5 Meet Again

Satu hari di sekolah, Lydia benar-benar tak akan bisa fokus dalam pelajaran. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang terus terlintas di benaknya. Apakah dia mengalami halusinasi? Apakah dia juga amnesia? Dan banyak hal lain lagi, salah satunya adalah tentang ucapan sosok gelap itu yang masih jelas dalam ingatan Lydia bahwa dia adalah keturunan seseorang dan pantas mati. Maksud dari perkataannya itu apa, Lydia tak mengerti sama sekali. Keturunan seperti apa yang dimaksud, dia juga tak tahu. Apa dia memiliki keturunan indigo? Mungkin saja begitu. Tapi, masa iya yang dia lihat tadi pagi adalah sosok hantu sesuai kata satpam itu.

Apa aku sudah gila? Hanya kalimat tanya itu yang terus dia ulang-ulang dalam hati. Apalagi kedatangan Brian—yang Lidya tak tau asal usulnya—sangat mencurigakan.

Pulang sekolah, Lydia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Jarak rumah dan sekolahnya lumayan jauh sebenarnya. Tapi, daripada dia harus pulang terlalu cepat ke rumah, dia memutuskan untuk memperlambat waktu temu bersama Joseph dengan jalan kaki saja. Keuntungannya juga, Lidya bisa lebih sehat karena banyak bergerak.

Selama di perjalanan semua nampak baik-baik saja. Lalu lalang kendaraan motor dan mobil, transportasi-transportasi umum yang mengangkut penumpang, juga para pejalan kaki lainnya menemani pemandangan dalam perjalanan Lidya.

Lidya mengelap bulir keringat yang jatuh dari pelipis ke pipinya. Cuaca sangat tak menentu, kini terik matahari juga menjadi teman Lidya dalam perjalanan pulang kali ini. Namun, hal itu tak menyurutkan niatnya untuk naik transportasi. Dia tetap kekeuh untuk melanjutkan jalan kaki siang hari ini.

Di samping-samping jalan yang dia lewati, banyak pohon-pohon besar menghiasi. Seperti pohon kersen dan juga pohon ketapang. Pohon-pohon itu memiliki daun yang sangat banyak dan lebat. Setidaknya, itu membuat udara sedikit membaik karena banyaknya kendaraan. Juga membuat teduh pejalan kaki di panas terik begini. Lydia merasa terbantu dengan tanaman yang ada di sepanjang jalan.

Dengan langkah-langkah yang Lydia ambil, sesekali dia bersenandung pelan. Dia menyanyikan lagu seperti Yummy atau Memories milik penyanyi-penyanyi terkenal. Tanpa sadar juga Lydia bernyanyi sambil menjetikkan jarinya dan menggerakkan kepalanya naik turun. Lydia menikmati perjalanan kaki hari ini.

Memories bring back, memories bring back you~

Hingga Lydia menyenandungkan lirik terakhir dari lagu Memories semua masih nampak baik-baik saja. Ketika lirik terakhir itu dia tutup, secara bersamaan angin kencang berembus lagi-lagi. Daun-daun pepohonan seketika berjatuhan karena angin itu. Lydia terlonjak, pikirannya langsung melayang pada sebuah nama yang terus menghantui dia, dia berharap tidak akan bertemu sosok jubah hitam itu.

"Jangan, kumohon jangan lagi," rapal Lydia terus menerus. Kepalanya menoleh kesana kemari. Dia mencari keberadaan sosok itu.

Namun, dewi keberuntungan tak berpihak padanya. Bersamaan embusan angin itu, Lydia melihat asap hitam yang lagi-lagi bergumul membentuk wujud seseorang di depan matanya. Waktu seketika berhenti, semua orang yang tadinya berlalu lalang terdiam, begitupula kendaraan. Bahkan, detik sepertinya terhenti saat itu juga. Lydia menggeleng sekuat tenaga hanya bisa merapalkan harap lagi-lagi yang hanya akan jadi sia-sia.

Sosok itu tersenyum, senyum yang berkali-kali membuat bulu kuduk Lydia naik. Senyum menyeringai yang memunculkan wajah paling seram yang Lydia pernah lihat dalam hidupnya. Dia tak pernah melihat sosok seperti ini bahkan berada tepat di depannya hanya berjarak beberapa meter.

Tanpa aba-aba Lydia begegas untuk berlari dari sana. Lydia berlari seperti orang kesetanan, dia menabrak orang-orang di trotoar yang tak bergerak itu. Namun, Lydia tak memerdulikan hal itu, dia terus berlari tanpa henti. Lydia berlari sambil sesekali menoleh ke belakang, di mana sosok itu terus mengejarnya. Lagi-lagi, Lydia terlalu cemen dan takut. Tiap kali bertemu sosok itu dia terus mengeluarkan air matanya. Kini, pandangan Lidya memburam karena air menggenang di pelupuk matanya. "Jangan lagi, Tuhan kumohon," lirihnya.

