3 Kemboja

Di sisi lain, di sebuah dataran tinggi yang sedikit lebih jauh dari bukit kecil itu. Cahaya bulan purnama menyoroti rumah kayu yang tampak agak sedikit usang di bibir sungai, di atas air terjun. Kelap-kelip sinar lampu minyak dari dalam rumah tampak di jendela. Seekor burung gagak melayang, menapak di atap rumah kayu itu, kemudian bersuara dua kali.

Seorang lelaki berambut putih, berkumis putih, dan berjanggut putih menatapi dirinya di cermin, di sebuah kamar, di dalam rumah kayu itu. Matanya tajam menatap wajahnya sendiri. Tidak ada senyum sama sekali. Kemudian ia melirik pada sebuah jam dinding yang tampak berdebu. Waktu menunjuk angka delapan lebih sedikit.

Ia menghela nafas pelan namun berat tertahan. Ia melirik pada sebuah foto berbingkai kayu tua berukuran A3. Tampak pose lima sahabat berpakaian tentara tahun 60-an memegang senapan sambil tersenyum.

Ia kembali memandang wajahnya di cermin. Rambut, kumis, dan janggutnya putih. Namun, kulit wajahnya masih kencang, tubuhnya tegap dan kekar.

Suara burung gagak berteriak 2 kali. Lelaki itu bergumam pada dirinya sendiri.

"Geus cunduk kana waktu, geus nincak kana mangsa, wanci nu mustari." ("Sudah tiba pada Waktu, sudah menginjak pada saat yang di tentukan") ia berjalan ke arah pintu dan mengambil jaket kulit lusuh yang tergantung di paku, di dinding, di samping pintu.

"Wyah, Soka.... Wayah..." ("Saatnya, Soka...Saatnya...") ia memanggil dirinya Soka sambil mengenakan jaket yang baru di ambilnya.

"Pancasona..." gumamnya dengan suara berat.

"Ana wiyat jroning bumi, surya mureb ing bantala, bumi sab pitu, anelahi sabuwana, rahina tan kena wengi." ia melamgkah ke luar rumah dan berhenti Sejenak di samping kelewang yang tertancap di pekarangan rumah. Sebentar ia menatapi malam.  Burung gagak itu melayang menapak di pundak kiri Soka.

"Urip tan geni tanpa kukus, ceng, cleng-kleng cleng-kleng kasangga bumi." dicabutnya kelewang itu. Lalu ia berjalan menyusuri bibir sungai, mengikuti arah air mengalir.

"Tangi dewe, urip dewe ing jagad, mutika lananging jaya." ia berhenti di atas air terjun. Matanya menatap ke bawah memandangi jatuhnya air yang terun menghantam air sungai yang mengalir di bawahnya.

"Hem, aku si pancasona, ratune nyawa sakalir." Soka melompat terjun hampir bersamaan dengan burung gagak yang melompat terbang dari pundak kiri Soka. Gagak itu berteriak dua kali. Soka menenggelamkan dirinya di air sungai tempat jatuhnya air terjun itu.

Di kedalaman air sungai yang arusnya sedikit deras itu, Soka duduk bersila sambil memejamkan mata. Kedua tanganya memegang kelewang yang di tancapkan ke dasar sungai.

Beberapa saat kemudian, seekor ular besar sepanjang enam meter muncul dari sebuah lubang yang tak jauh dari tempat Soka duduk bersila.

Ular itu berenang pelan menghampiri Soka. Soka seperti tidak tau. Atau mungkin pura-pura tidak tau. Ular itu mendekatkan kepalanya ke wajah soka. Namun Soka tetap tidak bergeming.

Tubuh sang ular mulai bergerak pelan-pelan mengelilingi Soka. Pelan-pelan Soka membuka matanya, Ia menatap mata ular yang menatapnya. Ular itu mnjulurkan lidahnya. Soka nampak masih sangat tenang walau pun lidah ular itu menyentuh wajahnya beberapa kali.

Tubuh ular itu masih bergerak pelen-pelan mengelilingi tubuh soka. Namun, sebelum tubuh Soka benar-benar terkurung oleh tubuh ular itu, ia bergerak mengayunkan kelewangnya mengarah ke leher sang ular.

Ular itu menjulurkan lidahnya 2 kali. Lalu kepalanya terlepas dari tubuhnya. Perlahan arus air sungai berwarna merah. Tubuh sang ular jatuh mengelilungi Soka. Kepalanya tergeletak di hadapan soka.

Soka tersenyum. Ia merasakan sesuatu yang besar mengalir di tubuhnya. Ia merasa puas, gerakanya masih bisa melesat cepat walau pun berada di dalam air.

Tubuh ular yang tergeletak bergeser beberapa kali terseret arus. Soka berdiri perlahan. Sejenak ia menatap kepala ular yang ter geletak di depanya. Soka menendang kepala ular itu. Lalu melangkahkan kakinya.

