webnovel

Satu Lembar, Terakhir.

ㅤㅤSemesta bahkan tahu, kamu hanya prolog yang memulai konflik tanpa ujung, kemudian pergi tanpa melampirkan epilog.

ㅤㅤAngkasa tahu, aku tidak akan pernah bisa menjadi objek dengan kamu subjeknya. Kamu adalah kalimat positif yang bertolakan dengan negatif. Kamu aktif, dan aku pasifnya.

ㅤㅤSeisi bumi cukup mengerti, cerita tentang kita hanya akan menjadi tulisan mati yang perlahan terlupakan. Berbeda dengan rencanaku yang ingin mengabadikan.

ㅤㅤUntuk orang yang dulu sempat kusebut bumi rumah karena kamulah tempatku menyeduh lelah, Adiel.

ㅤㅤGravitasimu terlalu kuat hingga aku terjatuh tanpa sadar dan bangun tanpa kemampuan.

ㅤㅤSeperti kutub utara yang bertemu selatannya, kubiarkan tanganmu menggenggam hangat jemariku, berharap apa yang selama ini hanya kuangankan, bersamamu bisa menjadi kenyataan.

ㅤㅤAku baru sadar, berangan itu mudah, sama dengan menjatuhkan angan itu sendiri.

ㅤㅤSeperti hukum alam yang semestinya sepadan, aku terlalu berharap banyak, sampai-sampai, kecewaku lebih banyak.

ㅤㅤAku salah telah mengira kamu rumah dan titik temu segala perasaan yang mengguncang. Sedih, suka, senang, duka, marah, kupikir semuanya luruh karenamu. Kupikir semuanya melunak karena sudah bertemu dengan obatnya.

✰✰✰

Uniwersytet Warszawski, 14 maja 2019 r.

ㅤㅤAdiel, percaya tidak kalau sampai detik ini, sudah hampir satu setengah tahun aku berkuliah di sini?

ㅤㅤPercaya tidak, kalau itu sama dengan satu tahun tanpa ada kamu?

ㅤㅤPercaya tidak, kalau pergantian hari yang kulalui selama ini, tidak pernah satu pun yang berkesan sampai mampu membuatku berpikir untuk meminta agar ia tidak terlalu cepat membalik kalender.

ㅤㅤMungkin, kamu percaya. Tapi, aku?

ㅤㅤAdiel, pasti kabarmu baik, kan? Aku cukup yakin karena meski kosong, hatiku selalu tenteram. Seolah hanya dengan nama, tanpa wajah bahkan senyum yang kulihat untuk memastikan keadaanmu, kamu sangat baik di sana.

ㅤㅤBagaimana dengan rumah dan teman baru? Harusnya dari dulu aku sadar kalau kamu itu memang gemar berpindah-pindah. Harusnya aku sadar bahwa tempat tinggalmu bukan di sini.

ㅤㅤHarusnya akupun sadar, bahwa rumahmu, bukan aku.

ㅤㅤKalau bukan aku, lantas siapa? Bodohnya, aku bahkan pernah mempertanyakan itu dalam benakku. Tak cukup sekali, berkali-kali.

ㅤㅤHampir setiap hari, aku selalu menyempatkan diri untuk sekadar lewat di depan rumah lamamu yang baru saja berganti penghuni minggu lalu.

ㅤㅤAku juga ke supermarket, tempat kita bertemu ketika ada perampokan dan kamu datang dengan pakaian setengah basah sehabis mencuci mobil.

ㅤㅤKota Tua, Alun-alun Kota, Miau Cafè, dan sebuah tempat yang alamatnya sempat kamu tulis di atas kertas, yang belum sempat kita datangi, yang mungkin sebaiknya tidak pernah kudatangi jika bukan denganmu.

ㅤㅤAku sudah pernah datang ke sana, bahkan berkali-kali.

ㅤㅤWaktu itu, kamu sedang merencanakan apa, sih?

ㅤㅤKamu marah ya, karena aku menolak untuk ke sana waktu itu?

ㅤㅤItu salam perpisahan, kan?

ㅤㅤKalau seandainya kita benar-benar datang ke sana, lalu aku menahanmu untuk tidak pergi, apa cerita kita akan lain jadinya?

