7 Masih di pelupuk mata

Mata Soka pelan-pelan terbuka. Dia bernafas berlahan. Pelupuk matanya melihat dirinya lima belas tahun yang lalu. Dia menatap ayahnya yang terbaring tidak berdaya di ruang ICU. Ibunya menangis di kursi rumah sakit. Seorang perawat menghampiri Ibu Soka. Perawat itu berbicara sebentar pada Ibu Soka. Soka berjalan pelan mendekati mereka berdua. Ibunya dan si perawat berdiri.

"Ada apa, bu?" tanya Soka.

Si perawat pergi setelah berpamitan pada Ibu Soka.

"Kamu tunggu disini ya, sebentar. Ibu dipanggil dokter." Ibu soka kemudian pergi setelah mengusap kepala Soka. "Soka…" Ibu Soka berhenti melangkah dan menoleh pada Soka. "…makan duluan aja. Ibu mah gampang." kata ibu soka, lalu melanjutkan langkahnya.

Soka duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu tempat tadi Ibunya duduk. Dilihatnya kantong pelastik hitam yang bersandar di samping tas milik Ibunya. Dibukanya kontong plestik itu. Di dalamnya terdapat satu buah nasi bungkus dan dua plastik air teh hangat. Agak sedikit lama soka menatap isi kantong pelastik itu. Dia menghela nafas pelan, kemudian mengikat kembali kantong pelastik itu dan disimpanya di tempatnya semula.

Tidak berapa lama Ibu Soka kembali ke ruang tunggu untuk keluarga pasien ICU itu. Soka melirik pada Ibunya yang kemudian duduk di sampingnya. Air mata mengalir di pipi ibunya.

"Kenapa, bu?" tanya Soka.

Ibu soka masih terdiam berusaha menenangkan diri.

"Bu…?" tanya soka kembali.

"Ayahmu harus dioprasi." Ibu menatap Soka. "Ginjalnya harus dicangkok."

"Terus gimana, Bu?"

"Ibu gak punya uang sebanyak itu untuk oprasi Ayah kamu."

"Emang berapa, Bu?"

Ibu Soka hanya menatapi soka. Ia tak mampu berkata-kata. Bibirnya bergetar. Air matanya semakin membanjiri pipi. Isak tangisnya ditahan. Kemudian ia memalingkan tatapannya ketaman di luar pintu ruangan tunggu itu sambil menghela nafas berat.

Tiba-tiba beberapa orang masuk keruang tunggu itu. Dua orang anak laki-laki seusia Soka menghampiri soka. Empat orang dewasa yang sepertinya orang tua dari dua orang anak laki-laki yang seusia Soka itu bersalaman dengan Ibu Soka. Ibu Soka menghapus air matanya. Seorang laki-laku dari empat orang dewasa itu memberikan sebuah bungkusan agak besar pada Ibu Soka.

"Aduh, pak Jaga. Gak usah repot-repot." ujar Ibu Soka.

"Hanya sedikit, sekedarnya." tutur pak Jaga.

"Bu Lastri, Pak Edo, Bu Santi, terimakasih banyak." ucap Ibu Soka pada mereka.

"Iya, Bu. Kami turut prihatin atas musibah yang diderita Pak Raksa." Bu Santi menyampaikan bela sungkawa sambil duduk di samping Ibu Soka.

"Bagaimana keadaan pak Raksa sekarang, bu?" tanya pak Edo.

Ibu soka terdiam dan kembali menghela nafas dalam. kemudian ia berdiri dan berjalan menuju ruangan dengan jendela kaca besar. Pak Jaga, bu Lastri, pak Edo, dan bu Santi salingtatap sebentar lalu mengikuti langkah Ibu Soka.

Ibu soka berhenti dan menatap suaminya, pak Raksa, yang terbaring tak berdaya di dalam ruang ICU dari luar jandela kaca besar itu. Pak Jaga, bu Lastri, pak Edo, dan bu Santi juga kemudian berdiri disitu menatap apa yang ditatap oleh Ibu Soka.

"Suamiku harus dioprasi. Ginjalnya harus dicankok, Bu." Ibu soka melirik pada bu Lastri.

"Sabar, Bu." Bu Lastri mendekap tubuh Ibu Soka.

"jika tidak segera dioprasi, kata dokter, harapanya akan sangat tipis." suara Ibu Soka tersendat-sendat oleh isak tangis yang berusaha ditahanya. "Saya tidak punya uang sebanyak itu."

"Dokter bilang berapa, bu, biayanya?" tanya pak Jaga.

"Transplantasi ginjal, ya, lumayan, pa" kata pak Edo.

"Saya harus punya uang 150 juta, pak." tutur Ibu soka.

"Astagfirulloh…" ucap bu Santi.

"Din, Do, ajak Soka ke kantin." ucap pak Jaga pada dua orang anak laki-laki yang seusia Soka.

