15 Bab 14 - Pilihan Yang Benar

Kami berdua menceritakan semua hal yang menimpa kami, dari bagaimana aku secara tak sengaja bertemu dengan seorang anggota organisasi Pengawas Roh yang terluka hingga ketika kami berpisah dari para anggota squad organisasi Pengawas Roh.

Kakek menyimak cerita itu dengan seksama dan terkadang ia sedikit mengangukkan kepala disepanjang cerita kami.

Ketika aku memberitahukan caraku mengalahkan Druid sebelumnya, dia terkejut bersamaan dengan tatapan matanya yang terbuka lebar.

Namun sepertinya Kakek sudah memiliki petunjuk tersendiri akan penyebab bangkitnya kekuatan roh ku jauh sebelum diriku sadar dan tahu akan sesuatu dalam diriku.

Jika dilihat dari Kakek pada saat itu hanya bereaksi ketika mendengar jurus pengendalian Energi Roh yang sanggup aku kuasai dengan cepat, namun tidak heran dan menanyakan bagaimana aku bisa membangkitkan kekuatanku.

Meski aku tak memberi tahu apapun tentang pengalamanku dalam alam bawah sadar yang mana telah membuatku dapat memasuki Tahapan Roh.

Seharusnya timbul paling tidak sedikit pertanyaan dalam benaknya.

Padahal bagi orang-orang yang sebelumnya melihat dan mengetahui kebangkitan roh ku yang begitu tiba-tiba, hal itu adalah yang paling mengejutkan bagi mereka.

Sekarang aku jadi bisa memahami tentang Kakek lebih jauh lagi, yaitu aku semakin yakin jika dia memang mengetahui sesuatu tentang diriku.

Lagipula dengan begini kurasa justru jadi lebih baik, aku jadi tidak perlu bercerita tentang rahasia dalam diriku karena masih ada Gita disini.

Bukannya aku tidak percaya pada Gita, namun hal sepenting ini tidak mungkin aku beritahukan terhadap sembarang orang.

Setelah menghabiskan beberapa waktu, akhirnya kami selesai menceritakan kejadian itu pada Kakek.

Kakek sedikit menghela napas dengan kelegaan, namun ekspresi wajahnya masih terlihat sedikit serius.

Kakek mulai berdiri dan berjalan perlahan menuju arah pintu keluar ruang makan ini.

Ketika telah sampai didepan pintu tersebut dan membukanya secara perlahan, dia berhenti sejenak dalam posisi memunggungi aku dan Gita yang saat ini tengah menatapnya.

"Arya ikut aku ke teras halaman belakang, ada yang masih perlu aku bahas denganmu."

"Uhm... Aku mengerti Kakek."

"Dan Gita, kamu pasti cukup lelah setelah semua kejadian hari ini. Kamu bisa mandi dan istirahat dulu di kamarmu, tak perlu khawatirkan kami."

"Baik Mbah Eka, Saya akan bereskan meja makan ini dulu. Silahkan lakukan hal yang terpenting bagi kalian saat ini."

"Ah... Terimakasih."

Kakek pun keluar dari ruangan itu dan diikuti diriku dibelakangnya.

Tak lama pintu teras belakang terbuka, kakek keluar dari balik pintu itu dan langsung duduk ditepian teras sambil memandangi taman kecil pada halaman belakang.

Disusul diriku yang baru sampai, lalu ikut duduk disampingnya.

Kami terdiam sejenak sambil memandangi taman kecil yang membuat diriku sedikit terbesit akan kenangan kami dengan taman kecil milik keluargaku itu.

Terdengar suara jangkrik yang seperti tengah bersenandung untuk mengiringi heningnya malam ini.

Langit juga cukup cerah sehingga aku bisa melihat bulan yang hampir bulat penuh itu dengan cukup jelas.

Ditengah lamunanku yang tengah memandangi bulan, Kakek mulai mengucapkan beberapa patah kata.

"Jadi teringat masa kecilmu dulu, disinilah tempat aku mulai melatihmu beladiri."

Mendengar ucapannya justru aku malah memasang wajah masam, karena jadi teringat hal yang menjengkelkan.

"Huh... Latihan? Yang kuingat cuma penyiksaan tiap hari dan dimanfaatkan untuk membersihkan serta menata taman kecil ini sendirian dengan dalih latihan."

Kakek akhirnya bisa menunjukkan senyum piciknya lagi, nampaknya moodnya sudah kembali seperti biasa.

Akan tetapi itu juga membuatku agak kesal, karena sudah pasti terkaanku benar jika dia sudah menunjukkan wajah seperti itu.

"Apa maksudmu? Lihatlah dirimu, bukankah kamu jadi hebat karenaku. Kamu bahkan bisa menghajar belasan anak geng sekolah seorang diri ketika SMP. Sudah pasti kamu jadi idola banyak siswi perempuanmu disekolah."

Kukerutkan dahiku disebabkan saking kesalnya diriku ketika mendengar dalihnya.

