24 Bab 23 - Dojo Milik Kakek

Dalam posisi berlutut didepan kamar Gita, aku sandarkan kepalan tangan kananku tepat di daun pintu kamarnya.

Dengan wajah memerah serta kepalan tangan yang bergetar karena diriku saat ini tengah menahan rasa malu bercampur kesal, sebisa mungkin menahan mulutku yang hendak mengeluarkan teriakan yang ingin aku arahkan pada Guru.

Perlahan aku mencoba berkomunikasi dengan guru melalui telepati terkait tindakannya yang sudah melanggar privasi ku.

"G-guru brengsek... bisa tidak untuk tidak mengintip privasi orang lain."

"Oi... aku ini gurumu lho, sopanlah sedikit padaku."

Mendengar jawaban Guru justru membuat darahku makin mendidih, uratku bahkan sampai muncul di kening karena saking kesalnya.

"Sopan? Tak kusangka kata-kata itu bisa muncul dari seorang tukang intip."

" Yah mau bagaimana lagi, aku bosan jika hanya tinggal di lautan roh milikmu. Setidaknya aku juga ingin melihat situasi di luar."

"Tapi setidaknya perhatikan kondisi juga!!! Dan bertanya padaku dulu ketika ingin mengintip kondisi di luar. Memangnya jika suatu saat aku akan nge-... Uhm... Malam pertama dengan istriku, aku bakal mempersilahkan anda menontonnya... hah?!!!"

"Ah... Boleh juga, bisa nonton dari kursi VIP. Kenapa aku tidak kepikiran sebelumnya."

Emosiku langsung meledak mendengar itu, aku langsung mengusap rambutku menggunakan kedua tanganku dengan cukup keras.

Sumpah serapah sungguh ingin melontar keluar dari dalam mulutku, namun aku masih ingat bahwa sekarang aku masih didepan kamar Gita.

Jadi aku kontrol mulutku sebisa mungkin atau Gita bisa salah paham kalau aku mengumpat pada dirinya, karena dia tidak tahu aku sedang bicara dengan Guru.

"UWAAAAAH... Guru sialan, sungguh tak bisa diharapkan. Setidaknya pikirkanlah perasaanku, mana ada pria yang rela tubuh istrinya ditonton orang lain."

"He he he... jangan marah, aku hanya bercanda. Aku cukup banyak belajar dari pengalaman atas sikap usil dari Kakekmu dulu. Jadi sesekali aku ingin mencoba usil ternyata lumayan menyenangkan juga ha ha ha."

"Guru dan Kakek huh... kalian ini memang pandai sebagai penghancur mood. Sudahlah aku tak ingin lanjutkan perdebatan ini. Aku sudah cukup lelah menghadapi Gita dan sekarang ditambah Guru."

"Cobalah untuk tenang sekarang, kemudian kita lanjut pergi ke dojo milik kakek mu untuk berlatih kultivasi roh."

Dengan tubuh yang lunglai aku mencoba berdiri tegap, badanku sedikit terhuyung-huyung karena masih dalam tekanan batin yang cukup besar.

"Apa Guru pikir ini saat yang tepat untuk itu, mood ku sedang kacau sekarang ini. Aku sedang tidak ingin melakukan apapun."

"Tentu saja itu bukan masalah, kultivasi roh juga bisa membantu pikiranmu lebih tenang. Coba saja dulu dan rasakan sendiri akan kebenaran ucapanku."

Mendengar bujukannya membuatku terdiam sejenak untuk menimbang pilihan yang akan aku lakukan.

Setelah aku mengambil keputusan, aku hela napas untuk memantapkan pilihanku.

"Huft... Baiklah, akan ku ikuti saran dari Guru."

Sesuai perkataan Guru maka aku segera bergegas berjalan menuju dojo milik Kakek meski dengan tubuh yang loyo.

Aku turun ke lantai 1 kemudian pergi menuju halaman belakang rumahku.

Ketika sudah membuka pintu yang menghubungkan rumah dengan teras halaman belakang, angin malam yang dingin menerpa tubuhku.

Badanku sedikit gemetar karena rasa dinginnya telah menusuk tubuhku, aku hanya mengenakan kaos tipis serta celana pendek yang hanya menutupi sampai lutut.

Sebisa mungkin aku mencoba menahan rasa dinginnya sembari menutup pintu dan berjalan menuruni teras yang terbuat dari papan triplek berwarna coklat tua itu, untuk mengambil sepasang sandal di tepi bawah teras.

Tepat diseberang teras ini ada sebuah bangunan kecil dengan ukuran 10x10 meter dengan dinding berwarna cat putih.