ㅤㅤKamu pasti masih di sini, kan? Di cafetaria, segelas americano, bersama cerita-cerita yang kamu bisikkan, tentang apa yang terjadi selama kelas berlangsung.

ㅤㅤKamu pasti tetap di sini, datang ke rumah dan mengobrol dengan Mama, mengajakku bermain dengan Dina, berjalan-jalan di Alun-alun Kota setiap akhir minggu, menonton parade, dan tentunya, di sini. Di kursi depan gerbang kampus yang biasa kita duduki ketika matahari sore masih menyorot hangat, menunggu detik-detiknya untuk tenggelam di ufuk barat ketemaraman.

ㅤㅤKalau kamu di sini, buku ini tidak akan pernah ada, Adiel.

✰✰✰

"Ra, ngapain?"

Suara itu seolah menggertak Adira hingga dia spontan menutup buku di tangannya. Senyum kakunya tercipta, lalu menggeleng. "Bukan apa-apa, cuma catatan tadi waktu di kampus,"

"Hei, jangan bohong, ya. Kelihatan banget mukanya lagi sembunyiin sesuatu."

Adira menggeleng lagi, mencoba melunakkan senyumannya meski sedikit sulit pada awalnya. Memang, usaha paling berat dalam hidupnya adalah ketika berbohong seperti ini. Apalagi kepada pria di depannya.

"Catatan apa, sih?" Ditariknya buku itu dari tangan Adira secara paksa, dia kelimpungan. "Nggak mungkin catatan biasa karena tadi aku lihat kamu fokus banget bacanya."

"Kamu kalau udah selesai baca telepon aku, ya. Aku mau cari angin dulu di luar," kata Adira buru-buru. Tanpa melakukan apa pun lagi, dia segera berlari keluar dari café tempat mereka berada.

"Jangan jauh-jauh!"

Adira melambaikan tangannya tanpa berhenti, tanda ia dengar dan mengerti.

Setelah punggung gadisnya benar-benar tidak tertangkap netra, pria itu memperbaiki duduknya, mencari posisi paling nyaman untuk membaca buku yang padahal dia sendiri tidak tahu isinya.

Jika ternyata yang dikatakan Adira benar tentang isi buku ini hanyalah catatan biasa sewaktu di kampus tadi, dia akan menomorduakan rasa penasarannya terhadap Adira setelah ini.

Namun, firasatnya merasa ada hal cukup besar yang perlu dia tahu di dalam buku berukuran kecil itu. Ukuran yang bahkan cukup untuk dimasukkan ke dalam saku celana.

Buku bersampul hitam polkadot putih dengan pita sebagai pengikatnya.

"Dilarang membaca bagi yang bernama Adiel."

Begitulah tulisan yang ia temukan pertama kali saat membuka lembar pertama. Jemarinya bergerak membalik kertas kedua, kosong. Hanya berisi sebuah tanggal yang tidak diketahui apa maksudnya.

Halaman berikutnya, coretan tinta Adira mulai tercipta. Puisi, pesan singkat, hingga ungkapan hatinya tertulis jelas di sana. Gadis itu bukan tipikal orang pemendam yang lebih suka mencurahkan isi perasaannya ke dalam buku. Adira lebih suka bercerita secara langsung.

Setelah membolak-balik hingga ke pertengahan buku, sebuah tulisan menarik perhatiannya.

Minggu pertama, yang kutahu akan sama seperti sebelumnya.

Aku hafal betul bagaimana kegiatanku, bahkan di akhir pekan. Tidak lagi ada parade yang kutonton, tidak lagi ada kucing-kucing yang kutemui di café sepulang dari kampus.

Tidak lagi ada Adiel yang membawaku kemana pun aku ingin.

Adiel tidak pernah berjanji untuk selalu ada, maka aku memang telah salah mengambil makna. Dia menjaga, ada, dan sumber bahagia. Hingga aku lupa akan satu kata, 'rumah'.

Hari demi hari yang kami lalui, baik suka maupun duka, membuatku tanpa sadar telah mendirikan sebuah tempat yang tak lagi jadi persinggahan. Tempat menetap yang kusebut dengan rumah, dan dia adalah tempat itu.

Aku terlalu lelap dalam tinggalku. Semesta tahu, tidak ada pengait kuat yang mampu menahan rumahku, agar tetap pada tempatnya. Semudah itu kemudian dia lepas, pergi, perasaanku mati.

