19 Bab 18 - Awal Kehidupan Baru

Aku tengah terduduk dengan lesu dalam mobil, pada jok penumpang bagian belakang.

Aku menaruh pipiku pada kepalan tangan kiri  yang tengah bersandar pada tepian kaca mobil.

Dari balik kaca, aku memandangi bangunan dan orang-orang yang dilalui oleh mobil ini.

Dalam lamunan ku saat mengamati hiruk pikuk yang berada diluar mobil ini, aku tengah memikirkan sesuatu.

Seolah aku menatap keluar untuk mengalihkan diriku dari hal lain agar punya waktu lebih banyak untuk berpikir.

Disisi lain Gita yang juga duduk disampingku, mulai memperhatikan diriku serta tingkah laku ku.

Itu pasti karena wajah lesu dan lelah yang aku tampilkan saat ini.

Tapi mau bagaimana mana lagi, setelah semua hal yang terjadi semalam dan juga pagi ini.

Benar-benar membuatku merasa sangat lelah, terutama kejadian pagi ini.

Seolah energi yang kudapat setelah tidur langsung habis begitu saja.

Yah itu karena hal yang terjadi tepat setelah aku bangun.

Mari kembali pada saat Adikku mempergoki Aku dan Gita yang entah kenapa bisa tidur diatas satu ranjang yang sama.

Setelah Adikku dengan keras memanggil kakek, aku segera mengambil posisi duduk di kasur dan memberikan isyarat untuk Adikku agar tenang menggunakan kedua tanganku.

"T-tunggu Dhita tenanglah, ini tidak seperti yang terlihat. Ada alasan tepat untuk hal ini... M-mungkin..."

Yah, aku sendiri juga tidak punya petunjuk mengapa Gita bisa tidur disamping ku.

Aku jadi semakin ragu-ragu juga untuk mencari alasan.

Disisi lain Dhita justru nampak semakin kesal, karena terlihat dia justru mengerutkan dahinya ditemani dengan tatapan mata yang menusuk setelah mendengar alasan ku.

"Mungkin?... Mungkin? Jadi mungkin ada alasan yang bagus untuk seorang pria dan wanita yang belum menikah untuk tidur dikasur yang sama?"

Dia pun mengacungkan kepalan tangannya yang dia tujukan padaku.

"Memang Kakakku yang tercinta ini sungguh hebat dalam membuat alasan."

Perlahan Dhita melangkah dengan kesal padaku, aku hanya bisa terdiam dengan senyum kecutku karena tak bisa menyanggah lagi.

Dia naik keatas kasur dan duduk diatas kedua kakiku.

Dilanjutkan dengan menjewer kedua pipiku cukup keras memakai kedua tangannya.

"DASAR KAKAK BODOH !... BEGO !... MESUM !... BRENGSEK !... HWAAAA..."

Bersamaan omelan kerasnya padaku ia terus saja menjewer pipiku sekuat-kuatnya, aku hanya bisa pasrah menerima semua rasa kekesalannya.

Gita juga hanya bisa terdiam melihat Dhita yang mengomel padaku, karena dia masih berusaha menutupi wajah penuh rasa malunya menggunakan kedua tangan miliknya.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki datang dari arah luar kamar ku.

Kemudian dari balik pintu terlihat Kakek yang akhirnya muncul juga ditengah keributan ini.

Dia berdiri dan terdiam sejenak ketika melihat kami bertiga, dia hanya menunjukkan wajah poker face.

Kami semua yang berada dalam kamar jadi terhenti sejenak karena kedatangan Kakek.

"Ah... Uhm... Tunggu sebentar, aku akan segera kembali."

Setelah mengucapkan itu kemudian Kakek berbalik, dan berjalan pergi meninggalkan kami bertiga dengan begitu santainya.

Entah kenapa kami justru terdiam menatap kearah pintu kamar dimana Kakek baru saja pergi dan menunggu Kakek kembali tanpa sadar.

Tak lama kemudian Kakek sudah kembali namun sambil membawa pedang kayu yang biasa untuk latihan dirinya, benda itu ia sandarkan pada bahunya.

Ia tersenyum padaku, tapi entah kenapa aku malah jadi merinding karena senyumannya yang punya maksud lain itu.

"Jadi Cucuku ini masih punya banyak energi tersisa ya tadi malam. Jadi kamu memaksa Tamu kita untuk membantumu sedikit berolahraga. Baiklah biar Kakek ikut membantumu menghabiskan energi saat ini juga."

"Ah... ha ha ha ha..."

Aku hanya tertawa dibuat-buat sambil menggaruk belakang kepalaku karena sadar tak ada waktu beralasan dan tak mungkin semua alasanku bakal diterima.

Harapanku satu-satunya hanyalah Gita untuk menjelaskan situasi.

"G-Gita... Tolong bantu aku menjelaskan."

Tapi aku tak mendengar jawaban apapun darinya.

Kutengok dirinya dan ternyata dia masih saja tertunduk malu dengan wajah merah padamnya yang ia tutupi dengan kedua telapak tangannya.

Oi... Aku paham jika dia pasti sangat malu, tapi reaksinya malah membuat  keadaan makin runyam.

Bahkan Adikku yang melihat itu, segera menatapku dengan sinis.

Huftt... Aku menghela napas setelah menimbang situasi saat ini.

Ku geser tubuh adikku lalu berdiri dari kasur.

Kemudian kubuka jendela yang terkunci.

Kakek dan Adikku masih memandangiku, sembari menunggu apa yang akan kulakukan selanjutnya.

"Kurasa semua alasan ku tidak akan berguna kali ini ...  A ha ha ha."

