9 Wanita dalam Bola Api

Hari ini Lidya tak masuk sekolah. Lidya mengalami demam tinggi semalaman. Joseph mengira anaknya belum pulih dengan benar setelah pingsan kemarin. Lidya kini hanya berbaring di tempat tidurnya dan tak boleh bergerak kemana – mana atas perintah Joseph.

Lidya mengerjapkan matanya menatap plafon kamar berkali – kali. Badannya terasa sakit karena tidak bergerak dari tadi pagi. Ini sudah hampir jam 11 siang tapi Lidya masih terus berbaring tanpa melakukan apa – apa. "Ayah, aku lelah berbaring," ujar Lidya. Biasanya, orang malah senang jika tidak melakukan apa – apa dan hanya berdiam diri di atas kasur, tapi lain hal dengan Lidya yang merasa sangat suntuk.

"Lalu, kau mau ngapain, Lyd?" tanya Joseph. Dia baru saja masuk ke kamar Lidya lagi membawa potongan buah – buahan seperti apel, pir, dan anggur.

"Mencari udara segar, mungkin."

Joseph menatap wajah Lidya lama. "Kau masih sangat pucat sekarang," jawabnya.

Lidya menghela napasnya kemudian. "Huhh, mending ke sekolah saja pagi buta lagi kalau begitu," gumam Lidya.

"Kau mau melarikan diri lagi?" Joseph mendengar apa yang Lidya ucapkan tadi. Putrinya mungkin akan senekat kemarin pergi sekolah dari pagi buta.

"AYAH!" tiba – tiba seruan dari dua bocah kecil itu menginterupsi obrolan Lidya dan Joseph.

Deril dan Ceryl nampaknya baru saja pulang dari sekolah taman kanak – kanak. Dua kembar ini tersenyum manis pada Lidya. Berbeda jauh dengan ibu mereka, Deril dan Ceryl suka bermain bersama Lidya bahkan menyayangi Lidya. Atau mungkin hal itu karena umur mereka yang masih terlalu kecil untuk mengerti bahwa Lidya bukanlah anak kandung dari ibu mereka?

"Hai, Sayang, kalian baru pulang sekolah?" Joseph mencium puncak kepala dua anak kecil itu. Mereka hanya mengangguk secara bersamaan.

"Kenapa naik kesini?" kali ini Lidya yang bertanya. Jarang – jarang mereka dibolehkan naik ke kamar Lidya dan menemuinya. Karena biasanya, kedua bocah berumur empat tahun ini akan dikurung di kamar mereka oleh Maria. Waktu temu kedua bocah ini dengan Lidya hanya ketika Maria harus pergi perawatan dan Lidya disuruh menjadi baby sitter Deril dan Ceryl.

"Kami dengar kau sakit, Kak," jawab si kecil Deril. Ceryl hanya manggut – manggut saja.

"Apa kau masih sakit? Bagian mana yang sakit?" kini Ceryl ganti berbicara.

Lidya terkekeh. "Ya, aku sakit. Seluruh tubuhku rasanya sakit. Ayah melarangku untuk bergerak dari tempat tidur. Padahal, aku tambah merasa sakit jika berbaring terus," jawab Lydia. Dia sengaja mengatakan hal itu pada dua kembar ini lalu melirik Joseph di belakang mereka.

Joseph menggelengkan kepalanya.

Seperti yang Lidya harapkan, dua bocah kembar ini dengan cerewetnya langsung memarahi Joseph. "Ayah, kau membuat Kakak kami semakin sakit," ketus Deril.

"Kenapa dia dikurung terus di sana. Itu sangat membosankan," lanjut Ceryl.

Kemudian, kalimat – kalimat serang lainnya di keluarkan dua bocah kembar ini pada Joseph yang menatap bingung.

...

Lidya kini sedang berjalan santai di sekitar komplek perumahannya. Karena bantuan Deril dan Ceryl akhirnya Joseph mengizinkan Lidya untuk keluar mencari udara segar. Namun, berlaku syarat juga dari Joseph, dimana dia harus mengikuti kemana Lidya pergi. Karena kini, bukan hanya Joseph yang menemaninya melainkan dua bocah yang sudah berlari duluan di depan sana.

"Deril, Ceryl, jangan berlarian. Hati – hatilah atau kalian akan jatuh nanti!" teriak Joseph dari arah belakang. Lidya yang mendengar itu hanya terkekeh. Dulu, Ayahnya memperlakukan dia sama seperti itu. Lidya jadi flashback ke masa – masa indah dimana dia masih menjadi gadis kecil yang sukanya bermain dan berlarian kesana kemari.