 

Gagak yang tadi menclok di salah satu batang pohon randu di sebrang jalan depan pos ronda berteriak dua kali. Ingatan Soka kembali dari masa lalu. Dia berdiri sambil mencabut kelewang yang ditancapkannya di tanah. Dia berjalan beberapa langkah dan berdiri di bibir tebing bukit kecil itu. Gagak yang tadi berteriak dua kali itu melayang mendekati Soka, kemudian menapakan kakinya di pundak kiri soka.

"Tunggul, cari tau keadaan rumah itu." Soka bicara pada gagak itu.

Sang gagak yang di panggil Tunggul itu menoleh ke arah rumah yang ditatapi oleh Soka. Rumah itu tampak kecil, namun sepertinya tidak terlalu jauh dari puncak bukit kecil itu. Setelah melirik pada Soka sebetar, Tunggul si gagak pengintai, melompat dari pundak kiri Soka. Dia melayang mengepakan sayapnya menuju rumah yang agak terpencil dari rumah pemukiman warga desa yang tampak jelas dari atas bukit kecil itu.

Soka menghirup udara malam yang dihembus angin agak kencang. Ingatannya melayang pada Ibunya yang tersedu menerima amplop coklat agak tebal yang di berikan oleh pak Jaga. Soka duduk di kursi di hadapan ibunya di sebrang meja tamu di rumah ayahnya yang sederhana. Ibu Soka membuka amplop itu dan menghitung uang yang ada di dalamnya. Soka hanya memandangi ibunya. HP model jadul berdering di meja tamu. Ibu soka mengangkatnya.

"Halo…" sapa ibu Soka pada suara di sebrang HP itu.

"Kak, aku ada janji sama bos nih. Kakak cepet ke sini." suara di HP itu terdengar nyaring.

"Iya… tunggu sebentar." jawab ibu Soka.

"Jangan lama, ya. Aku udah telat ini." tegas suara di dalam HP itu.

Ibu Soka Menutup panggilan di HP itu. Ia menatap soka.

"Pamanmu, tuh. Si Nana, kelakuanya. Bukanya sabar sebentar. Malah mentingin kerjaanya. Ibu kan belom nyiapin segala macem. Baru selesai ngurusin ini ni." Ibu soka tampak kesal. Tangannya menunjuk-nunjuk pada uang yang baru dihitungnya.

"Itu uang buat oprasi ayah, bu?" tanya soka.

"Ini uang untuk nebus obat dan biaya perawatan Ayahmu selama satu bulan." tutur Ibu Soka.

Soka hanya terdiam.

"Ini juga boleh pinjem. Sepuluh juta." keluh Ibu Soka dengan nada rendah. Kemudian ia menatap keluar rumah. "Ibu terpaksa menjadikan rumah ini sebagai jaminannya."

Soka menatapi Ibunya.

"Gak usah dipikirin. Kamu sudah kelas tiga. Sebentar lagi ujian. Harus fokus." Tutur Ibu Soka

"Gimana nggak dipikirin, bu." Soka menatap Ibunya. "Di sekolah, Soka masih punya tunggakan, bu." Soka menarik nafas agak dlam.

"Udah, biar ibu yang mikirin. Kamu belajar aja." Ibu Soka menatap Soka dengan penuh kasih sayang. "Sekarang bantu ibu nyiapin bekel buat kerumah sakit."

"Aku Ikut, bu."

"Besok kan kamu sekolah."

"Mereka juga ngerti bu keadaan kita."

"Iya, tapi nanti kamu ketinggalan mata pelajaran."

"Gampang, bisa dikejar."

"Soka, gak boleh sombong."

"Buktinya setiap tahun aku selalu juara umum di sekolah."

Ibu Soka tersenyum. Tampaknya ia bangga terhadap kecerdasan Soka, sekaligus khawatir dengan sikap Soka yang selalu menggebu-gebu.

HP jadul milik ibunya yang tergeletak di atas meja tamu kembali berdering. Ibu Soka mengambil HP itu. "Pamanmu." kata Ibu soka pada soka. Lalu ia mengangkat panggilan di HP itu. Belum sempat Ibu Soka menyapa panggilan itu, Suara nyaring dari dalam HP menyeruak lebih dulu.

"Kak…. Kak Raksa udah gak ada…!" suara paman Soka terdengar nyaring dan bergetar.

Soka mengangkat kelewangnya sambil bergerak seperti mengeluarkan jurus. Dia memainkan kelewangnya dengan tangan kanannya sambil bergerak dengan langkah dan kuda-kuda yang kokoh. Kemudian kelewang itu dibuatnya berkelebat menghantam sebuah pohon sebesar betis orang dewasa di bibir tebing puncak bukit kecil itu.

"PRAAKKK!!!"

Pohon itu patah dalam satu kali tebasan. Soka pelan-pelan berdiri sempurna. Gigi Atas dan gigi bawahnya beradu bergemeretak. Dadanya naik turun. Soka melompat dari bibir tebing itu.

avataravatar