Itulah dojo kecil milik Kakek yang dibangun tepat ditepi pekarangan belakang rumah kami.

Meski itu sebuah dojo, namun atapnya benar-benar berbentuk Limasan gaya khas bangunan Yogyakarta dan susunan gentengnya terbuat dari tanah liat merah.

Ketika aku masih kecil Kakek pernah memberitahuku dahulu pernah tinggal di Jepang selama beberapa tahun untuk berlatih kendo disana.

Sepulangnya Kakek dari Jepang, dia kemudian membangun dojo ini untuk melanjutkan latihannya sendiri namun ia tetap memberikan nuansa khas tanah kelahirannya pada bangunan ini.

Dengan tangan yang terlipat di dada untuk menahan dingin, aku terus berjalan menyusuri halaman belakang hingga sampai didepan pintu dojo.

Pintunya memiliki sepasang daun pintu berwarna hijau dengan ukiran ornamen indah berwarna cat keemasan berbentuk pola-pola yang beberapa mirip seperti bunga.

Ku pegang gagang pintu itu dan membuka pintu tersebut secara perlahan, namun deritan engsel pintu masih saja berbunyi cukup nyaring.

Tangan kananku segera meraba pada dinding untuk mencari saklar dekat pintu.

Setelah aku berhasil meraihnya maka tanpa basa-basi aku tekan tombolnya sehingga 4 buah lampu neon ditiap sudut yang awalnya mati mulai berkedip dan menyala sehingga seisi ruangan jadi terang.

Ruangan ini terdapat beberapa almari penyimpanan barang serta rak tempat untuk menyusun pedang kayu untuk latihan.

Disisi lain pintu masuk terpajang sepasang Katana asli yang dipajang di dinding dengan posisi saling menyilang, serta sepasang tempat lilin dari logam yang berbentuk L juga tertancap didinding yang posisinya disamping kanan dan kiri Katana tersebut.

Kemudian aku tutup pintu dojo, setelahnya berjalan perlahan menuju tengah ruangan.

Lantai yang aku lalui cukup mengkilap meski terbuat dari papan triplek berwarna coklat tua, itu pasti karena lantainya yang selalu rajin dipel oleh Kakek.

Sesampainya ditengah ruangan aku mulai bertelepati kembali dengan Guru untuk menanyakan langkah selanjutnya.

"Kita telah sampai di dojo, jadi aku sekarang harus bagaimana Guru?"

"Berjalanlah menuju wadah tempat lilin yang berada di dinding tepat sebelah kanan."

"Hah? Untuk apa kesana aku kesana?"

"Sudahi dulu pertanyaanmu dan pergi kesana, ikuti saja intruksiku."

Meski masih dipenuhi rasa penasaran tapi tetap aku turuti saja dulu perintahnya dan segera melangkah menuju tempat lilin itu.

"Oke, aku sudah tepat dihadapan tempat lilin ini."

"Selanjutnya putar tempat lilin itu hingga 180°"

Putar hingga 180°? Apa memang bisa diputar benda ini? Lebih baik dicoba dulu.

Maka kuraih gagang besi itu yang terasa dingin ditelapak tanganku dan kuputar 180°, ternyata benda ini memang bisa diputar.

Suara deritan kayu terdengar cukup keras dari almari disebelah kananku.

Secara reflek aku menengok sumber suara itu, dan sungguh tak disangka almari itu bergerak turun kedalam lantai.

Sisi belakang Almari ternyata ada jalan masuk menuju lorong kecil berbentuk persegi panjang disana.

Aku terkejut akan kenyataan yang tersembunyi didalam dojo ini tanpa sepengetahuan keluarga.

"Sungguh sialan Kakek ku ini, bisa-bisanya dia menyembunyikan hal seperti ini dari kami. Dia sepertinya tidak hanya belajar kendo ketika di Jepang."

"Jangan kamu kira kakekmu hanya belajar kendo saja di Jepang. Karena sekarang kamu tahu fakta bahwa dia seorang Praktisi Roh dan seorang tetua organisasi Pengawas Roh. Sudah pasti kamu paham ada banyak hal yang Kakekmu lakukan disana terutama dengan organisasi Pengawas Roh Jepang."

"Kupikir aku bisa sedikit menebak, jika ini ruang rahasia milik seorang tetua maka pasti ada banyak koleksi milik Kakek yang sangat berguna untuk kultivasi roh bagi para praktisi. Itu pasti sebabnya guru membawaku kemari."

"Yah itu memang salah satunya tapi sebaiknya kita masuk dulu dengan begitu kamu bisa melihatnya secara langsung."

Dengan penuh rasa penasaran diriku melangkah menuju jalan masuk kecil itu.

