3 Trouble

"Hey! Lyd bangun. Kau kenapa menangis?" Jovita menepuk-nepuk pipi Lydia.

Lydia membuka matanya terkejut dan langsung memegang erat-erat tangan Jovita.

"Kau kenapa Lyd?" tanya Jovita khawatir. Lydia terdiam dan menoleh ke sekitarnya.

Itu hanya mimpi. Lagi-lagi semuanya hanya mimpi. Lydia sedikit bernapas lega mengetahui bahwa itu hanya mimpinya saja. "Aku baik-baik saja."

"Lalu kenapa kau tiba-tiba menangis? Apa kau merasa sakit setelah muntah tadi?" tanya Jovita lagi-lagi.

Lydia meggeleng. "Sepertinya, aku mimpi buruk tadi," jawab Lydia. "Berapa lama aku tertidur?" lanjutnya.

Jovita menyalakan ponselnya dan melihat jam saat itu. "Tiga puluh menit, mungkin."

Lydia melongo. "kenapa tidak membangunkanku?"

"Tidak mungkin aku membangunkan orang yang nampaknya butuh istirahat setelah mengeluarkan semua isi perutnya tadi. Aku tidak setega itu."

Jovita menepuk bahu Lydia. "Ayo kita cari tempat makan saja. Ini sudah jam makan siang juga," ajak Jovita. Dirinya menarik tangan Lydia agar berdiri.

...

Hampir setengah sembilan malam baru Lydia sampai ke rumah. Setelah makan, mereka memutuskan untuk bermain di mall, dan lanjut menonton film di bioskop. Waktu berjalan begitu cepat hingga tak sadar langit sudah berganti warna. Kalau saja Jovita tak dihubungi orangtuanya tadi, mungkin mereka masih keluyuran saat ini.

Lydia masuk tanpa mengucap salam atau apapun itu, dirinya langsung membuka pintu rumah tanpa memerdulikan orang di dalamnya. Lagipula, hanya ada ibu tirinya itu, jadi untuk apa mengucap salam pada Maria.

"Lihatlah kelakuan anak gadismu ini, Sayang," ucap Maria dengan penuh penekanan.

Lydia menoleh ke sumber suara dan mendapati Ayahnya di sofa ruang tamu. "Ayah," ujar Lydia tersenyum lebar.

Ayahnya tak balas tersenyum tapi malah menunjukkan raut ... kecewa?

Lydia menurunkan tarikan bibirnya, apa Ayahnya marah dengan yang dilakukan Lydia?

"Kenapa baru pulang jam segini Lydia?" tanya Joseph—ayahnya—dengan suara tegas.

Lydia seketika menundukkan kepalanya dalam. "Aku hanya ingin bermain Ayah," jawabnya pelan.

Maria sudah tersenyum penuh kemenangan di belakang Joseph. Pasti Maria adalah provokator utama dalam kemarahan Joseph kali ini. "Kau pergi begitu saja tanpa izin dariku, Lyd. Aku sudah memperingatkanmu," tambah Maria. Itukan, Lydia sudah menebaknya.

"Kenapa kau tidak izin pada ibumu dulu?" Joseph berdiri dan mulai mendekat ke arah Lydia.

"Dia tidak mungkin mengizinkanku pergi," jujur Lydia.

"Lyd, kau saja tidak pernah meminta izin dariku. Bagaimana kau tahu aku akan mengizinkanmu pergi atau tidak," ungkap Maria.

Lydia sudah ingin memaki wanita sialan itu. Penjilat!

"Tapi, wanita itu menyiramku dengan air dan memintaku mengerjakan semua pekerjaan rumah." Lydia kini menatap tajam ke arah ibu tirinya itu.

Rahang Joseph mengeras. "Bukan wanita itu, panggil dia ibu. Dia ibumu sekarang, Lydia!" bentak Joseph.

Lydia terkejut lalu menggeleng. "Dia bukan ibuku. Dia wanita jahat Ayah," ucap Lydia. Dia berusaha untuk menahan tangis akibat bentakan Joseph. Biasanya Josep tak pernah memarahi atau membentaknya. Provokasi macam apa yang dilakukan Maria pada Ayahnya.

Tangan Lydia sudah basah karena keringat. Dia merasakan takut yang luar biasa. Wajahnya sudah sangat memerah memendam berbagai umpatan yang ingin dia sampaikan pada Maria.

"Dia meyirammu dengan air? Kau pantas mendapatkan itu Lyd. Gadis sepertimu bisanya hanya bermalas-malasan saja hingga siang hari. Lalu menyuruhmu mengerjakan pekerjaan rumah? Bukankah itu memang sebagian tugasmu juga. Kau ini seorang perempuan, kau harus mengurusi rumah juga. Kau harus bisa membantu ibumu. Tapi, kau malah ...." Joseph menghela napasnya beberapa kali. Wajahnya juga nampak merah karena emosi.

