23 Bab 22 - Dhita dan Gita

Dengan ekspresi yang dingin, diriku terus berjalan menyusuri gang itu meninggalkan ketiga pria tersebut.

Setelah keluar dari gang, akhirnya aku sampai di trotoar yang berdampingan dengan jalan raya.

Cahaya senja terasa menyilaukan mataku setelah keluar dari tempat yang sepenuhnya ditutupi oleh bayangan gedung.

Lalu lintas kendaraan cukup padat seperti hari-hari pada umumnya, sementara trotoar jarang sekali ada orang yang berjalan menyusurinya.

Karena sudah merupakan rahasia umum bahwa mayoritas penduduk negara ini lebih suka memakai kendaraan pribadi daripada berjalan kaki meski ketempat dekat sekali pun.

Beruntungnya karena hal seperti inilah keributan yang tadi aku buat jadi tidak disadari pejalan kaki yang nyaris tidak melintas sama sekali.

Dengan napas lega, aku berjalan menyusuri trotoar ini untuk pulang kerumah setelah melalui semua keributan tadi.

Sebenarnya aku ingin memakai taksi online atau yang semacamnya, namun ketika aku meraih ponselku justru muncul suatu hal dalam pikiranku hingga ku urungkan niatku.

Aku masih ingin merenungi apa yang telah aku lakukan sebelumnya, tapi bukan tentang hal yang telah aku lakukan pada tiga pria itu.

Tapi diriku yang kembali menunjukkan sikap dingin dan kelam itu, bahkan mengeluarkan intensitas membunuh cukup kuat untuk menekan orang lain.

Mungkinkah perlahan diriku mulai tertelan dengan kekuatanku sendiri atau yang terburuk, bahwa itu merupakan sifat ku yang sebenarnya dan tertanam jauh didalam lubuk hatiku yang perlahan mulai muncul ke permukaan.

Yang manapun itu, aku harus berusaha mengontrol diriku lagi agar aku tidak melakukan hal yang membuat diriku menyesal nantinya.

Namun ini cukup sulit karena tidak seperti aku hilang kendali karena emosi yang meluap-luap.

Justru saat itu pikiranku terasa jauh lebih tenang dari biasanya, namun semua emosi seperti nyaris menghilang.

Yang tersisa hanya keinginan untuk menyingkirkan semua yang mengganggu jalanku nyaris tanpa rasa simpati sekalipun.

Antara hatiku yang telah terpengaruh kekuatan besar atau karena kekuatan besar yang memancing hatiku yang sebenarnya.

Hufft... Hanya memikirkan ini terus tidak ada gunanya, aku butuh orang lain untuk bisa memberi saran padaku tapi untuk saat ini belum ada orang disekitar ku yang terpikirkan sama sekali.

Mungkin sebaiknya aku bertanya pada Guru nanti sewaktu aku mulai berlatih sepulang dari kantor sesuai dengan janjiku dengan dirinya kemarin.

Aku akhirnya bangun dari lamunanku dan tersadar bahwa langit telah mulai gelap ketika aku melihat sekitar.

Kurasa ini saat yang tepat untuk mempercepat langkahku agar segera sampai di rumah.

Lagipula tidak ada orang disekitar, ini kesempatanku untuk melesat melewati atap bangunan dengan cepat.

Ku tengok lingkungan sekitar untuk memastikan situasi kembali, setelah yakin sudah aman aku melompat pada atap bangunan terdekat dan melompati atap bangunan selanjutnya.

Ini sungguh luar biasa, angin kencang yang menerpa tubuhku dan pemandangan hiruk pikuk yang biasa aku lalui justru sekarang tepat berada dibawah kedua kakiku.

Sesuatu hal yang hanya mungkin terjadi dalam karangan cerita fiksi, justru dapat aku lakukan dengan begitu mudahnya sekarang.

Rasa luar biasa ini telah mengurangi semua rasa gundah ku sebelumnya.

Tanpa sadar diriku tersenyam-senyum sendiri, mungkin jika saat ini ada orang yang melihat tingkahku sekarang bisa mebuatku merasa sangat malu.

***

Beberapa menit kemudian aku sampai di atap rumahku, lalu aku turun menuju depan pintu masuk rumah dengan tenang agar tak disadari orang-orang disekitar.

Perlahan kubuka pintu sembari mengucap kalimat sapaan pada orang didalam rumah.

"Aku pulang."

DRAP DRAP DRAP... Suara hentakan karena suara larian kecil dari seseorang mulai terdengar dan semakin lama semakin keras.

Akhirnya dari tangga yang terhubung dengan lantai dua muncul adikku Dhita yang berlari kecil dengan senyum cerianya.

Dhita berlari makin dekat kearahku dan kemudian dia lompat melemparkan tubuhnya padaku dan kutangkap dirinya kedalam pelukanku.