"Ayah, dulu juga kau meneriakiku seperti ini. Aku sangat suka berlarian, lalu kau akan memarahiku dan ketika aku betulan jatuh kau juga tetap menolongku dan mengatakan 'itu kan, sudah Ayah bilang untuk jangan berlarian di jalan. Ayo, lutut kecilmu harus di obati. Luka itu akan menjadikanmu gadis yang kuat'. Lalu, aku akan berhenti menangis dan tersenyum dengan kalimatmu itu," ujar Lidya panjang lebar.

Joseph mengacak puncak kepala Lidya. "Sekarang kau benar – benar tumbuh menjadi gadis yang kuat."

Lidya tersenyum. Ada kesempatan langka yang bisa dia dapatkan kembali dari Joseph setelah pertengkaran hebat. Lidya jadi banyak berpikir, bahwa sesuatu yang buruk tidak selalu berakhir dengan buruk juga. Bahkan, Lidya sangat bersyukur bisa menghabiskan banyak waktu dengan Joseph saat ini selama dia libur. Karena biasanya, hubungan mereka tidak seintim ini lagi dan hanya mengobrol di kesempatan – kesempatan yang terbilang sangat sedikit. Biasanya, Joseph lebih menghabiskan waktunya bersama keluarga baru itu. Namun, kali ini Lidya benar – benar merasakan Joseph terus memperhatikan dia. Dan inilah yang Lidya harapkan sejak Joseph menikah lagi dengan Maria. Lidya berharap Joseph tak penah berubah atau tak menghiraukan keberadaannya lagi.

"Ayah, kami ingin ice cream," panggil Ceryl. Dia dan Deril berhenti tak jauh dari Joseph dan Lidya. Di depan sana, tak jauh dari mereka ada seorang penjual ice cream keliling dengan jingle andalannya yang pasti dihafal seluruh manusia di bumi sudah nangkring dengan manis di samping trotoar.

Joseph memandangi Lidya begitupula Lidya. "Itu juga persis sepertimu dulu, Lyd," ujar Joseph dan membuat Lidya tertawa seketika.

...

Setelah berjalan – jalan santai di sekitar kompleks perumahan, Lydia kini kembali berbaring di tempat tidur lagi. Lydia lumayan kelelahan juga, tubuhnya memang tidak se-fit yang dia bayangkan. Jalan santai tadi cukup menguras banyak tenaga juga.

Lydia menatap plafon putih kamarnya sebelum akhirnya mata Lydia benar – benar terpejam dan memasuki alam bawah sadar.

Tolong!

Tolong!

Lydia membuka matanya karena suara itu, seluruh tempat ini menjadi sangat gelap. Lydia merasa dia baru saja tertidur tapi mengapa jiwanya di ajak ke tempat seperti ini.

Tolong!

Lagi – lagi suara minta tolong itu, Lydia tak bisa melihat apa – apa. Dia bahkan tak tahu sedang berada di tempat seperti apa sekarang.

Tolong!

Suara permintaan tolong itu lagi bergema. "Kau siapa?" teriak Lidya.

Benar – benar, matanya tak melihat satu objek pun di sini. Bahkan, Lidya takut untuk bergerak dari tempatnya berdiri saking gelapnya tempat itu. Dia seperti sedang terkurung di sebuah kotak hitam sekarang.

Tolong!

Suara itu semakin dekat padanya, Lidya mulai menajamkan pendengarannya untuk mencari tahu arah suara itu.

"Tolong, tolong aku." Kini bukan teriakan yang lagi dia dengar, malah berganti menjadi suara rintihan seseorang.

"Kau siapa?" ulang Lidya.

Tiba – tiba sebuah cahaya berpendar dari arah kanan Lidya. "Tolong, tolong aku." Lidya melihat wanita tua dalam bola api itu kini berdiri di hadapannya secara langsung.

"Kau?" Lidya menunjuk bingung pada wanita itu.

"Kau berjanji akan menolongku, Nak," ucap wanita itu muram.

Lidya mencoba mengingat perjanjian apa yang pernah dia katakan. Ah, saat bertemu dengan sosok itu di jalan. Lidya meningatnya. "Lalu, aku harus apa?" tanya Lidya.

"Ikuti para utusan yang datang ke duniamu, kau hanya perlu membantu mereka. Maka, aku akan bebas."