"Kau lihat tangan ibumu sekarang. Mengapa kau dengan kurang ajarnya malah melemparinya dengan hiasan bunga di sana?!"

Lydia menatap tangan Maria lalu beralih menatap Joseph. Lydia menggeleng. "Aku tidak melakukan itu Ayah," lirihnya.

"Jangan berdalih Lydia, anak macam apa kau ini!"

Prak!

Air mata Lydia merembes keluar dari matanya ketika telapak tangan Joseph menyentuh kulit pipinya. Lydia merasakan perih pada pipinya itu. Namun, rasa sakit di pipi akibat tamparan Joseph tak sebanding dengan sakit hatinya saat ini.

"Aku tidak melakukannya Ayah, dia adalah sumber masalahnya." Lydia menunjuk Maria dengan tatapan tajam. "Aku ingin pergi saja dari sini secepatnya kalau bisa buat aku mati saja. Aku benci tinggal bersama wanita itu. Aku juga membencimu Ayah," seru Lydia lalu berlari masuk ke kamarnya.

Joseph menatap tangannya yang tanpa sadar melayang pada pipi anaknya tadi, lalu menatap Lydia yang berlari ke atas. Joseph merasakan penyesalan teramat dalam atas tindakannya hari ini. Sedangkan Maria, cukup terkejut juga bahwa pertengkaran ini akan berakhir seperti ini.

Di kamar, Lydia menutup diri dengan selimut. Sayup-sayup, Lydia masih bisa mendengar pertengkaran lebih lanjut antara Maria dan Joseph. Kedua adiknya mungkin sudah tidur saat ini.

"Maria, seharusnya kalian bisa hidup rukun berdua. Kau bahkan tak mau mendekatkan diri pada anakku," ujar Joseph.

Suara Maria membalas tak kalah keras. "Aku sudah mendekatkan diri padanya. Kau saja yang tak tahu seperti apa watak anakmu jika kau tak ada di rumah."

Seriously? Apa Lydia tak salah dengar pembelaan itu? Bukannya Maria yang bemuka dua. Ketika ada Joseph Maria akan memperlakukan dirinya sebagai keluarga. Namun, jika Joseph kembali dinas Maria akan memperlakukan Lydia sebagai pembantu.

"Aku kenal Lydia, dia tak mungkin bersikap seperti itu jika tak ada yang salah juga denganmu."

"Kau tak tahu dia, lihat saja tanganku ini. Kalau aku tak menghindar, mungkin kepala yang akan kena vas itu. Anakmu, membawa pengaruh buruk untuk Deril dan Ceryl." Maria tetap tak mau kalah.

Membawa pengaruh buruk untuk dua adiknya? Bukankah terbalik, karena nyatanya Maria lah si pembawa pengaruh buruk dalam keluarga mereka.

"Aku tak mau tau, kau harus berbaikan dengannya," perintah Joseph.

"Aku tak sudi meminta maafnya Joseph, dia yang seharusnya meminta maaf padaku. Aku Ibunya."

Lydia dibalik selimut terus mengeleng kuat-kuat.

"Kau sudah membuatku kehilangan akal hingga menampar anakku,Maria. Kupikir, kesalahannya tak segitu buruk. Tentang vas itu, aku yakin dia tak mungkin melakukannya."

Lydia sedikit tersentuh mendengar sang Ayah yang membela dirinya.

"Buktinya ada di tanganku Joseph. Kau tak mungkin menutup mata dengan bukti ini kan?" Maria terdengar khawatir Joseph mengetahui yang sebenarnya. Apalagi, Maria sudah menghapus jejak CCTV tadi pagi.

"Tatapan matanya tadi berkata jujur, Maria. Aku akan sangat marah jika suatu saat nanti dia terbukti tak bersalah."

"AKU TAK PEDULI JOSEPH! AKU TAK AKAN MEMINTA MAAF PADANYA. AKU INI KORBAN KENAKALAN ANAKMU. KAU TERLALU MEMANJAKANNYA!" teriak Maria.

Lydia saat ini merasa ingin membunuh wanita itu sekarang juga.

"KAU MEMBUATKU KECEWA JOSEPH. ANAKMU ADALAH ANAK KURANG AJAR."

Lydia menahan napasnya. Tangannya terkepal kuat-kuat.

Buatlah aku pergi dari sini saja, Tuhan. Buat aku mati saja agar tidak terjebak dalam situasi sial ini. Aku benci semua orang sekarang! Aku ingin bertemu ibu kandungku saja. Kehidupanku tak akan begini jika saja dia masih hidup sekarang, batin Lidya.

avataravatar
Next chapter