4 Meet

Lydia sudah siap dengan seragam sekolahnya pagi-pagi sekali. Dua menit lagi jam akan menunjukkan pukul lima dini hari. Lydia baru saja selesai menyisir rambut dan memoleskan bedak tabur sedikit ke wajah. Kemudian, dia mengambil tas sekolah yang berada di kursi belajar. Lydia keluar dari kamar, mengambil sepatu di rak lantai dua yang terletak dekat tangga ke bawah. Ruangan lantai dua bisa dengan leluasa dia pakai karena kedua orangtuanya juga adik-adik Lidya memiliki kamar di lantai satu. Lidya sudah menenteng tas dan sepatunya lalu berjalan dengan jinjit-jinjit di tangga agar tak ada bunyi sama sekali, dirinya langsung menuju ke luar ketika kakinya sudah menginjakkan lantai satu rumah. Lydia segera menuju ke pintu keluar sebelum seseorang bangun, dia membuka knop pintu dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi sama sekali.

Klek

Pintu berhasil Lydia tutup lagi tanpa membangunkan satu orang pun di dalamnya. Lydia buru-buru memakai sepatunya dan pergi dari sana.

Hari ini, sengaja Lydia bangun pukul empat dan bersiap ke sekolah karena tak ingin bertemu Ayahnya di pagi hari saat waktu sarapan. Walau Lydia tersentuh dengan pembelaan yang Joseph katakan kemarin, tak bisa dipungkiri bahwa dia tetap merasa sakit hati dengan tamparan yang dilayangkan Joseph padanya. Lydia masih berharap bahwa dia bisa segera pergi dari rumah itu saja.

Lydia memilih untuk naik bus pada pagi buta ini menuju ke sekolah. Setidaknya, akan ada banyak orang yang pergi bersamanya dalam bus. Sejujurnya, Lydia tak seberani itu untuk pergi sendirian bahkan di pagi buta. Gadis mana yang tidak was-was jika pergi jam segini, bagaimana jika ada orang mabuk? Bagaimana juga jika ada penjahat? Lydia menepis pemikiran itu kuat-kuat.

Lydia sudah sampai di halte, sesuai bayangannya ada sekitar lima orang yang juga ada di sana menunggu bus. Tiga orang di sana berpakaian jas sangat rapi, yang Lydia tebak adalah orang kantoran. Kemudian, ada satu orang wanita tua dengan tongkatnya, rambut wanita tua itu sudah berwarna putih semua. Lalu, ada juga satu orang laki-laki berpakaian santai yang mungkin saja hendak berpergian entah kemana tak bisa Lidya tebak. Lidya mulai mendekati halte dan menunggu bersama lima orang itu.

Dari arah kanan jalan, sebuah bus berwarna biru datang. Bus ini memiliki rute yang melewati sekolahnya. Saat, bus itu mulai berhenti, Lydia langsung naik dan mengambil duduk di kursi paling belakang.

...

Lydia sampai di depan gerbang sekolah pukul setengah enam kurang lima menit, bahkan, pintu pagar pun belum di buka oleh satpam. Lydia menajamkan matanya dan menoleh kesana-kemari berharap ada seseorang yang bisa dia minta tolong untuk membuka pagar.

Ah, iya pak Satpam pasti sudah ada. Lydia menyipitkan matanya ke dalam pos satpam yang tak jauh dari gerbang. Saat melihat sebuah kepala seseorang, Lidya langsung tersenyum senang.

"Pak!" panggil Lydia. Gembok yang ada di pagar sengaja Lydia ketuk-ketukkan ke besi pagar juga agar menimbulkan bunyi untuk memberi tahu bahwa ada dirinya di sini.

"Pak!" teriak Lydia untuk kedua kalinya.

Seorang laki-laki tua berbaju hitam yang tidak lain dan tidak bukan adalah satpam sekolahan yang Lidya lihat tadi nampak sedikit kaget dengan kedatangan seorang siswa di subuh hari begini. Karena bahkan, langit masih berwarna hitam sekarang.

Satpam itu langsung berlari menuju pagar untuk membukakan pintu bagi Lydia. "Kenapa datangnya pagi-pagi sekali, Nak?" tanya pak Satpam. Dia merasa heran, mengapa ada siswi yang rajin sekali begini, bahkan ini dibilang terlalu semangat datang ke sekolah.

