6 Mother

Apa yang terjadi? Kenapa Ayah memperlakukanku seperti orang sakit begini? Kenapa Ayah tak membangunkanku saja, pikir Lidya.

"Kapan kau bangun, Lyd. Kau harus berganti baju dulu, aku akan memanggil Maria untuk membantumu," ujar Joseph. Tangan besar Joseph mengelus puncak kepala Lidya.

Lidya yang mendengar hal itu merasakan semakin aneh. Tidak, kenapa dia perlu berganti baju. Bahkan, Maria yang harus menggantinya. Lidya tanpa berpikir panjang lantas menolak mentah-mentah. Tidak, wanita sialan itu tak boleh menyentuhku sama sekali.

Sebelum, Joseph keluar untuk memanggil Maria. Lidya sontak menarik tangan Joseph dengan cepat. "Ayah," ucap Lidya serak.

Joseph melebarkan matanya ketika melihat putrinya yang sudah terbangun. Dengan sangat cepat, Joseph langsung memeluk Lidya erat-erat. "Lydia akhirnya kau bangun. Maafkan Ayah Lyd, kau pasti sangat membenciku sekarang." Joseph memeluk Lydia seakan tak mau melepasnya lagi.

Lidya merasa Joseph tengah menangis sekarang. Lydia semakin tak mengerti apa yang terjadi padanya. "Aku tau, Ayah telah berbuat salah padamu. Tapi, kumohon jangan melakukan tindakan yang bisa menambah penyesalanku seumur hidup," lanjut Joseph.

Lidya kebingungan. Apa yang terjadi padanya sebenarnya? Bukankah dia baru saja bangun dari tidur. Jangan bilang, kejadian tadi bukan sebuah mimpi?

Lidya langsung melihat tubuhnya yang masih terbalut baju sekolah. Tidak mungkin, Lidya kira semua hanyalah mimpi. Lidya mulai mengingat kejadian di sekolah subuh hari tadi. Pikirannya serasa terlempar pada pagi ketika dia datang ke sekolah pukul lima dan menjadi siswi pertama yang datang. Lydia mulai mengingat ketika dia bertemu sosok hitam, hingga menangis seperti orang gila.

Lydia juga mengingat ketika dia bertemu si murid antah berantah yang katanya teman kelas mereka dari kelas sepuluh. Sampai, ingatan Lidya jatuh pada saat jam pulang sekolah, dimana dirinya memutuskan pulang berjalan kaki untuk menghindari Joseph yang saat ini berada di hadapannya. Tapi, perjalanan pulang itu tak berjalan semulus yang dia bayangkan ketika dengan tiba-tiba muncul asap hitam yang berubah menjadi si kegelapan. Sial, dia hampir merasa senang mengetahui dia baru bangun tidur sekarang. Dia hampir merasa senang karena semua ini lagi-lagi hanya mimpi semata. Lydia sampai pusing luar biasa, dia sudah tak bisa membedakan mana kehidupan nyata dan mana bunga tidurnya.

Joseph masih memeluk Lidya erat. Lidya awalnya ragu untuk membalas pelukan itu, tapi pada akhirnya kedua tangan Lidya bergerak ke punggung Joseph. Lidya balas memeluk Joseph tak kalah erat.

"Apa yang terjadi padamu, Lyd. Mengapa kau nekat berjalan ke tengah jalan raya?" tanya Joseph setelah pelukan mereka lepas. Sesuai dugaan Lydia juga, Joseph tadi sempat mengeluarkan air mata karena kini, Joseph tengah mengelap sisa-sisa air mata itu.

Lidya bingung menanggapai pertanyaan Joseph. Dia tak merasa berjalan ke tengah jalan raya. "Apa maksudmu, Ayah?"

"Kau hampir tertabrak sebuah mobil. Untung saja, mobil itu bisa berhenti." Joseph menatap tegas Lydia. "Apa kau berpikir untuk mengakhiri hidupmu? Aku akan sangat membenci diriku, Sayang, jika kau mengakhiri hidupmu tadi."

Lydia menggeleng. "Aku memang ingin mati secepatnya. Tapi, rasanya aku masih waras untuk mengakhiri hidupku, Ayah. Aku tidak mungkin memilih jalur kematian sekonyol itu."

"Kau tak boleh berkata bahwa kau ingin mati lagi sekarang," tukas Joseph.