Soka berjalan membelah arus air di dalam sungai. Beberapa ikan kecil yang terlewati oleh nya mendadak mati. Iya melangkah menuju tepi sungai.

Remang-remang cahaya bulan tampak berkilat-kilat terlihat dari dalam air. Sepertinya rembulan yang semula saga kini benar-benar telah tampak purnama.

Purnamanya bulan malam itu bisa di rasakan di sisi lain sudut kota di kaki gunung ciremai yang bernama Kuningan itu.

Cahaya rembulan menyeruak lembut di antara daun-daun pohon kemboja. Angin semilir mengelus rambut Nedi. Dia duduk di sebuah tembok kotak kecil yang memang di buat agar orang-orang yang berziarah bisa duduk dengan hidmat mendoakan orang-orang yang telah tenang di alam kubur. Begitu pun Nedi. Dia duduk tertunduk menghadapi sepuluh makam yang berjejer tertata rapih. Ditatapinya satu persatu makam itu.

Nedi kemudian menengadahkan kedua tanganya. Mulutnya bergerak seperti mengucapkan sesuatu. Nampaknya Nedi memanjatkan doa untuk ke sepuluh orang tercinta yang di makamkam di pemakaman umum yang tampak terawat itu.

Lampu-lampu bercahaya lembut tersebar dengan jarak yang di tata sedemikian rupa, memberikan kesan angker yang biasa di jumpai di kebanyakan makam pada umumnya tidak tampak di pemakaman umum itu.

Selesai berdoa, Nedi terdiam sejenak. Ia menghela nafas pelan, seraya bergumam, "Kami akan menemukan dia." Nedi seperti mengajak bicara makam-makam itu. Lalu dia bangun dari duduknya pelan-pelan. Sejenak dia berdiri sambil terus memandangi sepuluh makam di depanya. Tidak berapa lama dia beranjak dari tempat itu.

Nedi melangkah keluar dari tengah komplek makam itu. Dia berjalan menuju sebuah motor gede yang terparkir di gerbang masuk komplek makam.

Baru saja ia duduk di motor gedenya, HPnya berdering.

"Hallo... " Sapa Nedi

"Bang, jangan lama. Nanti makan malamnya keburu dingin." kata suara dari dalam HP-nya.

"Iya, ini mau meluncur." ujar nedi. "Sabar... Awas ya, jangan makan duluan."

"Bodo... Kalo lama, jangan nyesel ya."

"Eh... Anak nakal...!"

"TUT...!" suara panggialan ditutup.

Nedi mengerutkan jidat menatap HP-nya sendiri. Setelah Nedi mengantongi HP di kantong celana jeansnya, kemudian ia mengenakan helm dan menghidupkan motor gede yang ditungganginya.

Setelah memasukan gigi satu, ia segera meluncur. Suara gelegar kenalpot motor gedenya yang terdengar lembut di telinga memecah suasana malam yang agak lengang di kota kecil itu.

Ketika tiba disebuah pertigaan yang agak ramai, Nedi memelankan motor gedenya. Kemudian ia memarkir motornya di lahan parkir sebuah mini market.

Nedi masuk ke mini market itu. Beberapa pembeli tampak masih melihat lihat beraneka ragam barang dan makanan yang tampak menarik. Seorang pembeli baru saja beranjak dari salah satu meja kasir dengan sekantong kresek berlabel mini market berisi makanan ringan. Nedi memesan rokok di meja kasir satunya.

"Rokok, mbak. Tiga bungkus." Nedi menunjuk pada salah satu merek rokok terkenal. "Nitip dulu, ya. Saya cari cemilan dulu." Nedi tersenyum.

"Oh, iya, pak. Silahkan." embak kasir yang manis tersenyum ramah.

Setelah mengambil sebuah keranjang, Nedi berkeliling untuk melihat lihat berbagai produk yang dijajakan di mini market itu. Dua orang pembeli mendatangi dua meja kasir itu.

Seorang karyawan mini market itu tampak membawa buku catatan dengan pulpen ditangan sedang mengontrol merek-merek produk yang ada. Di sisi lain seorang karyawan lagi sedang menata barang-barang.

Nedi sudah mendapatkan beberapa cemilan dan minuman kaleng yang menggugah seleranya. Tapi di sebuah lorong rak penjajak produk-produk, Nedi tertarik pada sebuah minyak wangi dalam kemasan botol yang elegan. Ia memandangi botol itu. Seorang lelaki mengenakan jaket hitam bertudung dengan masker menutupi separuh wajahnya masuk ke mini market itu. Nedi mengambil botol minyak wangi itu sambil manggut-manggut.

"Keluarin semua duit di laci...! Masukin ke kantong pelastik.!" suara berat dan parau mengagetkan semua orang di dalam mini market itu.