Lydia sempat berpikir sebentar sebelum dia beralasan dan mengeluarkan jawaban yang paling masuk di akal. "Ayah saya yang biasanya mengantar saya ke sekolah. Hari ini beliau pergi ke kantor pagi sekali karena mendadak ada pekerjaan, jadinya saya harus ikut berangkat ke sekolah pagi buta begini." Lydia sangat pandai menyusun kata, dia memuji diri sendiri karena hal itu.

Satpam itu tampaknya percaya saja tanpa bertanya lebih lanjut dan langsung membuka gerbang untuk Lydia. "Di dalam masih gelap. Saya nyalakan sakelar listriknya dulu ya," ucap pak satpam.

"Iya, Pak," jawab Lydia.

Lydia melihat satpam itu berlari menuju gedung samping sekolah dimana tempat untuk menyalakan sakelar listerik yang mengontrol arus listrik satu sekolah berada. Kurang dari tiga menit, si satpam kembali menghampiri Lydia di tempat tadi. "Sudah saya nyalakan, ayo saya bukakan pagar lorong kelasmu. Kelas kamu di lantai berapa?"

Lidya mengangguk dan berucap, "tiga."

Satpam itu kemudian mengantar Lydia hingga ke lantai dua di tangga naik. Ada sebuah pagar yang menutup jalan di tangga ke setiap lantainya. Setelah si satpam membuka gemboknya, Lydia sempat mengucapkan 'terima kasih' sebelum satpam itu meninggalkan Lydia sendiri di lantai dua.

Suasana yang sangat sepi menyambut Lidya seketika dan membuat bulu kuduk Lydia sempat meremang, apalagi udara pagi hari yang lumayan dingin ini menusuk hingga ke pori-pori. Lydia sudah mengenakan sweater, tapi tetap saja udara dingin itu masih terasa di tengkuknya.

Lydia menoleh ke arah sekitarnya sebelum menaiki tangga perlahan. Sudah pasti, Lydia adalah murid pertama yang datang ke sekolah hari ini. Embusan angin yang pelan diiringi suara langkah sepatu yang beradu dengan lantai di tiap anak tangga yang mengisi sunyi itu.

Hingga sampai ke lantai tiga, keadaanya semakin sepi saja. Lydia lagi-lagi menoleh ke kanan dan kiri sebelum kakinya melangkah menuju kelasnya sekarang. Bangunan sekolahnya berbentuk memanjang secara horizontal. Dari arah tangga, terbagi dua bagian yaitu jurusan sains dan sosial. Di lorong yang memanjang, terdapat 4 deret kelas yang berhadap-hadapan hingga mentok di ujung tembok bangunan sekolah. Kelas Lydia terletak di sebelah kiri dari tangga, tempat anak-anak jurusan sosial.

Sekali lagi, Lidya menoleh ke arah kanan dan kiri lorong, tak ada yang berubah tetap saja kosong seperti tadi. Kemudian, Lidya memutuskan mulai melangkahkan kakinya menuju kelas daripada membuang waktu dengan perasaan gugup tak jelas ini. Namun, entah kenapa sudah memantapkan langkah pun dia masih merasakan perasaan deg-degan itu, Lidya secara naluri selalu menoleh ke dalam kelas yang dia lewati dengan cemas. Langkah yang dia ambil juga terkesan sangat buru-buru. Sudah dapat dia pastikan, bahwa dia memang murid pertama yang datang hari ini.

Sebelum Lidya masuk ke dalam kelasnya, angin yang tadi dia rasakan berembus dengan pelan malah kini terasa embusan angin yang cukup kencang, dan itu dari arah belakang di lorong sains. Rambutnya bahkan sampai berterbangan dan berantakan. Lydia dengan sigap langsung menoleh ke arah belakang.

Oh, Tuhan, gumam Lidya.

