webnovel

Kesendirian

Semua yang ku lewati terasa percuma. Lebih tepatnya sebatas buang-buang waktu tak penting. Hari-hari yang ku lewati tak ada bedanya dengan hari-hari sebelumnya. Selama 4630 tahun aku telah mengarungi alam semesta dengan kereta matahari ku yang maha agung. Selama itu pula sangat banyak hal-hal telah ku lalui. Beberapa diantaranya tidak lah penting, yaitu perang, wabah besar yang membumi hanguskan setengah populasi manusia, perang, kemajuan peradaban. Semua itu tak bisa dikendalikan bahkan oleh dewa sekali pun. Manusia lah yang membuat itu semua tetap berjalan, dalam artian seperti roda gerigi di dalam sebuah mesin. Kesinambungan itu lah yang menggerakan alam semesta.

Selama ribuan tahun pula aku telah melihat perubahan karakteristik manusia. Dari mulai tak beradab, menjijikan dan hanya kenal perang lalu merampas jarahan lawan, kini makhluk fana itu telah berubah menjadi sedikit lebih baik dari sebelumnya. Well, meski masih banyak kecacatan di sana-sini, tapi tentu saja lebih baik jika dibandingkan pada jaman terdahulu.

Sayangnya, sampai detik ini pun aku sama sekali tak bisa menemukan keberadaannya.

Seseorang yang teramat ku cintai sampai rasanya seluruh tubuhku seakan terikat rantai panas setiap memikirkannya. Manusia fana yang mampu menggetarkan setiap inci tubuhku. Membuat hidupku jauh lebih indah dan tak membosankan. Setiap detik yang ku lalui bersama dengannya pasti terasa menyenangkan. Dia lah manusia fana yang mampu membuatku duduk sambil terkagum-kagum saat melihatnya bermain lempar cakram. Senyuman cemerlang kala menatapku tak akan pernah ku lupakan.

Manusia fana itu mampu membuat dewa sepertiku hilang akal. Mungkin ini terdengar gila, Dewa dapat jatuh cinta dengan manusia. Tapi itu memang benar terjadi. Dan mungkin, aku satu-satunya Dewa yang begitu terbawa perasaan sampai-sampai tak bisa melupakan cintanya yang telah tumbang hingga ke masa sekarang.

Ribuan tahun telah ku lewati dengan menjalankan tugas sebagai Dewa matahari, membawa kereta berlapis emasku mengitari galaxy, sembari tetap berharap jika di satu waktu diriku dapat menemukan kekasih ku lagi. Meski nalarku mengatakan tak akan mungkin orang itu dapat berenkarnasi kembali. Tahu apa? Karena aku lah yang mengubahnya menjadi tumbuhan.

Hyacintus. Bunga berwarna keunguan itu ku tanam di dekat altar Dewa ku. Aromanya yang khas menyambutku setiap kali aku pulang dari dinas mengitari alam semesta. Seakan berkata 'Selamat datang, aku merindukanmu'. Pada saat-saat itu ku habiskan untuk merenung sambil meneguk nektar.

Naas nian nasib ku sebagai Dewa. Tak seperti Dewa-Dewi lainnya, mereka memiliki suami atau istri yang menemani mereka setiap hari. Meskipun kebanyakan dari mereka terpaksa, atau dalam pengaruh sihir, itu tidak lah penting karena setidaknya mereka bersama.

Sementara aku masih membujang —Dewa adalah makhluk suci yang tak mungkin kehilangan keperjakaannya atau pun keperawanannya, sekalipun mereka memiliki keturunan- hidup sendirian di dalam istana Matahariku yang megah. Hanya di temani pot bunga Hyacintus.

Meski sangat ingin, aku tetap tak bisa memutar kembali waktu yang telah terlewat. Menjadi Dewa bukan berarti kau mampu mengendalikan dunia sepenuhnya. Ada sangat banyak partikel kuat yang dapat bergerak sendiri, termasuk waktu. Aku tak memiliki wewenang atas waktu, pun Dewa-Dewi yang lain.

Gerbang emas terbuka secara otomatis, mempersilakanku sebagai pemilik rumah untuk masuk ke dalam. Begitu masuk, aku langsung disambut oleh aroma bunga Hyacintus yang semerbak memenuhi setiap bagian di dalam istana. Dadaku terasa sesak seperti dibelah oleh tongkat petir Ayahku, raja dari para Dewa, Jupiter yang agung.