Bukan cuma rumah yang sebenarnya hanyalah halte tempatku duduk dan menunggu, semuanya lenyap. Hampa, kosong melompong tak berisi.

Aku memutuskan untuk tinggal di tengah padang rumput luas, tanpa satu rumah pun, yang kuyakini hanya akan mengulang masa lara itu. masa yang paling kuharapkan untuk tidak pernah ada di catatan setiap napasku.

Untuk Adiel, yang selama ini dan sampai kapanpun kutunggu kepulangannya.

Untuk Adiel, yang bahkan aku sendiri tidak tahu raganya di mana. Apakah perasaannya masih sama, apakah ada puan baru di sisinya, menggantikanku yang sangat jauh dari kata sempurna.

Adiel Azka Aldric, laki-laki kedua yang sangat membahagiakan sekaligus mengecewakan, berat rasanya aku meyakinkan diriku sendiri untuk ini.

Berat untuk melepasmu, berat untuk sedetikpun tidak merapal namamu dalam nadiku.

Berat, namun harus.

Kuharap jangan pernah kembali. Bawa perasaanku pergi, seiring kubiarkan hatiku mati tak berisi.

✰✰✰

Hanya butuh beberapa menit untuk menyelesaikan tulisan itu, bertepatan dengan Adira yang baru saja kembali dari luar, wajahnya begitu cemas. Seolah hal buruk akan segera terjadi sebentar lagi.

Pria di depannya tergelak pelan, beranjak dari duduk untuk menghampiri gadisnya. "Kamu kenapa cemas banget, sih?" tanyanya, menyelipkan seuntai rambut ke belakang daun telinga Adira.

Gadis itu masih belum bersuara, hanya menatap lurus ke arah figur yang kini menyejajarkan wajah mereka. Satu tiupan kecil menyapu bulu mata Adira, membuatnya spontan berkedip. "Ih, kamu ngapain tiup-tiup muka aku?!"

Pipi gadis itu bersemu merah, bahkan hanya dengan senyum tipis yang lelakinya ukir di sudut bibirnya.

"Ditanyain dari tadi kok gak dijawab. Kamu kenapa cemas begitu lihat aku baca bukunya?"

Adira menghela napasnya. "Aku takut kamu sakit hati dengan isinya, Aditya."

"Kenapa aku harus sakit hati?"

"Hah?" Adira kebingungan.

Lelaki itu, Aditya, menarik tangan gadisnya untuk kembali duduk di tempat semula. Mereka saling berhadapan, dengan jemari yang tetap bertautan.

Aditya menatapnya, penuh kasih sayang kelembutan. "Kenapa aku harus sakit hati kalau itu emang benar-benar isi dari perasaan kamu, Adira. Aku bahkan nggak berhak buat marah atau cemburu."

"... tapi, kamu 'kan pacarku,"

"Dia lebih dulu jadi alasan kamu bahagia selama dua tahun ini," jawab Aditya.

"Kamu lebih dulu, Dit."

"Tapi aku kecewain kamu, lalu dia datang. Aku nggak lagi pantas disebut dengan itu, karena aku cuma bisa nyakitin kamu... waktu itu."

Aditya mempererat genggaman tangannya. "Sesayang itu kamu sama dia, dan aku sama sekali gak marah. Aku bahkan akan sangat berterimakasih karena dia udah jagain malaikat manisku selama di Polandia, selama itu juga aku gak ada di dekat kamu."

Adira terdiam penuh bisu.

"Dia obat kamu, kan? Dia obat yang bisa menyembuhkan sakitnya kamu ketika aku ngecewain kamu dulu. Bahkan, seharusnya aku nggak di sini, Ra. Seharusnya bukan aku yang genggam tangan kamu sekarang. Karena aku gak cukup pantas buat kembali setelah tahu sesakit apa kamu karena aku."

Napas Adira tercekat menyadari Aditya menangis, air mata laki-laki itu dengan jelas mengalir di sudut pipinya, matanya memerah. Dengan cepat dia menarik tangannya, mengusap wajah Aditya.

Keduanya menangis dalam.

Aditya Hartadi, yang akhirnya kembali setelah menyakiti, yang memberi pelukan setelah meninggalkan.

Next chapter