Joseph menatap Lydia semakin dalam. "Temanmu yang membawamu pulang tadi. Dia yang bercerita bahwa kau berjalan ke jalan raya tanpa memperhatikan sekitar. Sebuah mobil hampir saja menabrakmu. Ketika mobil itu berhenti tepat di hadapanmu, tiba-tiba kau jatuh pingsan. Ini sudah hampir jam delapan malam. Dan kau pingsan selama kurang lebih tujuh jam lamanya."

Seperti diperintah, Lidya langsung mendongak ke arah jam dinding yang ada di atas pintu kamarnya. Selama itu dia pingsan,? Lidya cukup kaget. "Tapi, aku ...." Lidya langsung mengurungkan niatnya untuk berbicara. Ayahnya tak mungkin percaya dengan apa yang dia katakan. Lidya memilih tidak menjelaskan apa-apa pada Joseph.

"Siapa nama teman yang membawaku ke sini?" ralat Lidya pada akhirnya.

"Namanya, Brian," jawab Joseph.

Lidya merasa kaget sekaligus semakin curiga. Itukan, kecurigaanku berdasar. Jangan-jangan, dalang di balik semua ini adalah Brian. Tak bisa dipercaya, jika memang Brian adalah makhluk itu maka Lidya akan terus merasa tak tenang selama akhir tahun sekolahnya.Karena yang ada, Lidya akan terus menerus merasakan ketakutan yang luar biasa.

"Bagaimana dia bisa tau alamat ini?" Lidya mencoba untuk memastikan. Kalau Brian benar-benar makhluk itu, sudah pasti dia mengikuti Lydia kemana pun hingga tau rumahnya. Karena, akan aneh jika Brian saja tak pernah datang ke rumah Lidya lalu tiba-tiba dia bisa tau alamat ini dan mengantarnya ke sini. Tapi, apa lebih tidak aneh, jika Brian benar dalang dari si sosok hitam kenapa dia tidak menculik Lidya saja tapi malah memulangkannya. Ah, Lidya tak bisa berpikir jernih. Banyak asumsi-asumsi negatif dalam pikiran Lidya tentang Brian.

Joseph mengangkat bahunya. "Kau punya kartu identitas yang menunjukkan alamat di sini, Lyd. Mungkin saja dia melihat kartumu itu."

Lidya hanya mengangguk. Itu sangat masuk akal, tapi ... ah sudah lupakan saja, Lidya semakin menggila tiap detiknya.

"Ganti bajumu dulu, Nak. Aku akan menunggu di luar. Sejak siang tadi Maria tak ingin membantu mengganti pakaianmu. Dan Ayah tak mungkin melakukan itu. Karena kau sudah besar sekarang, bukan gadis kecil lagi." Joseph berdiri, dia menepuk puncak kepala Lidya tiga kali.

Lidya hanya tersenyum hangat menanggapi.

...

"Tiga suap lagi, Sayang. Nanggung sekali jika kau berhenti makan sekarang," ujar Joseph dengan nada lemah.

"Aku sudah kenyang, Ayah. Perutku rasanya ingin meledak sekarang," mohon Lidya untuk kesekian kalinya. Sehabis berganti pakaian tadi, Joseph membawakannya makan malam yang sangat banyak. Mulai dari nasi sepiring penuh, sayur-sayuran juga dua potong ayam goreng.

Baru kali ini, Lydia makan sebanyak itu. Bahkan piringnya penuh seperti makanan untuk dua porsi. Namun, Joseph terus menerus menyuapinya hingga hampir habis dengan dalih yang sama bahwa terlalu tanggung jika Lydia tak menghabiskan semuanya. Padahal, Lydia sudah makan banyak sekali. Namun, Joseph terlalu bersemangat untuk mengisi gizi Lidya kali ini, dan Lidya merasa tak tega jika menolak hal itu.

"Kau minum dulu setelah itu lanjut makan lagi." Joseph menyodorkan gelas air putih pada Lidya.

Lidya menyambarnya dan meminumnya sedikit. Tenggorokannya terasa sangat lega.

"Ayah, serius aku akan muntah jika makanan itu masuk lagi. Tidak ada ruang dalam perutku lagi sekarang." Lidya menepuk-nepuk perutnya yang terlihat buncit saat ini.

Akhirnya, Joseph mengalah. Dia terkekeh melihat perut Lidya. "Baiklah, setelah ini kau hanya perlu istirahat, ya."

Lidya tersenyum dan mengangguk. "Tapi, aku ingin kau menemaniku sampai aku ketiduran, Ayah."

Joseph memiringkan senyumannya. "Aku seperti mendapat perintah dari gadis kecilku sekarang. Ternyata kau masih butuh dimanja Ayah, ya," ledek Joseph.