Selalu saja tubuhku bereaksi seperti ini setiap kali mencium aroma bunga Hyacintus. Bagaimana tidak, ingatan mengenai pria itu berkelebat tanpa henti layaknya air mancur. Lututku terasa lemas, aku tak bisa berjalan dan akhirnya duduk tersungkur di atas lantas berlapis emas yang mengkilat. Pantulan wajahku yang menyedihkan seakan mengolok-olok ketidakbecusan ku sebagai Dewa.

"Wah, kau masih merawat bunga ini rupanya.."

Suara seorang wanita yang familier menyapa pendengaranku, seketika mendongaklah aku untuk menatapnya. "Diana.." Sosok wanita berambut ikal kemerahan tengah menundukkan tubuhnya tepat di hadapan bunga Hyacintus. Tangannya terulur hendak menyentuh tanaman itu, tubuhku reflek bangkit lalu menarik busur panahku ke arahnya. "Apa yang kau lakukan di sini saudariku tercinta?"

Diana tersenyum ke arahku tanpa mengikut sertakan matanya. Seolah bibir dan matanya memiliki pemikiran berbeda. Dia pun turut berdiri dan menatap tepat ke mataku. "Apa yang kau pikirkan? Tentu saja mengunjungi Saudara kembarku, Apollo yang merana dalam istana megahnya."

"Menyingkir dari sana sebelum ku tarik busurku ini."

Diana terkekeh. "Astaga, apa kau baru saja khawatir kalau aku akan merusak kekasihmu ini?"

"Aku serius Diana, menjauh dari situ."

Senyuman Diana menghilang, digantikan dengan ekspresi datar nan dingin. Itu lah wajah Diana sesungguhnya, tak sehangat wanita pada umumnya. Sebagai Dewi perburuan dia memang telah mengikrarkan diri untuk tak segan-segan menghukum para musuhnya. Ekspresi itulah yang kerap kali dia tunjukkan sebagai bentuk kekuatannya. Wajah angkunya itu ku yakin diturunkan secara alami dari Ayah kami, Sang Jupiter.

Meski kami adalah saudara kembar, nyatanya wajah dan sikap kami cukup berbeda. Sebagai Dewa musik aku begitu menggemari segala hal yang ada di seluruh jagat raya, termasuk para penghuninya. Bukan maksud berbesar kepala, tapi memang tak ada satu pun makhluk di dunia ini yang dapat menampik pesonaku. Aku telah merasakan banyak sekali perjalanan romansa. Baik dengan perempuan maupun lelaki. Itu tak masalah bagi Dewa.

Sementara Diana (Artemis) bersumpah tak mau terlibat dalam hubungan romansa bersama siapapun, baik Dewa maupun manusia fana. Sampai sekarang aku masih belum tahu apa tujuannya melakukan itu. Terlepas dari pengabdiannya sebagai Dewi perburuan, aku yakin ada hal lain. Namun yang pasti adalah, dia orang nomor satu yang paling mencemoohku perihal masalah percintaan. Karena, bisa dibilang keseluruhan kisah cintaku tak berakhir dengan indah.

Kedatangannya ke tempatku palingan tak jauh dari hendak mencemooh mantan kekasihku yang berubah menjadi bunga Hyacintus.

"Kau tahu bahwa tak ada untungnya bagiku untuk merusak kekasihmu—" Aku memejamkan mata erat-erat. Menjadi Dewa ramalan pun tak serta merta membuatku merasa bangga, karena tentu saja aku tahu apa yang hendak Diana katakan selanjutnya. "—Kau sendiri lah yang telah membunuhnya."

"Bukan aku yang membunuhnya!" Ku tarik senar busur hingga menegang. Aku sangat serius saat membidikkan anak panah ke arah Diana.

"Oh, kau masih bersembunyi di balik sifat angkuh mu rupanya." Diana kembali terkekeh, lalu berubah menjadi tawa. Seluruh istana ku sampai bergetar saking kencangnya suara tawa Diana. "Benar-benar tipikal Apollo sang Dewa Matahari nan sombong."

Aku tetap bergeming. Tak peduli apa yang hendak dikatakan Diana mengenaiku, sekalipun itu adalah hal paling buruk. Yang terpenting saat ini adalah membuatnya pergi dari istanaku. Terutama dari bunga itu.

