

"..."

Tak ada jawaban yang bisa kudengar darinya sama sekali.

Detak jantungku perlahan mulai meningkat karena rasa khawatir dan was-was mulai muncul.

"G-Guru... Ugh... Guru bisa mendengarku bukan??!!! Tolong jawab aku Guru!!!! Kumohon jangan bercanda dalam kondisi seperti ini!!!"

"..."

Dia benar-benar tidak menjawab sama sekali dan meninggalkan diriku sendirian ditempat antah-berantah yang mencekam begini.

Kakiku mulai terasa lemas hingga akhirnya lutut ku terjatuh diatas tanah yang tertutupi dedaunan kering.

Wajah syok terukir jelas pada raut wajahku, keringat dingin juga mulai bercucuran.

Tubuhku tertunduk ke depan karena batinku sekarang dipenuhi perasaan negatif, namun aku menggunakan kedua tanganku sebagai penyangga agar tidak terjatuh ketanah.

KRUSAAKKK!!!... Suara daun kering yang berbunyi nyaring terdengar karena hantaman kepalan tangan kananku pada tanah.

"GURUUUUUUUUU!!!!!!!!! UAGH... SIAL!!! Meninggalkan ku seenaknya saja bahkan tanpa memberi petunjuk, APA GURU INGIN MEMBUNUHKU???!!!"

Aku tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan untuk menenangkan diriku kembali setelah aku mengeluarkan omelan ku tadi.

Sepertinya aku harus mengecek kembali pola inskripsi yang sudah membawaku kemari, siapa tahu itu bisa membawaku kembali.

Segera aku berdiri tegap, lalu aku bersihkan celana bagian lutut kebawah dari dedaunan kering yang menempel.

Dengan sedikit melakukan peregangan tubuh, aku bersiap kembali mengucapkan kalimat kunci yang mengaktifkan pola inkripsi dibawah kaki ku.

"Hmmm... Mungkin saja kalimat kunci yang mengaktifkan pola inkripsi untuk membawa ku kemari sebelumnya bisa mengembalikan diriku lagi. Tak ada salahnya untuk dicoba, "Kula ne-"."

Namun bersamaan angin dingin yang menerpa tubuh ku, aku tiba-tiba saja mendengar sebuah bisikan halus nan menyeramkan masuk dalam telinga ku.

"Maaa...tiii..."

Sontak diriku terperanjat kaku, sementara detak jantung meningkat dengan cepat.

Mataku mulai melirik ke kanan dan kiri untuk memastikan lagi disekitar ku jika ada sesuatu yang menjadi sumber bisikan tadi, akan tetapi.

TAP!!!... sebuah sentuhan jatuh pada pundak kiri ku, napas ku jadi terjeda sejenak karena rasa takut.

Meski dengan keringat dingin bercucuran, aku tetap mencoba untuk melirik secara perlahan pada bagian pundak ku yang tengah dipegang sesuatu.

Ternyata sebuah tangan putih setengah transparan lah yang tengah menyentuh pundak ku.

Aku pun mencoba menoleh kebelakang dengan kaku saat mencoba memastikan tangan siapa itu.

Ketika melihat sosoknya telah membuat wajahku langsung berubah menjadi sangat pucat, ternyata ada sesosok setengah transparan berpakaian putih dengan rambut panjang abu-abu ditambah ekspresi wajahnya yang sangat dingin dan menyeramkan.

Sontak saja aku melompat menjauhinya dengan wajah ketakutan dan tangan yang aku silangkan didepan wajahku.

"HWAAAAAAAA!!!!... S-SE-SETAAAAAAANNN!!!!"

Setelah berteriak seperti itu, tanpa kusadari aku memejamkan mata karena rasa takut dalam diriku yang meminta untuk berhenti melihat sosok itu.

Lalu terjadi keheningan selama beberapa detik saat aku memejamkan mata, kemudian sosok itu mulai mengeluarkan suara.

"Pffft... Ha ha ha ha ha ha ha..."

Huh? Kenapa dia malah tertawa terbahak-bahak?

Perlahan aku membuka mataku kembali dan malah melihat sosok itu tengah tertawa sambil memegang perutnya.