Seketika, Lidya terperanjat hingga jatuh karena kakinya seperti kehilangan tenaga untuk berdiri. Senyum mengerikan itu lagi. Ayo!Bangun, bangun, bangun! Lidya lantas menepuk pipinya dengan keras berulang kali. Berulang kali dia menampar pipi itu, berulang kali itu juga Lidya merasakan sakit yang sama, apalagi perih bekas tamparan Joseph tadi malam masih terasa sampai sekarang. Tidak mungkin, tidak mungkin ini nyata," lirih Lidya.

Sosok gelap itu lagi, mulai melayang terbang mendekatinya sekarang ini. Lidya langsung refleks menutup matanya rapat-rapat dan mebuat tameng pada dirinya dengan tangan yang disilangkan di atas kepala.

"HAHAHAHA." Suara bariton itu menggema di lorong lantai tiga. Gendang telinga Lidya menagkap masuk suara menyeramkan itu yang terasa seperti nyata saja.

"Ini nyata, Sayang. Aku ada di hadapanmu sekarang," bisik sosok itu di telinga Lidya.

Lidya menggeleng kuat-kuat. Dia masih meyakini bahwa ini hanyalah mimpi. Tangannya bergerak cepat menutup dua daun telinganya. Berharap dengan begitu bisa menyumbat suara sosok itu yang masuk.

"HAHAHAHA." Sosok itu lagi-lagi tertawa dengan sangat keras.

Lidya merasakan sosok itu terus menerus terbang mondar-mandir karena embusan anginnya bolak-balik menerbangkan rambutnya dari dua arah yang berbeda.

"Kau sudah mengenalku 'kan? Jadi tak perlu merasa takut dengan diriku lagi. Kita akan sering bertemu hingga kau berusia tujuh belas tahun, Sayang," ucapnya lagi.

Lydia menggeleng kuat-kuat dan mulai menangis. "Hikss. Aku tidak mengenalmu," parau Lidya.

Sosok itu tersenyum menyeringai seketika, merasa tak terima bahwa Lidya mengatakan hal seperti itu. "BUKA MATAMU!" bentaknya.

Lydia malah semakin menutup matanya rapat-rapat.

Namun, hanya dengan jentikkan jari saja, sosok itu tiba-tiba mengontrol tubuh Lydia sekarang ini. Kelopak mata Lydia yang tadinya tertutup seakan dipaksa terbuka dengan sendiri. Lydia berusaha melawan hal itu dengan sekuat tenaga, tapi matanya tetap terbuka dengan lebar pada akhirnya.

"Kau harus mengenalku, Sayang." Sosok itu membuka mulutnya hingga gigi-gigi runcingnya itu terlihat. Lidahnya seperti ular, pangkalnya terbelah dua dengan warna semerah darah. Lidya bisa membayangkan dengan jelas bagaimana besar mulutnya itu yang bahkan, mungkin bisa menelan seorang manusia dewasa dalam sekali lahap saja.

Lydia menangis sesegukan melihatnya. Dia ingin berlari sekarang juga tapi tak bisa. Dia ingin berteriak, tapi bibirnya terkatup rapat sekali.

Tubuhnya lagi-lagi dikontrol untuk berdiri sendiri.

"Kau ingin bertanya sesuatu tentangku? Atau kau ingin mengatakan apa padaku?" sosok itu menatap persis di bola mata Lydia.

Bibir Lidya dapat terbuka perlahan. "Ke ... na ... pa ... ha ... rus ... a ... ku?" gagapnya. Mulutnya susah untuk berbicara, dia seperti orang yang terkena stroke saja sekarang.

Sosok itu tersenyum lagi-lagi mendengar pertanyaan itu. "Karena apa? Sudah pasti, karena kau adalah keturunannya, Sayang. Kau, akan mati bersama dengan dia. HAHAHAHA."

Ketika sosok itu tertawa, perlahan tubuh Lidya dapat digerakkan kembali. Lydia mengambil kesempatan itu sebaik mungkin. Lantas, Lydia segera berlari dari sana dan berteriak dengan keras.

"Tolong!"

"Tolong aku!"

"Tolong!"

Lidya terus meminta tolong hingga dia berhasil keluar dari bangunan itu. Satpam yang tadi membukakan Lidya pagar berlari ke arah Lidya dengan cepat melihat Lidya sudah seperti habis kecurian saja.

"Kau kenapa, Nak?" Satpam itu menarik napas berulang kali, dia terlihat ngos-ngosan berlari.