Aku mengatakan itu berlanjut dengan tawa dan ekspresi tak berdosa.

Aku langsung melompat keluar jendela dan lari secepat mungkin atau Kakek akan menghabisiku.

Kakek langsung tersadar dan segera mengejarku melewati jendela, ia lari mengejar sambil mengacungkan pedang kayunya.

"Dasar Cucu brengsek, mau kabur begitu saja... KEMARI !!!"

Dan itulah awalan pagi baruku yang ditemani hal-hal gaduh nan melelahkan.

Dan selang beberapa waktu kami melakukan sarapan dengan nuansa suasana yang canggung.

Dan khusus dirikku ditemani nyeri dari pukulan Kakek tadi.

Sementara Gita makan dengan tertunduk malu, Dhita makan dengan wajah kesalnya dan Kakek makan dengan wajah menahan tawannya karena akhirnya Gita memberi alasan tapi diriku terlanjur sudah disikat Kakek duluan.

Tiap kali Kakek melirikku yang makan sambil menahan nyeri ini justru terlihat ingin tertawa tapi dia menahannya.

Melihat ekspresi Kakek yang seperti itu membuatku mengerutkan dahi saking kesalnya.

Aku lanjut memakan sarapanku dengan perasaan dongkol sementara Kakek nampak terhibur melihatku begini.

Ya ampun, banyak hal yang terjadi hanya dalam satu malam.

Inilah yang telah membuat aku begitu lelah pagi ini.

Seusai sarapan, aku dan Gita berangkat bekerja.

Ketika kami berada didepan pintu rumah, Gita memegang bahuku dengan tangan kanannya.

"Arya, tunggu sebentar."

Aku sedikit terkejut, tapi dengan santai aku menanggapinya.

"Ada apa Gita ?"

"Kita tunggu jemputan, walaupun tinggal di rumah mbah Eka adalah keputusanku dan direkomendasikan Kakakku. Tapi Ayahku masih sedikit khawatir. Jadi dia mengutus supir untuk mengantarku pulang pergi mulai hari ini, jadi kamu juga bisa ikut bersamaku."

"Uh... Tak usah, aku tidak ingin merepotkanmu lebih jauh lagi."

"Tidak merepotkan sama sekali, lagi pula Ayahku juga tidak mempermasalahkan hal ini. Dan anggap saja ungkapan terimakasih dariku sudah diizinkan tinggal. Aku mohon ikutlah sekalian."

"Uhm... Baiklah jika kamu memaksa, terimakasih Gita."

"Ummm..."

Entah kenapa hal ini cukup membuatnya senang, setidaknya melihat senyumnya telah meringankan pagiku ini.

Dan begitulah kenapa aku bisa berada di jok penumpang dalam mobil ini.

Ketika aku masih melamun menatap keluar  jendela dengan wajah lesu.

Gita yang tengah mengamatiku dengan seksama dari beberapa saat lalu.

Akhirnya ia tergerak untuk bertanya padaku.

"Arya, Kenapa kamu nampak begitu lesu hari ini. Apa mungkin kamu masih marah padaku karena kejadian pagi ini?"

Aku sedikit tersentak mendengar pertanyaannya yang mendadak membuyarkan lamunanku.

"Ah... Tidak Gita, aku sama sekali tidak marah. Aku hanya terpikirkan hal-hal yang telah kulalui sejak kejadian kemarin malam dengan orang-orang berjubah hitam itu."

Meski ini alasan yang aku buat-buat tapi setidaknya tidak akan membebani pikiran Gita.

Gita menghela napasnya, seperti ia lega karena ternyata aku tidaklah marah padanya.

Aku sedikit senang karena Gita sampai memikirkan diriku sebanyak ini.

Pipiku jadi sedikit merah padam karena malu, namun aku tutupi dengan menatap jendela.

Gitapun menyambung ucapannya kembali.

"Tak perlu khawatir, Organisasi Pengawas Roh yang akan menangani mereka. Jadi kamu tak perlu memikirkan mereka lagi. Sebaiknya kamu fokus mengenai kita yang akan bergabung dalam akademi nantinya."

"Kamu benar... Ah aku ingat. Tolong lanjutkan penjelasanmu mengenai tingkatan Praktisi Roh ketika istirahat nanti. Seperti janjimu ketika perjalanan pulang semalam."

"Jangan khawatir, aku tidak lupa mengenai hal itu. Lagipula kamu perlu paham hal dasar itu jika kamu ingin menjadi seorang Praktisi Roh."

Aku menangapi balasannya dengan senyum, dia juga tersenyum kembali kepadaku.

Tak lama mobil kami sampai didepan kantor kami.

Kami keluar dari mobil bersama-sama, akan tetapi hal tak terduga justru terjadi.

Semua pegawai yang ada didepan pintu kantor serta pegawai didalam kantor yang melihat keluar jendela, mereka mendadak terdiam menghentikan aktivitasnya dan pandangan mereka terfokus kepada aku dan Gita yang keluar dari dalam mobil bersama-sama.

Bahkan ada yang sedang memainkan HP namun malah menjatuhkannya karena perhatiannya tiba-tiba teralih pada kami berdua.

Ugh... Sial seharusnya sedari awal aku sadar akan yang terjadi.

Aku sebagai karyawan biasa disini sedang berangkat bersama dengan putri  Presiden perusahaan yang sekaligus gadis yang dianggap ratu bagi para pria dikantor ini.

Ya ampun kehidupanku di kantor bakal tidak bisa tenang, sial... Seharusnya aku menolak saja ajakannya sebelumnya jika tahu akan begini.

Huh...Selamat tinggal kehidupan damaiku...

avataravatar
Next chapter