10 Dia tahu mimpiku

Dua hari sudah Lydia tak masuk sekolah, hari ketiga dia sudah merasa tubuhnya kembali fit. Lidya datang ketika kelasnya sudah ramai tak seperti waktu itu. Lydia duduk ke bangkunya tapi Jovita belum terlihat di sana.

"Hey Lydia, kau sudah sembuh?" tanya teman di depan bangku Lydia.

Lidya tersenyum. "Ya, sudah lebih baik."

"Jovita hampir seperti anak hilang ketika kau tak masuk. Syukurlah hari ini kau sudah kembali," ucap orang itu lagi.

Lidya terkekeh. "Dia memang anak hilang sepertinya." Panjang umur, Jovita muncul dari depan pintu kelas.

Lidya yang melihatnya langsung tersenyum lebar. "Halo, anak hilang?" ujar Lidya saat Jovita berlari ke arahnya.

Yang tadinya senyum, Jovita langsung mengubahnya menjadi cemberut. "Aku tebak kau pura – pura sakit kemarin," tukasnya.

Lidya terkekeh. "Bagaimana kau tahu?" jawab Lidya menanggapi pertanyaan main – main itu.

"Aku melihatmu pergi ke mall dan jalan – jalan seharian penuh."

"Ya, begitulah, aku hampir muak ke sekolah,"balas Lydia.

Jovita langsung mengutik jidat Lydia. "Gadis aneh," ujarnya lalu tertawa.

Lidya tidak mengaduh tapi ikut tertawa bersama Jovita.

Kemudian keduanya duduk, dan bergantian cerita selama dua hari Lydia tak masuk sekolah. Lydia bercerita tentang rasa bosannya seharian di kamar, sedangkan Jovita benar – benar seperti anak hilang saat tidak ada Lidya.

Asyik bercerita hingga guru yang mengajar akhirnya masuk ke kelas.

"Kau masih terlihat pucat," bisik Jovita.

"Ke UKS?" tawarnya. Lydia tahu maksud Jovita seperti apa. Malas, berhadapan dengan pelajaran sejarah membuat Jovta ingin melarikan diri saja dari kelas sekarang. Sebenarnya, Lydia juga merasakan hal yang sama, tapi semakin tidak belajar, malah semakin bodoh saja nanti. Jadi, lebih baik bertahan dalam kelas walau sangat membosankan. Lagian, ini tidak sebanding dengan diamnya Lydia selama dua hari di kamar.

"Aku baik – baik saja," jawab Lydia. Dia terkikik.

Jovita mendesah kecewa.

Pelajaran berlangsung seperti biasanya, guru sejarah mereka hanya bercerita saja. Sebenarnya, ceritanya akan menarik jika mereka diajak diskusi. Namun, guru sejarah ini lebih suka fokus membaca sebuah cerita sejarah dari awal hingga akhir. Mereka hanya perlu diam dan mendengarkan saja. Kalau ada yang bersuara, mereka akan langsung dikeluarkan dari kelas. Apalagi, ada yang memotong pembicaraannya dengan izin ke toilet. Agaknya, sedikit aneh tapi yasudah, asalkan nilai mereka tetap lancar Lydia tak mau terlalu pusing.

Masih fokus mendengarkan, sekilas Lidya melihat bayangan – bayangan hitam lewat dari ujung bola matanya. Lidya menoleh ke arah kiri, kemudian kembali menoleh ke depan. Itu berulang terus selama tiga kali. Sampai tiba – tiba Lydia sadar sudah tidak mendengar suara guru sejarahnya bercerita lagi. Secara bersamaan, angin berembus dengan kencangnya. Lidya menoleh ke setiap penjuru kelas. Semuanya lagi-lagi tak bergerak.

Bayangan gelap itu sepertinya muncul lagi kali ini. Apakah, hidup Lydia tak bisa tenang saja selama satu hari. Dia bahkan baru masuk sekolah lagi, kenapa bayangan itu muncul di hadapannya lagi. Lidya langsung teringat Brian, jika dia adalah dalangnya, dia pasti sudah berubah menjadi sosok itu sekarang.

Lidya berbalik, menatap tempat duduk Brian di belakangnya. "Sial, itu benar-benar dia."

Brian tak ada di sana. Hanya bangku kosong yang Lidya temukan. Tiba-tiba, gema suara bariton itu memenuhi liang pendengarannya. "HAHAHAHAHA."

"Pergi dari sini!" teriak Lidya. "Kau monster!" Lidya mengumpulkan semua keberaniannya untuk mengatakan hal itu.

Sosok itu semakin tertawa lebar mendengar apa yang Lidya lontarkan. "Sepertinya, kau sudah mulai berani padaku, gadis manis."

