7 Chapter 6

Dug! Dug!

Valin membuka matanya dengan perlahan, melihat kejendela sudah terlihat sorot cahaya matari masuk ke dalam kamarnya.

Valin baru menyadarkan diri, kalau dirinya ketiduran tadi malam.

Dug! Dug!

Valin mulai menyadari ayahnya mengetuk pintu.

"Iya, aku bangun" teriak valin.

Valin duduk, menggelengkan kepalanya, mengusap-usap wajahnya, mengingat apa apa yang terjadi tadi malam.

Saat memorinya sudah terbaca lagi, valin mencoba melupakannya, tapi itu tidak bisa, valin buru-buru mandi lalu bersiap-siap untuk sekolah.

15 menit semuanya selesai, valin merencanakan sesuatu.

Crek! Valin membuka pintu kamarnya, mempercepat langkahnya, valin tidak sengaja melihat sebuah brosur, yang membuatnya menatap beberapa detik.

Ibu dan ayah sedang makan pagi di meja makan.

"Valin engga makan?" Tanya ibu.

Valin menggeleng sambil terus melangkah keluar rumah. Kali ini valin tidak menunggu bis sekolah, valin terus berjalan semakin cepat, dan akhirnya valin berlari.

Terus berlari sambil melihat ke arah kanan dan kiri mencari tempat yang dia cari. Valin menyebrang jalan dengan beberapa orang rombongan.

Setelah sampai di persimpangan jalan, valin melihat sebuah tempat yang dia cari, valin bergegas berlari kembali.

Saat di depan tempatnya valin, melihat ke arah tempatnya, Minddoctor.

Kring! Kring!

Valin membuka pintu, lalu masuk kedalam tempatnya.

"Ada yang bisa di bantu?" Tanya seseorang cewe.

"saya butuh seseorang" ujar valin.

Cewe itu kebingungan, mendengar yang di lontarkan valin.

"Aku mohon, saya butuh orang untuk menghapus pikiran akua" ujar valin.

Cewe itu terkejut mendengar kalimat valin.

***

"Jadi sebenarnya apa yang ingin kamu sembuhkan?" Tanya seorang cewe.

"Diri aku" suara itu terdengar letih.

Seseorang berambut pink itu mengangkat buku dan pulpen. Memperbaiki posisi duduk.

"Bagian mana yang ingin kamu sembuh kan?" Tanyanya.

"Me-me..mori" Suaranya terbatah-batah.

Perempuan di hadapannya menelan ludah, "sudah di pikirkan dengan baik?"

Valin mengangguk. Sejak tadi ia menundukan kepalanya.

Perempuan itu menulis dengan cepat di atas buku yang sudah di genggamnya sejak tadi. Berdiri lalu berjalan menuju tempat khusus.

Valin mengangkat kepalanya dengan perlahan. Menelan ludah. Mungkin dipikirannya keputusan ini memang yang terbaik.

Tinsia menyalakan mesin di dalam tempat khusus, mesinnya seperti tempat tidur dan di ujungnya ada sebuah bulatan untuk memasukan kepala.

Valin berdiri lalu berjalan menuju tempat khusus itu, tanpa menunggu arahan dari Tinsia. Tinsia mengangguk. Valin menidurkan badannya di atas tempat khusus itu, memposisikan dengan baik.

Tinsia menekan tombol yang ada di sebelah tempat itu, bualatan yang menutupi kepala valin menyala, lalu keluar sebuah jaringan otak manusia. Warna merah untuk keluarga, warna biru untuk teman, warna kuning untuk kepribadian.

"Kamu tahu, setelah di benarkan, memori akan menghapus semua ingatan kamu?" Tinsia meyakinkan.

"Ya"

Tinsia tidak menanggapinya lagi, menekan sebuah tombol, badan valin langsung terjatuh lemas. Lalu Tinsia memasang berupa headset di telinga, alat itu nantinya akan berguna untuk komunikasi dengan valin.

Tinsia memeriksa jaringan pertama, yang berwarna merah. Tinsia menekan jaringan, lalu membuka dengan sendirinya.

"Hei"

"Uhk! Uhk!" Suara valin mulai terdengar.

"Mulai yah, bagaimana keadaan mu dengan keluarga?"

"Baik..." hening sebentar "sedikit toxic"

Tinsia menghela nafas, "tidak usah mencoba berbohong, semuanya akan sia-sia"

Valin tidak menjawab.

"Orang tua aku selalu meluarkan kalimat-kalimat yang mungkin menurutnya biasa saja, t-tapi buat aku kalimatnya membuat sebuah risih, sampai aku selalu sulit tidur, apakah itu wajar? Atau memang aku yang lemah?"

"Itu wajar, semua manusia di ciptakan beda-beda, sekalipun yang kembar tetap beda isi hatinya. Tidak bisa di samakan" ujar Tinsia yang sedang membenarkan jaringan merah.

avataravatar
Next chapter