Wajahnya pun dia usap-usapkan pada dadaku, sungguh masih manja sekali adikku ini.

"Kakak... selamat datang."

"Duh... kamu ini sudah SMP dan tinggal 2 bulan lagi sudah masuk SMA lho Dhita, masih saja bersikap manja kekanak-kanakan begini. Nanti kalau temanmu tahu apa tidak membuatmu merasa sangat malu saat bertemu mereka?"

"Uhm... Aku tidak begitu peduli soal hal itu."

"Dasar kamu ini... ha ha ha."

Setelah beberapa saat Dhita melepaskan pelukannya, lalu kami berjalan menuju ruang keluarga bersama-sama.

Sesampainya disana aku merebahkan tubuhku di atas sofa abu-abu yang saling berhadapan dengan TV LCD dalam kondisi tidak menyala.

Aku melepaskan rasa lelah ku sejenak dengan berbaring diatasnya.

BRUGH... Tiba-tiba saja Dhita menjatuhkan tubuhnya keatas ku yang masih terbaring lelah ini.

Dia menyandarkan wajahnya pada dadaku sementara tangannya menggenggam erat kain kemejaku.

"Uh... Dhita Kakak masih lelah sekarang, kalau kamu mau main sama Kakak maka besok saja ya."

"Nggak, aku cuma kangen karena sudah lama tidak tidur bersama dengam Kakak. Jadi biarkan begini sebentar saja ya kak."

Ugh, apa dia tidak peduli dengan situasi seperti ini?

Aku tahu kami memang saudara, tapi kita hanyalah sebatas saudara tiri saja.

Apalagi diusia yang sekarang dimana Dhita sudah memasuki masa remaja, jelas hal ini cukup membuatku risau.

Wajahku jadi berubah agak merah malu karena itu pula, disaat menghadapi tingkahnya ini.

"K-kamu ini sudah besar sekarang, jadi hal ini sedikit mengganggu Kakak."

Namun Dhita justru melemparkan senyuman sindiran padaku.

"Hee... Apa Kakak jadi terangsang karena Adik sendiri? Kakak ini ternyata mesum."

Mendengar ocehannya membuat aku mengerutkan dahi karena kesal.

Kemudian dengan tangan kananku, aku mencubit pipinya supaya dia jera karena sudah mempermainkan Kakaknya seperti ini.

"Dasar bocah nakal, mau pantatmu kupukul lagi seperti dulu?"

"aduh... duh... Maafkan aku kak, aku hanya bercanda. Jadi berhentilah mencubit pipiku."

Karena rengekannya akhirnya aku melepaskan cubitanku dari pipinya.

Bekas warna merah jadi terlihat dipipinya setelah kulepaskan cubitan itu.

"Jadi cepatlah turun, Kakak sangat lelah sekarang."

"Uh... Kakak nggak asyik."

Dhita menggembungkan pipinya untuk menunjukkan rasa kecewanya padaku, tapi tetap saja aku tidak bisa terus memenuhi keinginan manjanya.

Aku kemudian mengambil posisi duduk, namun Dhita masih saja bersandar tubuhku.

"Ayolah Dhita, cepat tu-... turun."

Saat itu juga aku melihat Gita sudah berdiri dengan wajah terlihat kesal didepan pintu ruangan ini yang mana sudah terbuka, ekspresinya membuatku cukup terkejut.

"Ah... G-Gita, aku baru saja pulang dan mau mandi setelah istirahat. Bagaimana denganmu? apa kamu mau memakai kamar mandinya dulu? eh he he he."

Aku melemparkan basa-basi untuk mengulur waktu bagiku agar dapat mencari tahu kenapa ia terlihat begitu kesal.

"Oh jangan khawatir, aku baru saja selesai mandi ketika mendengarmu pulang dan mau menyiapkan kamar mandi untukmu."

Setelah menjawabku Gita mengakhiri dengan senyuman, namun wajah menahan rasa kesalnya jelas begitu terlihat.

Sepertinya aku sudah melakukan kesalahan, sialnya aku masih tidak tahu kenapa.

"T-terimakasih Gita, kamu mau melakukannya untukku."

Ditengah percakapan kami, Dhita malah memelukku dengan sangat erat.

"Uh... Huh? Kamu sedang apa Dhita?"

Kemudian Dhita menoleh pada Gita, adikku menunjukkan senyumannya pada Gita tapi senyuman adikku itu jelas terlihat seperti senyuman tantangan untuk Gita.

Gita semakin terlihat kesal, urat pembuluh darahnya jadi terlihat disekitar keningnya.

"Tapi nampaknya kamu bisa meminta tolong pada adikkmu untuk menyiapkannya. Jadi aku mau langsung kekamar saja."

Dia langsung berbalik pergi meninggalkan kami dengan begitu saja.

"T-tunggu dulu Gita."