Ketika aku mulai memasukinya, banyak kristal berbentuk lingkaran dan berwarna putih yang terpasang berjajar pada sepanjang dinding lorong, lalu jajaran batu-batu kristal itu tiba-tiba saja menyala dan memberi penerangan.

Karena cahaya dari kristal itu pula sehingga bentuk lorong ini bisa terlihat yaitu berupa susunan anak tangga yang langsung menuju kebawah tanah dengan cara spiral.

Decak kagum tak bisa kuhilangkan dari dalam hatiku untuk Kakek yang sanggup membuat tempat seperti ini.

Sewaktu aku mulai menuruni anak tangga ini, perlahan lemari yang sudah masuk kedalam lantai tadi mulai naik kembali menutup jalan masuk kami.

"Guru bagaimana caranya kita keluar nanti?"

"Lihatlah sisi belakang lemari itu, ada tombol merah kecil ditengahnya. Cukup tekan saja maka jalan masuk akan terbuka kembali."

"Ya sudah jika semudah itu untuk keluar. Aku akan lanjut turun lagi."

Aku akhirnya sampai diujung anak tangga ini, sepertinya aku sudah turun kira-kira sedalam 2 atau 3 lantai rumah tingkat.

Dan yang menanti dipenghujung anak tangga ini adalah ruangan dengan luasnya 3 kali lebih besar dari ruangan diatas.

Lantainya yang terbuat dari marmer krem serta dindingnya memiliki cat berwarna putih.

Hebatnya aku bisa merasakan limpahan energi roh yang berkumpul sangat banyak dalam ruangan ini beberapa kali lipat lebih besar daripada diluar ruangan.

Jika diperhatikan isi ruangan ini maka bagian langit-langit terdapat satu kristal besar terpasang disana yang mana bentuknya mirip seperti kristal kecil disepanjang dinding anak tangga tadi, kristal itu mampu menerangi seisi ruangan layaknya cahaya lampu neon.

Isinya sungguh membuatku kagum, mulai dari banyak rak yang berisi buku-buku dan perkamen yang nampak sudah terlihat tua tapi masih terawat cukup baik.

Ada juga rak yang memajang beragam senjata dan perisai eksotik yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Lalu manekin-manekin yang terpasang beragam jubah serta zirah yang tak kalah antiknya.

Dan semua benda tersebut terlihat dalam perlindungan perisai energi roh berwarna biru hampir kasat mata yang menyelimutinya.

Satu hal yang pasti aku bisa merasakan energi roh yang sangat kuat memancar dari benda-benda itu meski semuanya berada dibalik semacam dinding energi yang melindunginya.

Satu hal lagi pada lantai dan langit-langit ruangan, terukir pola lingkaran serta pola oktagram yang mengisi pola lingkaran dengan beberapa tulisan sansekerta kuno di tiap sisinya.

Luas pola itu hampir mencakup seisi ruangan, kurasa pola ini yang bertanggungjawab akan melimpahnya energi roh dalam ruangan ini karena banyak energi roh yang terus mengalir dari sana.

Melihat semua ini aku hanya dapat tersenyum kecut.

"Yah... tak kusangka ada hal segila ini dibawah rumahku."

"Kamu nantinya akan tahu lebih banyak lagi, keluargamu ternyata tidak sederhana bukan?"

"Aku ingin tahu apalagi yang bisa membuatku terkejut nantinya... huft"

"Mari kembali pada topik awal, karena kamu akan bergabung ke akademi pusat milik organisasi Pengawas Roh maka kita percepat kultivasimu yang sekarang berada pada tahap dasar roh tingkat 1 dasar menjadi tahap dasar roh tingkat 1 akhir dalam 3 bulan tepat sebelum pendaftaran akademi dibuka."

"Apa 3 bulan itu termasuk cepat? memang pada umumnya butuh berapa lama?"

"Orang biasa pada umumnya memakan waktu 2 tahun hingga 5 tahun tergantung bakat dan sumberdaya miliknya. Sanggup dalam 1 tahun saja sudah terhitung jenius. Namun dengan sumberdaya ini serta bakatmu maka aku yakin kamu bisa lebih cepat lagi dalam berkultivasi dibandingkan orang lain."

"Sepertinya diriku cukup beruntung bisa bermodalkan sumberdaya seperti ini. Aku jadi merasa sedikit curang."

"Keberuntungan itu juga terhitung bakat..."

Kutarik napas ini dengan dalam kemudian menghembuskannya, setelahnya aku memutar persendian bahu kananku untuk merilekskan badan.

"Sial, aku jadi merasa begitu semangat sekarang. Baik mari kita mulai latihannya Guru."

avataravatar
Next chapter