Lidya mengernyit bingung. "Utusan? Siapa mereka?"

"Mereka akan datang padamu dalam waktu dekat. Kumohon, ikut mereka ke dunianya." Wanita itu terlihat mengeluarkan air matanya.

Lidya tak mengiyakan permintaan wanita itu. Belum sempat Lidya membantah, wanita itu hilang menjadi cahaya yang menyilaukan. Lidya menutup matanya kala cahaya itu semakin terang.

Saat merasa wanita itu sudah hilang, Lydia membuka matanya lagi. Namun, kini dia berada di tempat yang berbeda. Dia berada di sebuah taman atau mungkin hutan yang sangat luas. Lidya melihat sebuah bangunan seperti istana yang sangat besar dari tempat ini. Lidya berlari ke arah tempat itu, dia penasaran apa yang akan dia temukan di sana.

Saat berlari, Lidya melihat genangan – genangan merah di mana – mana. Lydia berhenti sejenak melihat sekelilingnya. Ini sangat menakutkan, genangan merah itu adalah darah, tidak salah lagi. Dan mereka semakin banyak saja merembes keluar dari sela – sela tanaman. Lydia mundur ketika cairam darah itu hampir mengenai kakinya yang tak beralaskan apa - apa kemudia dia berlari dari sana sesegera mungkin.

Bruk!

"Aduh," ringis Lydia. Dia terjatuh karena berlari tanpa melihat keadaan tanah berbatu ini. Namun, Lydia tiba – tiba meloncat mundur ketika melihat penyebab dia jatuh bukanlah sebuah batu melainkan tangan manusia yang keluar dari sebuah semak – semak di jalan setapak itu.

Lydia ketakutan tapi, juga merasa penasaran. Karena rasa penasaran yang lebih mendominasi, Lydia bergerak ke arah semak – semak dan dengan kedua tangannya, Lydia membuka semak – semak itu. Betapa terkejutnya ketika melihat sosok pemilik tangan itu yang mati secara mengenaskan. Mulutnya terbuka lebar, mata putihnya naik. Kepalanya bocor hingga darah terus mengalir dari sana, badannya seperti remuk dan patah karena orang itu terlihat tak berbentuk.

Lidya segera menutup semak – semak itu dan lanjut berlari lagi. Di depannya, bangunan megah itu terpampang sangat nyata. Namun, di sekelilingnya, rumah – rumah terbakar hangus. Lidya menoleh ke sekitar, keadaan tempat ini sangat kacau balau. Lidya melihat mayat tergeletak dimana – mana. Bulu kuduk Lidya merinding, dia tak tau sedang berada di mana sekarang.

Lidya melangkahi mayat – mayat itu untuk berjalan lebih dekat ke arah istana. Di situ tertulis "Territory of ignis" dengan lambang api yang sangat khas di mata. Lydia sudah berencana masuk ke dalam sana, dia ingin menyusuri lebih dalam tempat ini. Ini jarang terjadi di mimpinya, bahkan tidak pernah sekali pun terjadi. Apalagi, mimpi ini terasa sangat nyata dan Lidya bisa mengendalikannya. Ini seperti yang orang – orang sebut sebagai Lucid Dream, sepertinya.

Lydia membuka gerbang sebagai jalan masuk dari istana itu. Halaman sangat luas menyambut Lidya, dia berjalan di jalan setapak yang dibuat di tengah – tengah halaman ini. Sampai di pintu utama yang besar ini, Lidya mencoba mendorongnya hingga terbuka lebar.

"Hebat!" Lidya menatap takjub isi dalam istana berperabotan merah marun yang mendominasi. Lidya menatap seluruh bangunan ini dengan mata yang berbinar, ini seperti dalam film – film fantasi yang beberapa kali dia tonton.

Kepalanya berputar, menatap langit – langit bangunan yang sangat tinggi. Berbeda jauh dengan keadaan di luar, di dalam sini nampak sangat tenang dan nyaman. Jika seseorang terkurung di dalam bangunan ini, mungkin dia tidak akan tahu bahwa di luar sedang terjadi kekacauan luar biasa.

Mayat yang tergeletak dimana – mana itu kembali memenuhi pikiran Lidya. Lidya akhirnya beranjak keluar dari istana itu tanpa niatan masuk lebih dalam lagi. Dia ingin mengetahui alasan mengapa tempat ini hancur dan seluruh orang mati. Apakah terjadi sebuah perang? Namun, seharusnya jika perang itu sudah selesai, masih akan ada orang – orang di sini yang memenangkan perang itu dan merebut wilayah ini.