Aku mengatakan itu dengan tangan kanan menjulur kedepan seolah ingin meraihnya namun tidak digubris sama sekali olehnya.

Kepalaku langsung tertunduk lesu karena kekasihku sudah begitu kesal padaku setelah beberapa jam kita jadian.

"Kakak kenapa terlihat lesu begitu? Kalau butuh sesuatu bilang saja padaku."

Aku kerutkan dahiku kembali setelah adikku mengucapkan itu tanpa terbebani rasa bersalah.

Kedua pipi Dhita langsung kutekan cukup keras dengan kedua tanganku.

"Ini salah siapa coba? Dasar bocah nakal, kalau sedang ada masalah dengan kak Gita maka jangan coba seret Kakakmu dengan cara begini."

"Hwaa... Mwaafkwan akwu Kwak."

Tapi aku masih cukup kesal jadi aku tetap teruskan untuk memberikannya pelajaran.

***

Selang beberapa saat aku pergi menuju kamar Gita, namun dia sudah mengunci pintu kamarnya.

Aku ketuk pintu kamarnya beberapa kali namun tidak ada jawaban.

Gita jelas masih bangun karena aku mendengar musik yang ia putar dari speaker ponsel miliknya.

Tapi entah kenapa mendengar playlist musik yang ia putar membuat aku merasa semakin bersalah.

Ditambah dia memakai speaker dan tidak menggunakan headset, seolah dia ingin aku ikut mendengarkan lagu itu.

"Gita, kumohon keluarlah ada yang ingin aku bicarakan."

Jawaban Gita masih tidak terdengar sama sekali, jadi aku ketuk lagi pintu kamarnya.

"Gita, aku menyesal sudah membuatmu marah jadi kumohon biarkan aku memperbaikinya... Aku mohon..."

Akhirnya langkah kaki pelan terdengar, perlahan suara itu makin mendekat pada pintu.

Suara kunci pintu yang akhirnya diputar membuatku merasa sangat lega.

Pintu itu terbuka sedikit, namun aku masih bisa melihat wajah Gita dari situ.

"Jadi kamu mau apa?"

Gita nampak begitu ngambek sekali menemani pertanyaan dirinya padaku, jadi aku harus menanganinya dengan benar.

Aku segera mengarahkan jari telunjuk tangan kananku kearah diriku sendiri.

Dengan wajah sangat penasaran aku coba utarakan hal yang mengganjal dalam benakku.

"Jadi Gita, sebenarnya apa yang sudah aku lakukan hingga kamu begitu marah?"

BRAAAKKK!!!... Suara pintu yang ia banting terdengar dengan keras.

Aku yang jadi gelagapan karena pintu itu ditutup dengan keras tepat didepan wajahku, mencoba mengetuk pintunya lagi.

"Gita uh... Gitaaa... Tunggu dulu, kenapa kamu menutup pintunya lagi?"

Namun suara kunci pintu yang berputarlah yang terdengar.

Kali ini dia benar-benar marah padaku, aku tidak tahu harus bagaimana lagi sekarang.

Aku sandarkan kepalaku didepan pintunya karena rasa kecewa pada diriku yang gagal mengani permasalahan ini dengan benar, lalu aku bergumam pada diri sendiri.

"Ah... Aku harus bagaimana lagi? Pikiran wanita itu sungguh sulit ditebak. Huft..."

"Kamu ini memang bodoh ya soal hal begini."

Mendengar ada suara tuan Hara yang menjawabku telah membuatku sedikit tersentak.

"G-Guru? bagaimana kamu bisa berbicara padaku???"

Aku sungguh keheranan kenapa dia bisa berbicara padaku disaat aku tidak ada dalam alam bawah sadarku.

"Jangan heran begitu, karena satu segel dalam dirimu sudah terlepas. Jadi kekuatan energi roh yang kupakai untuk menjaga segelmu bisa aku kurangi. Sekarang aku bisa berbincang dengan dirimu melalui telepati."

"Tunggu dulu, melihat Guru bisa menjawab gumaman diriku barusan. Apa Guru bisa melihat semua yang aku lakukan?"

"Ya begitulah, seharusnya kamu sadar dari dulu. Padahal tiap kali aku bicara padamu aku seperti tahu dengan yang terjadi pada dirimu bukan?"

Tangan dan bibir jadi sedikit gemetar ketika ingin memastikan satu hal.

"Jangan bilang bahkan ketika aku diatas kantor tadi berdua dengan Gita, bahkan Guru ikut melihatnya?"

"Bingo seperti itulah."

BRUGH... Aku menjatuhkan kedua lututku ke lantai dengan kepala tertunduk setelah mengetahui kebenaran ini.

Lalu aku dongakan kepala kearah langit-langit rumah sembari kedua tanganku mengepal.

"SIIIAAAAAAAAAAAALLLLLLL!!!!!!!!!!!"

avataravatar
Next chapter