Lidya menatap satpam itu sambil menangis. Dia menunjuk ke arah lantai tiga tempatnya tadi merasa hampir meregang nyawa akibat ulah sosok kegelapan itu. "Di sana ...." Sekarang, malah Lidya yang merasakan napasnya sangat sesak sekali.

"Di sana ada apa?" tanya satpam itu khawatir.

"Di sana, dia. Sosok itu," Lidya semakin sesak napas. Oksigen di sekitarnya seakan terserap habis begitu saja.

Satpam itu dengan sigap membawa Lidya ke pos. Dan menenangkan Lidya terlebih dahulu. Salah satu rekannya bertanya pada satpam itu. Namun, si satpam hanya memerintahkan rekannya itu untuk mengecek area lantai tiga saja saat ini. Takut, mungkin saja Lydia melihat pencuri di dalam sana hingga berlari ketakutan seperti ini.

"Minum dulu air ini." Satpam itu menyodorkan segelas air putih pada Lidya yang langsung disambutnya dan ditenggak hingga tanda tanpa sisa sama sekali.

Lidya mulai bisa bernapas dengan normal kembali.

"Apa yang kau lihat di sana, Nak. Ada siapa?" tanya satpam itu lagi ketika merasa Lidya sudah jauh lebih tenang saat ini. Sejujurnya, satpam itu khawatir bahwa dia lalai dalam bertugas hingga pencuri berhasil masuk ke bangunan sekolah. Kemungkinan terburuknya sekarang adalah barang-barang elektronik bisa saja diambil.

"Sosok hitam, bibirnya sangat panjang, dia tersenyum hingga kepalanya seperti terbalah dua," ungkap Lidya.

Satpam itu terlihat kaget dengan mata yang melotot, tapi bersikap kembali netral setelahnya. Jawaban Lydia menepis pikiran negatif tentang kecurian barang sekarang, malah menatap heran pada ungkapan tadi. "Apa kamu baru saja melihat sosok hantu?" tanya satpam itu hati-hati. Sekarang, yang ada di pikiran sang satpam hanyalah sosok makhluk astral penghuni sekolah yang banyak digosipkan selama ini.

Namun, Lidya menggeleng sebagai respon atas itu. Itu bukan hantu, sosok itu semakin lama semakin nyata dalam hidupnya. Yang mulanya hanya bunga tidur kini menjadi hal terburuk dalam hidupnya. "Dia nyata, ada di depanku. Ingin membunuhku saat itu." Tangan Lidya bergetar hebat ketika mengingat sosok itu lagi. Kepalan tangannya terlalu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Akhirnya, satpam itu memilih untuk tak bertanya lebih lanjut pada Lidya dan menenangkan Lidya lagi.

Tak berselang lama, rekan yang tadi disuruh mengecek lantai tiga kembali ke pos. "Tidak ada siapa-siapa di lantai tiga. Bahkan saya sudah mengecek di lantai satu dan dua. Belum ada siswa yang datang."

"Apa tidak ada jejak sama sekali?"

Rekan satpam itu menggeleng sebagai jawaban.

Satpam yang membantu Lidya alhasil memilih hanya memaklumi dan menyuruh rekannya itu diam saja, karena menurutnya yang Lidya lihat bukanlah sosok manusia kasat mata melainkan yang tak dapat dilihat mata.

Lidya hanya diizinkan masuk lagi oleh si satpam ketika nanti sudah banyak siswa-siswi yang datang.

...

Sekolah sudah mulai lumayan rame ketika jam menunjukkan pukul lima lewat empat puluh lima menit. Lidya memutuskan untuk kembali ke kelas. Sebelumnya, dia sempat memberitahu satpam bahwa dia sudah baik-baik saja. Walaupun dia tahu, dia akan menjadi orang pertama di dalam kelasnya, tapi setidaknya di tiap lantai sudah ada siswa-siswi berlalu lalang. Lagipula, Lydia merasa tak enak berlama-lama di pos satpam juga. Karena, setelah dia tenang dan memikir-mikir lagi tentang kejadian yang dia alami beberapa menit lalu, Lydia sadar bahwa dia sudah mengeluarkan pernyataan bodoh. Jaman sudah modern begini, mana mungkin orang percaya dengan apa yang dia katakan tadi. Apalagi, Lydia merasa penampilannya seperti orang bodoh saja ketika menangis. Dia membayangkan sedramatisir apa dia tadi ketika berlarian di lorong sekolah.