Lidya tertawa, "hahahaha." Dia memegang tangan Joseph. "Aku ingin selalu menjadi gadis kecil, Ayah. Aku tak pernah bertumbuh besar, aku masih Lidya yang dulu," ungkapnya. Lidya mengatakan perasaan yang sebenar-benarnya. Dia butuh sosok Ayah, dia butuh Joseph. Keadaan memaksa Lidya untuk menjadi dewasa, apalagi Maria membuatnya hidup Lidya terkutuk tiap hari. Dia menginginkan saat-saat seperti ini. Hanya berdua dengan Joseph tanpa diganggu hal lain. Karena biasanya, tiap kali Joseph pulang, Lidya merasa selalu berada di urutan paling terakhir. Karena Deril dan Ceryl adik Lidya sudah mengambil singgasannya di pangkuan sang Ayah.

Joseph menatap sayang pada Lidya. "Kau selalu menjadi gadis kecilku, Sayang."

Joseph terlihat berkaca-kaca. Namun, setelahnya dia bersemangat kembali. "Oke, tunggu Ayah di sini. Ayah harus mengembalikan piring makananmu dulu ke bawah."

Lidya mengangguk.

Joseph kembali ke kamar Lidya dan mengambil posisi tepat di samping Lidya. dia sengaja bergeser untuk membuat ruang baru lagi bagi Ayahnya. Joseph tak tidur, dia hanya bersandar pada ujung kasur Lidya. Lidya mengenggam tangan Joseph, sedang tangan yang lain mengusap lembut rambut Lidya.

"Ayah, apa aku boleh bertanya sesuatu?" Lidya tengah memikirkan tentang sosok ibu kandungnya.

"Tentu saja, kau boleh bertanya hal apapun." Joseph terkekeh mendengar permintaan Lidya.

"Tapi, pertanyaanku adalah pertanyaan yang tak pernah kau beri jawabannya dulu," jujur Lidya.

Joseph membulatkan matanya seketika. "Tentang ibumu?" Joseph menguatkan hatinya untuk memastikan.

Dalam posisi tidurnya, Lidya mengangguk. Dia mendongakkan wajahnya ke atas melihat Joseph. "Kau selalu berkata bahwa aku belum cukup dewasa untuk paham dan mengerti tentang ibuku. Apa saat ini aku masih cukup kecil dan tidak bisa paham?"

Joseph mengalihkan tatapannya dari Lidya. "Kau sendiri bilang tadi bahwa kau selalu menjadi gadis kecil 'kan? Kenapa masih bertanya?" ungkap Joseph.

Lidya menghela napas kecewa. "Kapan aku bisa tahu sosok ibu kandungku, Ayah. Kenapa Ayah selalu menghindari pertanyaan itu?" Lidya tak tahu alasan Joseph tak mau memberitahunya.

"Luka yang sudah lama, tak boleh kau buka lagi, Lydia," ujar Josep lirih.

Lidya melihat raut Joseph sangat sedih. "Ayah, apa tidak bisa Ayah bagi luka itu denganku saja. Biar bukan hanya Ayah yang merasakan sakit itu. Kita bisa mengobatinya sama-sama," harap Lidya.

Joseph kembali menatap raut anaknya. "Kau selalu bisa meluluhkan perasaanku, Lyd. Sama sepertinya. Jadi, apa yang mau kau tanyakan tentang ibumu?"

Lydia tersenyum mengetahui Ayahnya mau berbagi cerita bersama dia. Dengan antusias Lidya bertanya, "Ibuku berasal dari mana?" jujur, Lidya tidak pernah mengenal ibu kandungnya sama sekali.

"Dia, Ayah juga tak tahu pasti. Ayah menemui ibumu hanya sebagai anak yatim piatu yang bekerja di restoran cepat saji. Saat menikah pun tak ada satu pun keluarganya yang datang. Ibumu, bahkan tak pernah memberitahuku asalnya," jawab Joseph.

Sejujurnya, Lidya cukup terkejut dengan hal itu. "Lalu, apa makanan kesukaannya saat dulu?" sebenarnya, Lidya hanya akan bertanya pertanyaan-pertanyaan sederhana dan tidak menyangkut kepergian ibunya itu. Dulu, Lidya sangat penasaran bagaimana kematian ibunya, tapi kini Lidya mengerti dia lebih ingin mengetahui hal-hal kecil dari ibu kandungnya itu.