Tapi, ini semua mimpi? Bisa jadi ini adalah jalan cerita yang Lidya buat? Ah, Lidya semakin bodoh saja. Tak usah pikirkan itu dulu dan dia harus mencari alasan atas kekacauan di negeri itu.

Lidya lagi – lagi menelusuri jalanan penuh mayat. Kini, Lidya masuk ke pemukiman penduduk yang sudah hangus terbakar, tak ada rumah yang terlihat utuh lagi. Lidya menatap lurus dari tempatnya berdiri, jauh di sana dia melihat sebuah istana yang mirip seperti istana yang tadi dia masuki.

Lidya menajamkan penglihatannya, benar - benar bangunan itu sangat mirip dengan istana di sini. Lidya kembali jalan menelusuri deretan perumahan itu, kini dia tengah berada di pusat kota—sepertinya—karena dia melihat bangunan yang mirip seperti pertokoan dan ruko.

Sedang sibuk memperhatikan keadaan sekitar, angin kencang berembus menerbangkan abu bekas kebakaran perumahan di sini hingga berhamburan. Lidya mendongak ke langit. "Sial, kenapa makhluk itu lagi?" Lidya melihat sosok kegelapan itu menari – nari di udara. Dengan secepat tenaga, Lidya bersembunyi di antara puing – puing bangunan bekas itu.

Lidya mengintip ke mana perginya sosok itu, tapi ... tunggu sebentar. Sepertinya, sosok itu tak melihatnya sama sekali. Alhasil, Lidya benar – benar mencoba keluar dari persembunyian dan menampakkan dirinya saat ini.

Benar saja, sosok itu tak melihat Lidya berdiri di bawahnya. Lidya sempat berpikir, "apa jangan – jangan penyebab kekacauan di sini ... dia?" tanya Lidya pelan.

Kemudian, Lidya melihat sosok itu membawa sebuah tombak dengan ujung besi yang sangat tajam. Sosok itu dengan cepat terbang membawa tombak itu ke arah istana ... tadi?

Lidya menoleh dan buru – buru mengejar sosok itu ke arah istana. Sampai di depan, Lydia memutari istana ke halaman belakang. Dengan sekuat tenaga, Lydia berlari. Sampai di sana, kaki Lydia merasakan lemas seperti jelly.

Gadis berbalut gaun putih dengan corak emas bergambar matahari di dada di bawa melayang dari lantai balkon istana ke halaman belakang oleh sosok hitam itu. Lydia mengenal gadis itu, itu adalah dirinya sendiri. Bagaimana bisa, Lydia berada di antara kekacauan yang terjadi, apalagi Lydia bisa melihat tubuhnya di sana hampir meregang nyawa.

Darah mengalir dari hidung dan mulut, mata Lidya yang tak berdaya di sana masih sedikit terbuka. Sosok itu mengangkat tombaknya tinggi – tinggi, bahkan dia masih tertawa seakan menikmati pembunuhan ini.

Lidya yang menyaksikan dirinya sendiri hendak di bunuh merasa tak kuat. Dia menggeleng lemah seraya mengeluarkan isak tangis. Tombak itu, di layangkan ke udara dan dengan secepat kilat tertancap ke bawah. Lidya langsung menutup matanya tak kuasa melihat adegan kematiannya sendiri. "TIDAKK!" teriak Lidya.

"Lydia!" Joseph menggerak – gerakkan tubuh Lydia yang sedari tadi terlihat gelisah dalam tidurnya.

Deg!

"Huhh ... huhh ... huh ... huh ...." Lidya terbangun dari tidurnya dengan keringat yang membasahi wajahnya. Bulir keringat sebesar biji jagung itu mengalir deras ke pipi halusnya.

Lydia menatap Ayahnya dengan perasaan takut yang luar biasa. Lagi – lagi Joseph memeluk putrinya itu lalu menenangkan Lidya.

"Kau kenapa, Sayang. Apa yang membuatmu gelisah dari tadi?" tanya Joseph.

Lidya menatap Ayahnya masih dengan helaan napas yang kasar. "Aku, aku hanya bermimpi buruk lagi sepertinya." Lidya tak ingin mengatakan hal yang terjadi padanya selama belakangan ini.

Joseph kembali memeluk Lidya. "Tak apa, itu hanya bunga tidur saja."

Ya, Lidya berharap juga bahwa itu hanyalah bunga tidurnya saja.

avataravatar
Next chapter