"Aku takut, tolong jangan muncul di hadapanku!" teriak Lidya. Seketika tubuhnya terhenti. Badannya tak bisa digerakkan lagi. Sial! Sosok ini melumpuhkan gerakannya lagi. Lydia terdiam bak patung, seperti orang-orang yang lain tapi bedanya Lidya bisa melihat jelas dan bahkan bisa tetap menangis karena ulah sosok itu.

Lydia masih terus mengeluarkan air matanya, sosok itu tepat beberapa senti di hadapannya. "Sudah kubilang, kita akan sering bertemu, Sayang." Tangan dengan jari-jari hitam itu membelai lembut pipi Lydia. "Aku terlalu senang bermain denganmu, hingga tanpa sadar aku terus-menerus menemuimu. Kau sangat lucu, ketika ketakutan," ujarnya.

"Aku suka melihat ekspresimu yang seperti ini. Kau seperti anak kecil yang hilang."

Gigi-gigi Lydia bergemelatuk. Tangan Lidya terasa basah. Bulir air keringat lagi-lagi mengalir ke pipinya. Muka Lidya sembab dan sangat merah. Dia benar bahwa Lidya sekarang sangat ketakutan dan persis seperti seorang anak yang baru saja kehilangan orangtuanya di sebuah tempat yang sangat ramai.

"Kau sangat manis seperti ini, aku suka melihatnya. Baiklah permainan hari ini selesai," lanjut sosok itu. Lidya sudah akan bernapas lega ketika tubuhnya terasa bebas dan bisa digerakkan, tapi dugaan Lidya salah karena yang terjadi sosok itu tak menghilang begitu saja. Tanah yang Lidya pijaki lagi-lagi ambruk seketika. Lidya tanpa persiapan terjatuh masuk ke dalam lubang yang tercipta dari retakan itu. Rohnya terasa seperti keluar dari dalam tubuh, kecepatan jatuhnya terhitung amat sangat cepat.

Namun, bukannya dia terjatuh hingga menyentuh bidang datar lagi, kini Lidya merasa melayang dalam sebuah dimensi. Kalau bisa diberi gambaran, ini persis seperti dalam permainan tiga dimensi yang membuat tipuan mata. Di dalam situ, lagi-lagi terjadi hal yang sama, Lydia melihat wanita dalam bola api yang masih terus merintih. Bedanya, sekarang Lidya merasakan kesakitan yang dirasakan wanita itu, air mata ketakutan yang dia keluarkan tadi berganti menjadi air mata penuh kasihan. "Aku akan menolongmu," ucap Lidya tanpa sadar. Tangannya berusaha untuk menggapai wanita di sana.

"Aku janji akan menolongmu," ulang Lidya lagi.

Tubuhnya langsung tersedot ke dalam sebuah black hole. Kali ini, suara sosok itu memenuhi kepalanya.

'Kau akan mati dan terkurung seperti wanita itu.'

Lidya berusaha melawan suara itu sekuat tenaga. Hingga rasanya energinya seperti disedot habis-habisan, lalu semuanya seketika hitam. Lydia tak sadarkan diri.

Bruk!

Lidya terbangun di atas kasur dalam kamarnya. Lidya kaget mendengar suara benturan itu. Ketika menoleh, dia melihat Joseph yang sedang mengangkat tumpukan buku-buku di atas meja belajarnya yang sedang dirapikan. Lidya memperhatikan itu tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Tadi, Joseph sepertinya tak sengaja menjatuhkan buku milik Lidya.

Syukurlah semuanya hanya mimpi lagi, batin Lidya.

Selesai merapikan buku-buku milik Lidya, Joseph hendak mengisi ulang botol air minum yang sudah kosong di sana. Saat Joseph berbalik hendak keluar, Lidya buru-buru menutup kembali matanya. Dirinya dengan sengaja ingin menghindari pembicaraan dengan Ayahnya.

Joseph kembali setelah mengisi ulang air dalam botol minum dan membawa handuk juga wadah lain yang juga berisi air. Joseph mengambil duduk di sebelah Lidya dan dengan telaten membasuh wajah Lidya dengan handuk yang dia basahkan itu pada wadah. Dirinya mengelap seluruh wajah hingga tangan Lidya. Tak lama, Joseph berencana hendak memanggil Maria untuk mengganti baju anaknya itu karena merasa Lydia tak akan sadar dalam waktu dekat. Walau, Lydia adalah anaknya, Joseph menghargai privasi Lydia, apalagi, anaknya bukan gadis kecil lagi. Lidya sudah menjadi gadis remaja yang hampir berusia tujuh belas tahun sekarang.

Apa yang terjadi? Kenapa Ayah memperlakukanku seperti orang sakit begini? Kenapa Ayah tak membangunkanku saja, pikir Lidya.

avataravatar
Next chapter