"Idola? Bahkan aku jadi tidak punya teman saat SMP kecuali yang sudah mengenalku sejak SD. Setiap kali aku lewat semuanya hanya meringkuk dan mengalihkan pandangan dariku karena takut. Bagaimana aku bisa jadi idola? Banyak yang mengecapku sebagai siswa berandalan."

"Hooo... Tapi itu ulahmu sendirikan, jangan lemparkan kekesalanmu padaku. Bersikaplah lebih dewasa... ckckck."

Aku menengok kakek dengan ekspresi kesal sambil menunjuk dirinya menggunakan jari telunjuk tangan kananku.

"Aku minta saran padamu ketika punya masalah dengan geng sekolah itu dan kamu bilang dengan cueknya, "hajar saja semuanya, sia-sia aku melatihmu jika kalah dengan bocah-bocah ingusan itu."."

Kakek yang mendengar itu akhirnya mengalihkan pandangan kearah lain dengan berlagak bodoh sembari menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.

"Ah... Apa aku pernah bilang begitu? Uh... Aku tak ingat, mungkin kamu salah dalam mendengar dan menangkap ucapanku."

Haaahhhh... aku menghela napas untuk mengontrol emosiku.

"Terserah apa mau Kakek, aku akan kembali ke pembahasan utama kita."

Wajah kakek yang santai mulai terlihat serius kembali, kemudian kuceritakan semua hal yang aku alami sebenarnya dalam alam bawah sadarku.

Kakek melipat tangannya di dada sambil memejamkan mata saat mendengarkan semua penjelasanku.

"Jadi seperti itulah semua yang terjadi, Kakek. bagaimana menurutmu? Ada pendapat yang ingin Kakek sampaikan?"

Kakek membuka matanya lagi, tapi dia terdiam sejenak.

Setelahnya ia melepaskan lipatan tangannya, dan berganti dengan posisi lebih santai.

"Jadi akhirnya dia memang memutuskan untuk melepaskan segel lapisan pertamamu."

Aku melebarkan tatapan mataku ketika mendengar hal ini.

"Segel lapisan pertama? Apakah masih ada segel lain?"

"Ya, seharusnya kamu sadar sedari awal. Bukankah kamu yang menjelaskan padaku bahwa dia akan melepaskan kekuatanmu setahap demi setahap. Mungkin itu hal yang terbaik karena setidaknya kamu jadi masih hidup hingga saat ini. Tapi kamu sudah pasti harus menanggung beban yang begitu besar ketika memutuskan menerima kekuatan itu."

"Aku sudah memahami itu, maka dari itu aku bersedia menerima kekuatan ini beserta tanggungjawabnya."

"Tidak, kamu belum memahaminya sama sekali. Kamu pasti pernah dengar kalimat... "kekuatan yang besar membutuhkan tanggungjawab yang besar" dari film yang dulu pernah kita tonton. Ucapan itu memang benar, tapi tidak hanya itu saja. Dalam satu kata "tanggungjawab" itu sendiri memiliki banyak hal yang harus dipertimbangkan. Yaitu kamu perlu kebijaksanaan dalam mempertimbangkan pilihanmu. Keberanian untuk memutuskan pilihan dalam mengarahkan kekuatanmu. Serta siap menerima karma baik maupun buruk karena pilihanmu."

"Aku akan mencoba sebijaksana mungkin dalam memakainya, Kakek."

"Huh...? Sebijaksana mungkin? Baiklah, misal jika kedepannya kamu harus bertarung lagi dengan seseorang. Maka apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan membunuh lawanmu atau tidak?"

Uh... itu pertanyaan yang sulit, sekarang aku tersadar akan sulitnya menentukan pilihan seperti ini.

"Apa? kenapa kamu lama dalam menentukannya? Lawanmu tak akan menunggumu."

"Ugh... Kurasa melukainya saja hingga menyerah sudah cukup. Tak perlu membunuh orang lain, akan kubuat dia menyadari kesalahannya."

"Huh... naif sekali... Kita tidak tahu isi hati setiap orang. Mungkin saja ia menyimpan dendam dan mempersiapkan cara lain untuk membalasmu, bahkan mungkin akan melibatkan orang yang berharga bagimu."

"Lalu bagaimana? Haruskah aku membunuh lawanku adalah pilihan yang tepat?"

"Apa kamu cukup tegar untuk melumuri tanganmu dengan darah? Wajah orang-orang yang kau bunuh mungkin akan terus menghantui dirimu seumur hidup. Dan mungkin akan ada orang lain lagi yang akan membalaskan dendam untuk orang yang kau bunuh dan rantai itu mungkin akan terus berlanjut seperti itu sampai kau tidak tahu berapa banyak jiwa yang sudah kamu renggut."

Aku sedikit tersentak setelah mendengarnya, kuremas kain celana di paha kananku karena aku kesulitan dalam menentukan pilihan dan terbentur dengan kebuntuan.

"Lalu apa jawaban yang benar? Ataukah mungkin ada alternatif lain yang kakek ketahui?"

"Jawabannya tidak ada."

"Hah?"