Lidya jadi terbayang mimpinya beberapa hari lalu, dimana dia melihat sosok yang sama mengayunkan tombak pada dirinya yang terbaring tak berdaya. Lidya jadi mengingat betapa banyak mayat yang berhamburan di negeri yang Lydia tak ketahui namanya tergeletak dengan darah segar yang masih mengalir.

Lidya ketakutan. Sosok ini benar-benar akan membunuhnya sepertinya. Lidya tak tahu caranya melarikan diri dari sosok ini, Lidya tak tahu caranya untuk bebas dari semua mimpi buruk belakangan itu. Andai saja, Lydia tak tidur malam itu, mungkin dia tak akan diteror sosok hitam sampai detik ini. Lydia masih tak mengerti, mengapa harus dirinya yang menjadi incaran sosok buruk rupa begini.

"Aku tak takut padamu." Berbanding terbalik dengan ucapannya, suara Lidya malah gemetar. Sangat terlihat jelas bahwa Lidya ketakutan. Dia hanya mencoba peruntungan untuk memberanikan diri pada sosok di hadapannya.

Sosok itu menyengir. "Mari buktikan ucapanmu," tantangnya.

Dengan gerakan cepat, sosok hitam itu melintas ke arah luar bangunan. Lidya melihatnya seperti asap yang terkumpul, melayang di depan sana.

Langit seketika berubah dalam sekejap menjadi gelap seperti mendung, awan hitam mendominasi dan suara petir mulai bergemuruh. Sosok itu lagi – lagi menyunggingkan senyumnya. Dia mendongak ke langit dan seketika petir itu menyambar ke dalam ruang kelas Lidya.

Ctarrr!

Lidya terlonjak dari tempatnya, dia mengaduh ketika punggungnya tak sengaja menubruk meja.

Ctarrr!

Petir kedua tepat di depan matanya. Lidya melotot tak percaya dengan apa yang di hadapannya itu, dia bisa saja mati karena petir sialan itu.

"Masih tidak takut padaku?!" teriak sosok itu.

Lidya menoleh. "Tidak, aku tidak akan takut padamu." Berucap begitu, petir ketiga menyusul masuk.

Ctarrr!

"Aku tidak mau mati karenamu!" sentak Lidya, sekuat apapun dia, dia tetap menangis pada akhirnya. Kekuatan miliknya tak akan sebanding dengan yang dimiliki sosok itu. Lidya terisak, "Hikss, hikkss, aku tidak akan mati karenamu. Kau yang akan musnah dari hidupku."

Sosok itu melayang tepat di hadapan Lidya, hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. "Aku suka melihat kau menangis," bisiknya.

Lidya langsung menghentikan tangisnya dan menatap nyalang ke arah sosok itu.

"Sudah seharusnya kau takut padaku, kau tak memiliki bekal apa – apa untuk bisa mengalahkanku." Sosok hitam itu terbang melintas menembus Lidya.

Lidya menoleh memperhatikan gerak – gerik dari sosok itu. Dengan gerakan lambat, Lidya bergerak ke arah pintu depan kelasnya. Sosok itu masih sibuk memutari kelasnya sambil tersenyum. Sudah mencapai pintu kelas, sosok itu ternyata menyadari apa yang Lydia lakukan.

"Kau tak bisa lari lagi dariku!" bentak sosok itu. Dia menutup semua akses keluar bahkan menutup jendela juga rapat – rapat. Saat sosok itu terbang ke arah Lidya, dengan gerakan cepat Lydia mengambil apar dekat pintu dan menyemprotkannya pada sosok itu. Berhasil! Setidaknya Lidya bisa melakukan perlawanan pada sosok itu. Kini, penglihatannya tertutup, dan membuatnya terbang tak tentu arah. Lidya tersenyum menang.

Namun, tak berselang lama, amarah sosok itu memuncak. "KAU!" sosok itu menunjuk Lidya dengan kuku – kukunya yang hitam. Tangannya terbuka membentuk capit. Dia arahkan pada Lidya, dari jarak yang cukup jauh.

Perlahan, Lidya merasa dirinya terangkat naik. Oksigen yang tadinya bebas dia hirup langsung terasa kosong. Leherya seperti tercekik dengan sangat kuat, sosok itu mengangkatnya naik dari pijakan lantai kelas.

Lidya memegang lehernya sendiri, dia kesulitan bernapas sekarang. Pasokan oksigen dalam tubuhnya semakin menipis, mukanya sudah pucat. Darah seakan berhenti dari tubuhnya.

"Akhh ... akhhh," lirih Lidya. dia mencoba untuk memberontak. Sedangkan, sosok ini malah tersenyum melihat penderitaan yang dia alami.

Entah muncul darimana, sosok itu mengeluarkan sebuah tongkat berujung besi yang sangat lancip. Lidya sontak mengingat mimpinya lagi – lagi, mimpi saat dia dibunuh oleh sosok yang sama seperti di hadapannya kini.