Nedi melirik ke arah suara yang kebetulan lurus dengan lorong rak produk-produk tempat Nedi berdiri. Dilihatnya seorang lelaki dengan jaket hitam bertudung dan masker menutupi setengah wajahnya menodongkan senjata api pada kasir. Seorang lelaki lainya berjaket merah yang berpebampilan sama dengan orang bersenjata apai itu menyeruak masuk.

"Jangan ada yang bergerak, kalo kepala lo gak mau berantakan." teriak si jaket merah sambil menodongkan senjata api ke arah Nedi.

Bersamaan dengan gerakan tangan si jaket merah yang menodongkan senjata api, Nedi melemparkan botol minyak wangi yang di pegangnya. Botol itu melesat melayang disamping kanan kepala si jaket merah. Mata si jaket merah berkedip, jidatnya mengkrenyit, kepalanya di palingkan ke bahu kirinya.

Botol minyak wangi itu terus melesat berputar memburu kepala si jaket hitam yang tengah menodongkan senjata api pada kedua kasir yang tubuhnya gemetar sambil memasukan tumpukan-tumpuka uang dari laci kedalam kantong pelastik.

"PRAKKK...!"

Botol minyak wangi itu mengenai pelipis kiri si jaket hitam. Tangan Nedi menangkap tangan si jaket merah sedemikian rupa hingga senjata api yang ditodongkanya terlepas dari genggemanya.

Si jaket hitam terpelanting karena pelipis kirinya dihantam botol minyak wangi. kepalanya membentur kaca mini market yang tebal. Si jaket merah meringis dan bersimpuh karena kemaluanya di hantam lutut Nedi. Si jaket hitam pingsan. Si jaket merah menatap wajah Nedi. Kepalan tangan Nedi menghantam wajah si jaket merah.

Si jaket merah tersungkur. Beberapa tukang ojek yang biasa mangkal di depan mini market itu masuk ke mini market lalu membantu mengamankan si jaket hitam dan si jaket merah.

Nedi menghampiri kasir sambil membawa keranjang berisi cemilan dan minuman kaleng.

Sampai di depan meja kasir, Nedi mengambil botol minyak wangi yang tergeletak di lantai. Seorang kasir menghubungi polisi.

"Gila, gak pecah." Nedi memandangi botol minyak wangi itu. "Harga emang gak pernah bohong." ia menaruh keranjang yang di bawanya dan minyak wangi itu di meja kasir.

Sambil masih gemetar embak penungu kasir menghitung belanjaan Nedi.

"Santai, mbak. Minum dulu. Udah aman kok." kata Nedi.

"Iya, pak. Terima kasih." wajah embak kasir masih agak tegang.

Sebuah mobil polisi dengan bak terbuka berhenti di depan mini market itu. Selang sebentar sebuah mobil sedan berhenti juga disitu.

Nedi memberikan sejumlah uang pada embak kasir yang sudah mulai terlihat tenang. Si jaket hitam yang masih pinsan digotong oleh dua orang tukang ojek dan di masukan ke mobil polisi dengan bak terbuka itu. Si jaket merah digelandang juga ke mobil itu oleh dua orang polisi.

Seorang lelaki berambut cepak berjaket kulit hitam menghampiri Nedi sambil membawa senjata api yang tadi di gunakan si jaket hitam. Nedi memasukan kembalian ke dalam dompetnya. Lelaki berambut cepak itu melihat lencana polisi yang terpajang di dompet Nedi.

"Jadi, pantas. Anda tau kalau sanjata api ini mainan." ujar lelaki berambut cepak itu.

Nedi tersenyum menatap lelaki cepak itu sambil mengantongi dompetnya.

"Saya dari jakarta. Kebetulan lagi dapet bonus libur." jelas Nedi.

"Menengok keadan kelurga, right?"

"Yap, semacam itu."

"Ardi." lelaki cepak itu menyodorkan tangan mengajak bersalaman pada Nedi.

"Nedi." Nedi menjabat tangan Ardi.

"Terima kasih atas bantuanya." ucap Ardi.

"Cuma kebetulan lewat. Lagian udah tugas kita begitu." ujar Nedi.

"Gue urus dua coro itu dulu." Ardi menggerakan kepalanya sedikit menunjuk pada mobil polisi dengan bak terbuka yang beranjak pergi dari halaman parkir mini market itu. "See you..."

"See you..." ucap Nedi.

Ardi melangkah keluar dari mini market itu. Nedi mengemasi belanjaanya. Ardi masuk ke mobil sedan yang terparkir di halaman parkir mini market. Nedi keluar dari mini market. Mobil sedan itu melaju setelah membunyikan kelakson dua kalu. Nedi melambaikan tangan ke arah mobil sedan itu.

Setelah memasukan belanjanya ke box yang menclok di kiri-kanan blakang motor gedenya, Nedi kembali melanjutkan perjalananya.

avataravatar
Next chapter