Kutundukkan kepalaku sekilas setelah mendengarnya, kupikir Kakek akan memberikan jawaban yang mengesankan.

Haaah... Aku hanya bisa menghela napas.

"Huh... Kupikir Kakek memiliki jawaban yang tepat. Lalu untuk apa semua ceramah Kakek tadi?"

"Karena tidak ada pilihan yang sepenuhnya benar dan sepenuhnya salah. Setiap keputusan punya sebab akibatnya sendiri. Karena itu sebijaksana mungkin untuk menghindari dampak yang terburuk. Seberani mungkin menentukan keputusan agar tak kehilangan kesempatan dalam memilih. Serta kesiapan menerima dan mengatasi karma baik dan buruk yang akan kamu hadapi nanti karena pilihan yang telah kamu ambil."

"Ah... Itu... Kurasa ucapan Kakek memang ada benarnya."

Lalu Kakek mengarahkan jari telunjuknya ke dahiku.

"Gunakan pikiranmu sebaik mungkin untuk menimbang pilihan yang tepat secepat mungkin."

Selanjutnya Kakek mengarahkan telunjuknya ke dadaku.

"Lalu jangan melupakan hati dan nuranimu untuk menilai akan baik dan buruknya atau tepat dan tidaknya pilihanmu."

Aku hanya terdiam serta tertegun ketika mendengar semua itu dan memandangi Kakek yang ternyata dapat mengeluarkan kata-kata seperti itu.

Kakek pun segera berdiri kemudian, lalu dia berjalan meninggalkanku yang masih terduduk dan terpaku dengan semua ucapannya.

Sebelum kakek masuk kedalam dia menengok kepadaku.

"Saat ini hanya itu yang bisa aku sampaikan padamu, selebihnya aku akan lihat perkembanganmu dulu. Tidur dan istirahatlah lalu pikirkan baik-baik. Mengenai hal-hal terkait dunia Praktisi Roh, kamu bisa mencoba bertanya pada suara itu. Dia dulu juga Guru ku yang aku hormati. Dia pasti bisa menjelaskan lebih baik dari diriku, jadi selamat malam."

Lalu dia lanjut masuk kedalam rumah dan meninggalkanku sendiri diluar.

"Dasar kakek ini, berapa banyak rahasia yang dia sembunyikan dariku. Dan lagi ternyata Kakek yang sering bersikap menyebalkan, bisa mengucapkan semua nasihat seperti itu. Haa... aahhh... Aku benar-benar kalah telak olehnya."

Tapi sekarang mataku terbuka lebar, sulit untuk menentukan sesuatu terutama terkait nyawa seseorang meski itu musuh sekalipun.

Banyak yang harus aku pelajari juga mengenai kemampuan Praktisi Roh.

Lalu juga bagaimana aku bisa menghubungi suara itu lagi?

Aaah... Pikirkan besok saja, lebih baik istirahat dulu.

Kemudian aku beranjak dari duduk dan berjalan kedalam rumah.

Aku pun mandi setelah kamar mandi kosong, disana aku masih merenungi semua hal yang terjadi hari ini.

Seusai mandi aku langsung masuk ke kamarku dan menjatuhkan diri ke kasur dilanjut bergumam pada diri sendiri.

"Lelahnya, sayang besok bukan hari libur. Aaah... Aku sungguh ingin istirahat tapi tetap harus berangkat kerja."

Aku memeluk guling disampingku dengan cukup erat.

Aku mulai memejamkan mata bersamaan rasa lelah yang makin kuat ini.

Tok tok tok... Tak disangka tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, aku membuka mataku kembali.

"Permisi Arya, apa kamu masih terbangun?"

Itu suara Gita yang terdengar dari balik pintu kamarku, aku bergegas bangun dari tidur lalu membuka pintu kamarku secepat mungkin.

Dari balik pintu betapa kagetnya aku ketika melihat penampilannya.

Dia mengenakan kaos tipis serta celana yang cukup pendek dan hanya menutupi setengah paha.

Rambutnya masih agak lembab karena dia sehabis mandi, aku masih bisa mencium bau wangi dari badannya.

Wajahnya sedikit merah merona ketika menatapku.

Aku jadi sedikit gemetar karena hasrat yang menggebu ketika melihat pemandangan ini, aku sebisa mungkin mengontrol diriku.

"J-jadi ada apa Gita? Ada sesuatu?"

Aku bertanya padanya sambil melirik kearah lain.

Karena saat ini aku tengah melawan dorongan untuk mendekapnya dan membawanya masuk kedalam.

Bagaimanapun ini hal yang sulit bagi seorang pria jika dalam kondisi seperti ini.

Gitapun berusaha mengucapkan sesuatu ditemani penuh perasaan sungkan.

"A-anu... Bolehkah aku masuk kedalam?"

Dia mengatakannya dengan tersipu-sipu malu.

Whuuus... Aku tiba-tiba mematung sejenak setelah mendengar ucapannya barusan.

Bibirku mulai bergetar karena kesulitan mengungkapkan kata-kata.

"H...HH...HEEEEEEEHHH ????!!!"

avataravatar
Next chapter