Joseph terlihat berpikir. "Dia sangat suka memakan mie. Mie seperti bagian dari hidupnya. Dia bilang, dia jatuh cinta pada mie sejak dia merasakannya pertama kali. Baginya, mie memiliki tekstur kenyal yang sangat unik, bentuknya juga beragam dan panjang-panjang. Ketika makan mie, dia sangat suka menyeruputnya." Joseph berhenti di situ lalu mempraktekan seperti apa cara ibu kandung Lidya memakan mie. "Dia memang sangat aneh dan unik secara bersamaan. Tak ada satu orang pun yang kutemui memiliki sifat sepertinya."

Lidya tertawa mendengar cerita itu. "Sifatku tak mirip seperti dia?"

Joseph mengangkat alisnya. "Aku rasa kau mulai menunjukkan sifat yang sama akhir-akhir ini."

Lidya tertarik mengetahui sifat apa yang sama. "Seperti apa sifatnya? Apa yang sama denganku?"

"Hmm, dia pemberontak sama sepertimu. Dia tak suka ditindas, itu juga sama sepertimu. Dia sering berpura-pura kuat dan pemberani padahal lemah dan cengeng. Dia suka menangis untuk hal-hal kecil yang buat tersentuh. Dia suka tiba-tiba melakukan hal yang unik, seperti memanggang mie. Dia suka berinovasi tapi tidak masuk akal bagiku," Joseph mengingatnya sambil sesekali tertawa.

Wah, Lidya cukup terkejut mengetahui ibunya cukup terbilang unik. "Yang sama denganku hanya pemberontak dan tak suka ditindas? Berarti bagi Ayah aku sangat nakal begitu?"

Gantian, Joseph tertawa. "Ya begitulah."

Lidya cemberut. "Boleh aku tau seperti apa penampilannya?" pertanyaan ini adalah hal yang paling membuat dia penasaran. Joseph tak memiliki foto ibu kandungnya dan Lidya sangat mati penasaran dengan seperti apa wajahnya. Setidaknya, jika Joseph menyebutkan ciri-ciri wanita itu, mungkin Lidya bisa memvisualisasikan sendiri dalam otaknya hingga membentuk gambar seorang wanita yang dia sangat berharap untuk ketemu.

Joseph mengangguk. "Ibumu memiliki mata biru tua sepertimu, rambutnya bergelombang di bagian bawah, panjang rambut miliknya menyentuh pinggang. Kurang lebih sama sepertimu. Ibumu memiliki hidung yang mancung , bibinya tipis berwarna pink muda. Dia tidak suka berdandan, dia hanya memakai lipbalm untuk membuat segar saja. Kulitnya lebih putih darimu, seputih susu mungkin. Lalu, dia pendek, untung kau menuruni gen tinggi dariku. Karena sepertinya, kau sudah jauh lebih tinggi dari dia." Lidya tertawa ketika Joseph mengatakan hal itu.

"Ibumu sangat suka memakai dress atau pakaian dan aksesoris apapun yang berwarna kuning atau bercahaya. Dia sama cantiknya dengan dirimu." Joseph menutup kalimatnya dengan mengeluas pipi Lidya.

"Siapa namanya?" celetuk Lidya tanpa sadar.

Lidya hampir merutuki dirinya sendiri ketika mengatakan hal itu. Karena, dulu Lidya pernah bertanya hal ini namun Ayahnya marah dengan alasan yang tidak jelas sama sekali.

"Vidya, itu nama ibumu," ujar Joseph. Lidya cukup terkejut bahwa Joseph akan menjawab pertanyaan itu.

"Aku sengaja menamai dirimu seperti dia. Agar kau tumbuh menjadi orang baik seperti ibumu," lanjut Joseph pada akhirnya.

Lidya tersenyum mengetahui Joseph tak pernah lupa dengan ibu kandungnya sendiri. Malam ini, Lidya sangat senang bisa berbagi cerita bersama Joseph. Walau Joseph menganggap itu luka, tapi Joseph tak bisa memungkiri juga bahwa di saat bersamaan itu adalah kenangan indah dalam memori di masa lalu.

Lidya sampai melupakan kecemasan dan ketakutannya pada sosok hitam yang akhir-akhir ini selalu muncul di hidupnya. Malam ini, Lidya pasti merasakan mimpi yang sangat indah. Kalau bisa, Lidya berharap pada Tuhan membuat dia mimpi bertemu dengan sang ibu saja. Dari cerita Joseph tadi, Lidya sekarang bisa menggambarkan samar-samar seperti apa wajah dan penampilan sosok ibu kandungnya itu.

avataravatar
Next chapter