Ketika diamati lagi sosok itu terasa tidak asing, sepertinya aku pernah bertemu dengannya.

Ah... Aku ingat sekarang, itu adalah sosok yang pernah guru tunjukkan dalam diriku sebelumnya.

"Kugh... Jadi ternyata begitu, dari tadi adalah ulah Guru brengsek ini."

Aku kepalkan telapak tanganku dengan keras hingga gemetaran sementara raut muka kesal terlihat jelas di wajahku.

Rasa ingin memukulnya muncul begitu kuat dalam benak ku, namun sebisa mungkin aku menahan diri.

Tak lama kemudian sosok Guru perlahan melayang mendekati ku.

"Heee... Kenapa kamu nampak begitu kesal setelah melihat ku? Bukankah kamu dari tadi bingung dan ketakutan mencari diriku?"

Mendengar kalimat ledekannya membuat aku mengerutkan keningku.

"Kalau saja kau bukan Guru, maka aku sudah pasti akan... Ugh..."

"Maaf... maaf... aku hanya bercanda, janganlah diambil dalam hati."

"Ya... Aku akan berusaha... GURUUU..."

Aku membalas ucapan Guru dengan senyum yang terlihat jelas menutup-nutupi rasa kesalku.

Lalu ku hembuskan napas panjang untuk merilekskan diriku, sembari mulai kembali pada pembahasan yang lebih penting.

"Jadi kita berada dimana sekarang? Lalu kenapa Guru bisa keluar dan menampakkan wujud seperti ini?"

"Aku bisa menampilkan wujud seperti ini diluar tubuhmu juga ada hubungannya dengan tempat kita berada sekarang."

"Aku tahu ini bukan tempat biasa, namun aku tidak menyangka sampai bisa membuat Guru menampakkan diri seperti ini. Apakah ini tempat yang berbeda dengan dunia nyata?"

Guru pun mulai melipat tangannya di dada ketika dia mulai memberikan jawaban padaku.

"Itu benar, saat ini kita berada di dimensi kecil atau bisa disebut juga dunia kecil. Dimensi yang terpisah dari dari 3 dunia utama."

Penjelasan yang diberikan Guru membuat diriku berpikir lebih dalam hingga tanpa sadar aku memegangi dagu dengan tangan kanan ku.

"Mungkin kah aturan dari dimensi kecil berbeda dari 3 dunia utama? Karenanya pula Guru sanggup menampilkan perwujudan diluar inti roh ku."

"Tepat, dimensi kecil adalah dunia yang tidak terikat dengan 3 dunia utama, jadi ada beberapa aturan hukum dunia yang sedikit berbeda. Salah satunya adalah membiarkan roh tanpa raga sepertiku tetap bisa berpergian dengan bebas di dimensi kecil ini."

"Tolong Guru jelaskan lebih terperinci lagi terkait hukum yang anda maksud kan."

"salah satu hukum dunia yang aku maksud adalah hukum kematian. Hukum kematian pada 3 dunia utama adalah jika ada jiwa yang bergentayangan terlalu lama di dunia tanpa raga, maka dunia akan mengirim paksa jiwa tersebut menuju alam akhir alias alam baka. Namun dimensi kecil tidak memiliki hukum itu, karena itu pula banyak jiwa dari mahluk yang sudah mati di dimensi kecil terus bergentayangan dalam waktu lama."

Semua fakta yang tidak pernah aku kira ini membuatku hanya bisa menggelengkan kepala.

"Bukankah ini bisa membuat adanya penumpukan jiwa gentayangan pada dimensi kecil."

"Tentu saja alam baka tidak hanya membiarkan ini begitu saja. Setiap 500 tahun sekali jika menggunakan hukum waktu 3 dunia utama, alam baka akan mengirimkan para malaikat untuk melakukan pembersihan besar-besaran pada semua dimensi-dimensi kecil untuk mencari jiwa-jiwa yang bergentayangan. Jadi tidak akan ada masalah penumpukan jiwa bergentayangan pada dimensi kecil. Dan karena waktu pembersihan masih sangat lama, aku sekarang bisa bebas berkeliaran disini tanpa raga sama sekali."