Kali ini, walau masih deg-degan, perasaan takut itu mulai terkikis ketika melewati tiap lantai dan lorong sekolah. Seperti dugaannya, walau tak rame sudah ada satu dua murid di tiap lantai yang dia lalui. Tak seperti tadi, hening dan kosong.

Lydia melihat seseorang yang hendak menuju ke lantai tiga juga. Daripada dia sendirian, Lidya mengambil langkah panjang-panjang mengikuti murid perempuan itu dari belakang. Arah kelas mereka sama-sama ke kiri, Lidya semakin merasa lega saja. Kelas lidya, berada pada deret ketiga dari tembok, sedangkan siswi perempuan yang dia bunuti tadi berada di kelas paling pojok.

Setelah sampai di depan pintu kelasnya, Lidya merasakan perasaan yang benar-benar lega. Dia melangkah masuk dengan perlahan. Namun, kelegaannya tak berhenti sampai di situ saja ketika dia melihat seseorang—mungkin temannya—sudah duduk rapi di dalam situ. Lidya tak tahu itu temannya atau bukan, sepertinya orang itu murid baru di kelas ini.

Lidya hanya tersenyum singkat ketika cowok itu menatapnya dan segera ke mejanya dan duduk dengan tenang juga. Lidya tak ada inisiatif sama sekali untuk sekedar menyapa ata mengajak kenalan orang itu saat ini.

Kelasnya mulai ramai ketika sudah hampir jam tujuh pagi. Namun, anehnya tak ada yang menghiraukan si murid baru. Mereka semua seperti sudah mengenal murid itu. Biasanya, tradisi unik di seluruh sekolah, mungkin, jika kedatangan murid baru mereka akan menyambutnya dengan antusias bahkan berlomba-lomba untuk berkenalan dan menjadi dekat dengan si murid baru. Lydia merasa dia tak mengalami amnesia atau benturan di kepala. Kenapa hidupnya semakin aneh saja. Ini bukan mimpi lagi 'kan? Lidya sudah bingung sekarang, menentukan mana yang mimpi atau bukan. Ketika, dia rasa itu nyata, ternyata semua yang dia lalui hanya mimpi. Namun, ketika dia berharap itu mimpi, mimpi itu malah menjadi hal yang nyata.

"Hoi!" Jovita datang mengagetkan Lidya yang masih melamun. Lidya sempat menoleh kaget, lalu mendengkus. Jovita terkekeh melihat itu.

"Fokus, jangan melamun terus." Lidya hanya mengangkat bahunya singkat.

Lidya lagi-lagi kembali mengingat tentang si murid baru. Bahkan, Jovita tak bereaksi apa-apa. Apa ada yang salah pada dirinya?

"Jov, gak kenalan sama murid baru di belakang? Biasanya kan kamu bakal heboh. Apa seleramu, tak seperti murid baru itu?" pancing Lidya.

Jovita menatap Lidya antusias. "Kenalan? Murid baru? Siapa? Apa dia tampan?"

Lidya mengangguk semangat. "Itu di belakang. Deret ketiga, baris kedua, dari arah kiri."

Jovita langsung menoleh ke arah yang Lidya maksud. "Hmm, murid baru? Apa kau tidak salah Lyd?"

Lidya mengangguk lagi, "Ya, tidak salah, dia murid baru 'kan?"

Jovita sedikit ragu menjawab, "apa Brian yang kau maksud?" Jovita menautkan alisnya heran.

Lidya melongo, membuka mulutnya lebar-lebar merasa terkejut bahwa Jovita sudah mengenalnya. "Brian? Kau sudah berkenalan dengannya?"

"Kita semua sudah mengenal Brian, Lyd," jawab Jovita.

"Dia bukan murid baru?" Kini Lydia yang merasa semakin dibuat bingung.