Brak!

Sosok itu menjatuhkan Lidya setelah mengangkatnya lumayan tinggi.

"Huhh ... huhh ... huhh ...." Lidya mengambil pasokan udaran banyak – banyak. Tidak dia hampir saja mati tadi.

Sosok itu terbang mendekat dengannya, dia mengunci pergerakan Lidya. Sebelum itu, dia tersenyum pada Lydia. Sembari tersenyum, sosok itu mengangkat tongkat yang dipegangnya. Kepala Lydia bergerak mengarah ke atas, mulutnya terbuka lebar. Tepat di atas mulutnya, tongkat itu berdiri tegak dengan ujung yang hanya berjarak beberap senti saja.

Lydia menangis, dia tidak ingin mati konyol seperti ini. Air mata itu mulai merembes keluar dan jatuh ke lantai. Sekuat tenaga, Lydia berusaha melawan kontrol tubuhnya. Sosok hanya bisa tersenyum menang.

Dengan gerakan cepat, tongkat itu menembus tubuhnya.

"AAAA!"

"Lydia!" Jovita menepuk punggung Lydia kuat �� kuat.

Lydia tersentak ketika menyadari bahwa ternyata dia hanya mimpi rupanya. Dia tak bisa membedakannya mimpi dan kenyataan sekarang. Dia tertidur ketika jam pelajaran sejarah, seprtinya.

Tapi—

Lydia menoleh ke depan, guru sejarahnya menurunkan sedikit kacamata sampai ke hidung dan melihat Lydia dengan tatapan ... sangat marah.

Begitupula, teman – temannya yang melihatnya penasaran. Kini, dia menjadi atensi satu ruangan itu.

"Namamu siapa?" tanya guru sejarah itu padanya.

Lydia menggaruk tengkuknya, merasa sedikit takut. Matilah dia, jika tak dibolehkan masuk jam sejarah. "Lydia Wilson, Pak," jawab Lydia.

"Kenapa tidur di jam pelajaran saya?"

Lydia sebisa mungkin memutar otaknya sebelum menjawab pertanyaan dari guru itu. "Maaf, Pak. Tadi saya merasa sedikit pusing, niat saya memejamkan mata sebentar tapi sepertinya tanpa sadar malah ketiduran."

Guru itu semakin menurunkan kacamatanya, dan menatap Lydia lekat – lekat. Dia berdiri dari tempat duduknya, dan menghampiri bangku Lydia. Semua sudah harap – harap cemas, mereka sudah tahu apa yang akan dilakukan guru itu pada Lydia sepertinya. Tak hanya tangan kosong yang menghampiri Lidya, namun penggaris kayu panjang itu setia menemani Sang guru sekarang.

Brak!

Pukulan penggaris di meja Lidya membuatnya terloncat. Jantung Lidya berdebar dengan sangat kencang. Jovita pun merasakan hal yang sama karena duduk berdampingan dengan Lydia.

"Kenapa kau tidak pergi saja dari tadi kalau merasa tak enak badan daripada menganggu pelajaran saya hari ini!" bentak guru itu.

"Tapi, Pak ...."

"Jangan membantah!"

Nyali Lidya langsung kicep.

"Kau, cepat keluar dari jam pelajaran saya! Segera menghadap guru BK sekarang. Kau perlu diajari sopan santun terhadap guru, jangan tidur di saat jam pelajaran dimulai. Minta hukumanmu di sana, dan jangan masuk kelas saya lagi selanjutnya," ucap guru itu.

Lidya merasa sambaran petir yang lebih nyata sekarang daripada yang tadi dia mimpikan.

"Cepat keluar! Tunggu apalagi."

Lidya langsung berdiri dan beranjak dari tempatnya sekarang.

Coba saja tadi dia mengikuti saran Jovita untuk bolos di jam sejarah kali ini, mungkin dia akan sangat aman sekarang. Lidya menyesal, mengatakan bahwa dia ingin belajar hari ini. Tubuhnya saja yang sudah sehat, tapi pikirannya masih melantur kemana – mana. Pikirannya yang sepertinya butuh istirahat harusnya.

Sebelum keluar, Lidya sempat melihat ke arah Brian dahulu, Brian juga memperhatikannya sedari tadi sebenarnya. Lidya tersenyum sinis pada Brian, dia semakin yakin Brian adalah dalangnya. Entah, dengan ilmu apa tapi Lidya merasa Brian itu memiliki aura yang berbeda. Jadi, Lidya menyimpulkannya dari situ.

Sedangkan, Brian menatap Lidya datar. Dia tahu apa yang terjadi pada Lidya tadi. Brian bisa melihat jelas gerak – gerik anehnya dan juga tau apa yang Lydia lihat tadi sebenarnya nyata bukan mimpi belaka.

avataravatar
Next chapter