Aku menggaruk-garuk kepala bagian belakang ketika berusaha memahami semua penjelasan yang Guru berikan.

"Sudut pandang dunia yang dilihat oleh para Praktisi Roh sungguh berbeda dari para orang awam. Bahkan para Praktisi Roh bisa memanfaatkan dimensi kecil seperti ini, sepertinya Praktisi Roh itu tidak mengenal batas."

"Sebenarnya pengetahuan mengenai dimensi kecil ini sudah sangat lama hilang sejak ratusan ribu tahun yang lalu setelah perang besar era kuno terdahulu melibatkan 3 dunia utama, perang yang sudah lama dilupakan. Meski begitu masih ada segelintir orang yang memiliki pengetahuan terkait dimensi kecil. Setidaknya hingga era beberapa ratus tahun yang lalu, namun pengetahuan itu sangat dirahasiakan. Pola inskripsi yang kita gunakan tadi adalah salah satu peninggalan orang-orang itu. Dan untuk era sekarang hanya aku yang masih memilikinya."

"Aku sebenarnya sedikit penasaran dengan perang kuno yang Guru maksud. Perang sebesar itu bahkan bisa dilupakan."

"Karena perang besar itu merupakan kenangan yang sangat menyakitkan bagi korban perang era itu. Ratusan juta penduduk dunia nyata dan dunia roh tewas dalam perang itu, kerusakan yang sungguh tidak terbayangkan hingga dunia terlihat seperti neraka. Bahkan dunia para dewa menghilang sejak saat itu. Setidaknya perang itu dapat diakhiri oleh leluhurmu yang juga kala itu mendapat julukan Kaisar Roh, sosok yang memiliki kekuatan setara dengan para dewa. Sayangnya harga dari mengakhiri perang itu adalah nyawanya sendiri."

Tatapan mataku terbuka lebar karena aku kembali teringat sesuatu yang pernah Guru sebutkan pada pertemuan pertama kami.

Tubuhku gemetaran karena membayangkan beban berat yang mungkin sedang aku pikul.

"Kaisar... Roh? Guru pernah bilang aku memiliki takdir sebagai pewaris Kaisar Roh. Aku tak mengira sesuatu yang sebesar itu sungguh berada dalam diriku ini."

"Aku sudah pernah bilang padamu sebelumnya jika kamu menerima takdirmu, maka keputusan yang akan kamu buat akan mempengaruhi nasib 3 dunia."

"Yah... meski begitu, aku baru paham sekarang betapa beratnya beban yang aku pikul. Apakah aku suatu saat harus menghadapi ancaman yang setingkat dengan perang besar itu? Aku tak sanggup membayangkannya. Bahkan jika itu sungguh terjadi, aku ragu apa bisa mengatasinya."

Dengan sedikit lesu aku menghela napas, kemudian aku pegangi kening ku dengan telapak tangan kananku sembari merenung.

"Alasan Tuhan memberikan takdir sebesar ini pada dirimu juga pasti bukan tanpa alasan. Mungkin tidak akan lama lagi ada hal besar yang segera menimpa 3 dunia, lalu merupakan tugas bagimu untuk mengatasinya."

"..."

Aku tidak bisa menjawab Guru sama sekali, karena saat ini pikiranku sedang dipenuhi rasa terbebani.

"Huft... Meski dulu kamu memilih tidak menerima takdirmu, tapi hal besar yang akan dialami 3 dunia pasti akan tetap terjadi cepat atau lambat. Lalu bukankah kamu ingin melindungi keluargamu? Kamu ingin menjadi lebih kuat lagi agar tak ada lagi yang bisa merenggut hal yang paling berharga bagimu, itukan keinginan dan harapanmu?"

Ucapan Guru tepat mengenai lubuk hatiku dan menghilangkan semua rasa bimbang.

Kepalaku yang sebelumnya terasa begitu berat justru sekarang jauh lebih ringan.

Mataku terbuka lebar-lebar saat mengingat kembali tujuan terpenting ku sebagai Praktisi Roh.