"Lydia, Brian teman sekelas kita bahkan dari kelas sepuluh? Apa kau mengalami lupa ingatan atau semacamnya?" Jovita merasa tak percaya Lydia bertanya tentang teman kelas mereka dari kelas sepuluh. Lidya, bertingkah aneh sekali dan Jovita merasa sedikit khawatir akan hal itu.

"Serius, aku baru melihatnya hari ini," jujur Lydia.

Jovita menggeleng tak percaya. "Apa kau baik-baik saja di rumha. Aku khawatir kau sering dipukul di kepalamu oleh ibumu itu."

Lidya sedikit berpikir. "Kalau dia memukulku, mungkin aku sudah keluar dari rumah itu sejak lama. Tapi, kali ini aku benar-benar baru melihatnya Jov. Demi Tuhan, aku tidak berbohong sama sekali."

Jovita seketika tertawa. "Hahaha, berhentilah bercanda." Jovita berusaha berpikir positif dan menganggap ini hanya candaan Lidya semata.

Lydia menunjukkan raut masam, dia mendengkus napas dengan kasar. "Ya sudahlah kalau kau tak percaya, mungkin saja aku memang amnesia. Aku rasa aku sudah gila sekarang."

Jovita mengabaikan itu, semenjak perjalan keduanya di taman bermain memang dia merasakan gerak-gerik Lydia semakin aneh. Apalagi, ketika Lydia tanpa sadar menangis dalam tidur. Jika mimpi yang dia alami seburuk itu, mengapa Lydia tak berserita saja pada dia. Apakah Lydia menyembunyikan suatu hal. Jovita hanya takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam keluarga Lydia. Ah, permasalahan temannya itu memang sangat rumit.

Semenjak pertemuan mereka di kelas sepuluh, Jovita sampai hapal berbagai makian Lydia pada ibu tirinya itu. Entah wanita ibli, wanita sialan, wanita gila, sampai yang tidak sopan di telinga juga sudah melekat pada pendengaran Jovia. Baginya, Lydia terlalu berani mengatakan hal itu pada ibu tirinya. Walau tak pernah bertemu dengan ibu Lidya, cerita-cerita yang Lidya lontarkan saja sudah menggambarkan bagaimana sosok itu di kepala Jovita. Ada rasa penasaran, tapi dia juga takut untuk bertemu. Bahkan, Lidya saja melarang Jovita untuk bermain ke rumahnya. Dan Jovita, memaklumi hal itu dengan baik.

Tak bisa Lidya percaya jika Brian adalah teman kelas mereka dari lama. Perasaan, Lydia bukan murid yang sependiam itu untuk tidak mengenal teman-teman kelasnya. Lydia termasuk ke dalam golongan murid yang normal di sekolah. Tidak hits tapi juga tidak culun, beberapa orang dari luar kelas juga bahkan dia kenal. Tidak mungkin teman kelas sendiri Lidya sampai lupa. Apa dunia sebentar lagi kiamat? Kenapa banyak sekali hal-hal gila terjadi pada dirinya.

Lydia berpikir keras untuk memecahkan masalah tentang mengapa dirinya menjadi aneh. Apa dia sedang menghayal atau berhalusinasi? Jangan-jangan murid itu masih berhubungan dengan sosok hitam yang tadi pagi menghampiri dirinya. Atau— "Akhhhh." Lydia menggerutu dan menjambak rambutnya dengan kuat. Setelahnya Lydia menjatuhkan kepala ke atas meja. Pokoknya, dengan cara apapun, Lydia harus menjauhi orANG BERNAMA Bria itu. Lydia harus waspada, bisa saja orang itu berubah menjadi sosok gelap itu. Lydia berpikir mungkin saja sosok itu kini tengah mengontrol pikiran semua teman-temannya agar merasa dia sudah ada di kelas ini sejak lama. Oh sungguh, dunia semakin menggila saja. Tak mungkin aku mati konyol di sini sekarang. Aku harus menghindar dari Brian apapun caranya.

Jovita yang berada di sampingnya terkejut dengan tingkah Lydia yang tiba-tiba berteriak dan menjambak rambutnya itu. "Lydia, kau semakin aneh tiap harinya, aku merasa prihatin dengan keadaanmu," gumam Jovita. Dia menggeleng sangat prihatin pada kondisi teman sebangkunya ini.

avataravatar
Next chapter