"Aku sebenarnya malas mengatakan ini, kau sangat bebal untuk dinasihati."

"Aku tak butuh saranmu, cepat pergi dari sini." Lalu aku menambahkan. "Kau tahu kalau aku tak ragu melepaskan tali busur ini."

Diana tampak bosan menanggapi ucapanku. Tak perlu keahlian membaca pikiran, ekspresi wajahnya telah menjelaskan segalanya. "Kau harus berhenti mengurusi tanamanmu itu. Keegoisanmu telah menutupi akal sehat. Kau mesti sekali-kali beristirahat sejenak, sekedar jalan-jalan ke dunia fana mungkin."

Perlahan senar busurku mengendur kala fokusku melemah. Meski begitu diriku pantang mengakui kebenaran saran dari Diana. Bisa dibilang ini semacam insting Dewata yang tak mudah memercayai siapapun selain dirinya sendiri. Apalagi aku cukup mengenal watak Diana. Layaknya saudara kandung, kerap kali kami terlibat pertengkaran tak masuk akal hanya karena masalah sepele. Hal itu bisa saja menyebabkan satu kota terkena imbasnya karena aku salah mengarahkan panah yang telah ku mantrai dengan wabah mematikan. Well, itu pernah ku lakukan sekali. Dan, karena itu kami dihukum oleh Jupiter.

"Dengarkan ucapanku baik-baik, aku yakin kau akan berterima kasih padaku nantinya." Tepat setelah berkata begitu, sosoknya lenyap dari pandangan dan hanya menyisakan gliter keemasan.

Ku turunkan busur panah setelah memastikan keberadaannya benar-benar lenyap dari istanaku. Akhirnya aku bisa menghela napas lega. Aku segera melangkah mendekati pot Hyacintus yang tadi sempat hampir di sentuh oleh Diana. Ku perhatikan dengan seksama, dari ujung bunga sampai ke pangkal batang. Syukurlah tak ada yang rusak.

"Aku merindukanmu sayangku..

Selama apapun waktu telah berlalu, aku tetap berada di sini. di dalam kesendirian yang tak memiliki ujung. terus menanti meskipun tahu bahwa hanya ada jalan buntu. Pluto pernah berkata bahwa hyacyntus tak akan pernah berenkarnasi. Cinta bahkan bisa membutakan dewa.

Kesendirian ini mencekik. Tak membiarkan ku bernafas barang sedikit. Meninggalkan ku di dalam ruang sempit, tanpa ada yang menemani. Rasanya sangat menyiksa, asal kalian tahu saja. Beribu-ribu tahun ku lalui dengan ingatan yang masih segar, seolah-olah kejadian mengenaskan itu terjadi baru kemarin.

Waktu tiada berarti bagiku. Mereka hanya hitungan angka tanpa makna. Hanya pengingat jika semakin menipis pula kebebasan kita di dunia nan fana. Sayangnya aku bukan salah satu dari makhluk fana tersebut.

Aku abadi.

Maka abadi pula lah rasa sakit yang menggandrungi relung. Memakan habis bara kebahagiaan di dalam dada. Dalam diam ku bertanya-tanya, apakah ini hukuman atas segala dosa-dosa ku?

Dewa memiliki dosa? Terdengar konyol memang.

Bahkan makhluk suci seperti kami dapat melakukan kesalahan besar sehingga semesta mengambil bagian penting untuk menghukum kami. Karma tetap berlaku bagi kami, takdir tetap berjalan, kesengsaraan tak lantas meninggalkan Penciptanya.

Karena aku sendiri pun mengambil banyak bagian atas kehilangan kekasih hatiku.

Banyak nian ku limpahkan kesengsaraan kepada mereka. Baik sadar maupun tidak, tetapi keduanya sama-sama merusak, menghancurkan perlahan maupun cepat.

Sama seperti yang Diana katakan tadi. Meski mulutnya memang setajam ujung anak panas yang disandangnya, akan tetapi aku harus mengakui apa yang diucapkannya adalah fakta valid. Sebuah takdir yang tertuang untuk hidupku. Aku tak tahu mesti menyebutnya takdir atau karma buruk, semuanya menyaru menjadi ambiguitas.

Harus berapa lama lagi ku arungi kehidupan dengan hati yang hampa? Atau, mesti kah ku cabut sendiri kekekalan yang ada dalam jiwaku? Hanya agar bisa bertemu dengan kekasihku di alam sana?