"Huh... Aku benar-benar bodoh, sampai sempat melupakan hal terpenting bagiku. Meskipun aku melarikan diri dari takdirku tapi aku tak bisa lari dari takdir dunia. Tak akan membiarkan hal yang berharga bagiku terenggut kembali ya? Itu sudah pasti, lagipula aku juga tidak bisa membiarkan semua pengorbanan Ayah dan keluarga ku demi diriku menjadi sia-sia. Akan aku sanggupi semua beban berat itu diatas pundak ku apapun harganya."

"Uhm...Berjuanglah...nak."

Guru mengakhiri ucapan itu dengan senyum yang lembut meski dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.

Entah kenapa meski hanya satu dua kata, aku bisa merasakan banyak perasaan yang terkandung didalamnya.

"Ya, Terimakasih... Guru."

Aku pun membalas Guru dengan senyuman yang lembut juga.

Kemudian aku mulai mendongak menatap pada langit, ada sesuatu yang sangat ingin aku sampaikan meski tidak tahu apakah akan didengar.

"Ayah... apakah kamu bisa mendengarku? Aku sekarang sudah tumbuh dengan baik berkat Mama dan Kakek. Aku juga mendapatkan keluarga baru dalam hidupku. Bertemu Guru yang sudah banyak memberikan bantuan dan hal baik bagiku. Bahkan aku sekarang bisa bertemu dengan gadis yang aku cintai. Aku benar-benar sangat bahagia sekarang."

Mata ku mulai berkaca-kaca dan air mata akhirnya perlahan mulai mengalir.

Meski dengan suara serak aku tetap melanjutkan kalimatku untuk Ayah diatas sana.

"Terimakasih... terimakasih... Ayah... Sudah memberikan kesempatan bagiku untuk merasakan hidup meski dengan harga hidup mu sekali pun. Karena itu Ayah... sekarang adalah giliranku untuk melindungi keluarga kita dan seluruh harapan mu. Suatu saat jika kita dapat bertemu lagi maka akan aku sampai kan semua kisah ku padamu... Aku... Aku... Aku harap Ayah bisa tenang dan bahagia disana... Ayah..."

TAP!!!... Guru menepuk kepalaku dan kemudian dengan perlahan mengelusnya.

"Dia pasti bahagia sekarang... Aku yakin itu, karena baginya kebahagiaanmu adalah kebahagiaan baginya."

Melihat perlakuan Guru sungguh membuat hatiku jauh lebih tenang dan hangat, lalu ku hapus semua air mataku dengan kain pada lengan pakaian ku.

"Terimakasih sekali lagi, Guru. Kamu sudah membuat diriku merasa jauh lebih baik sekarang."

"Ini juga sudah merupakan tugas bagi seorang Guru pada muridnya. Baiklah, sekarang kita kembali pada fokus utama kita berada disini."

"Aku sudah siap Guru, apa yang harus aku lakukan?"

"Disini bukan dimensi kecil sembarangan, meskipun dimensi kecil ini sudah diatur oleh para Praktisi Roh hebat jaman dahulu sebagai tempat latihan, tempat ini juga sangatlah berbahaya. Ada banyak jebakan, hewan mistik buas atau bisa disebut siluman dan jiwa-jiwa gentayangan baik dari mahluk penghuni dimensi kecil ini maupun dari orang-orang yang tewas saat latihan disini."

"Ugh... akan kucoba sebaik mungkin untuk mengatasinya."

"Tapi jika kamu berhasil mencapai checkpoint jauh didalam hutan ini, maka akan ada hadiah besar yang menantimu disana. Juga pola inkripsi untuk pergi ke dimensi kecil yang jauh lebih sulit dan juga pola inskripsi untuk pulang ada disana. Jadi berjuanglah sebaik mungkin dan tetap hidup untuk sampai disana."

Aku hanya bisa tersenyum kecut setelah mendengar semua penjelasan Guru akan bahaya yang tersembunyi di dalam hutan ini, lalu mau tidak mau aku pun harus melewatinya.

"Huh... Mungkin aku harus menulis surat wasiat dulu."

avataravatar
Next chapter