1 Hujan Air Mata

"JDDARRR.....!"

Suara guntur membelah hujan yang disertai angin kencang.

"JORRR...! JDARRR...!"

Petir bergelantungan dibawah awan hitam. Desis angin seperti nafas cobra yang siap menerjang mangsanya.

Pohon-pohon besar tampak lentur bergoyangan seiring irama angin kencang. Pagi yang seharusnya menyajikan kecerahan semangat mentari tidak dijumpai pagi itu. Alam seperti menyimpan dendam. Hujan badai rasanya seperti amarah dari kedalaman luka yang pilu dan teramat sakit.

"JDARRRJORRR....!"

Seekor burung gagak basah kuyup terbang melayang menembus amarah alam mendung dan hujan badai yang digelantungi petir dan suara guntur yang mungkin adalah jerit tangis goresan-goresan semesta yang menyimpan amarah. 

Gagak itu terus berusaha dengan susah payah mengepakan sayapnya yang berat basah oleh air hujan. Ia melayang memasuki sebuah area tempat berdirinya sekelompok besar pohon kemboja yang tegak meliuk bak cakar-cakar tengkorak yang berdiri di sebuah tanah pemakaman di bibir tebing di atas sebuah sungai yang airnya deras menggeram dan meronta.

Gagak hitam yang sekelam malam itu menapakan kakinya di sebuah batang pohon kemboja.

"KAAKK...! KAAAAKK....!"

Ia bersuara dua kali. matanya menatap seorang lelaki bertubuh kekar dengan rambut putih dikepalanya yang sedang bersimpuh di depan sebuah makam.

"JDDARRR...!"

"JORRR...!"

"JEDDARRRJORRRR....!"

Geram gumam guntur dan kilatan cahaya petir bergelantung di atas lelaki itu seolah menjadi pijar yang sesekali menerangi pagi yang kelam.

"Aku, Soka. Bertanya pada rasa....!"

Teriak lelaki itu tiba-tiba, sambil mendongakan kepalanya pada langit yang diliputi awan hitam. Deras hujan yang bersorak dikipas debur angin menghujami wajah lelaki yang menyebut dirinya Soka.

Kemudian, sambil merasakan debur dingin yang meresap ke dalam tubuhnya, Soka menundukan kembali kepalanya pelan pelan.

"Apakah cinta? Apakah ketenangan? Apakah nyawa? Hanya seharga mesiu? Bukankah tanah ini dibangun dari konstruksi berjuta tetes api? Apakah sudah lantah hati oleh nafsu manusiawi? Dan peluru menjadi harga mati. Bandrol tanpa diskon yang ditancapkan pada jiwa. Apakah cinta, berarti Ketenangan nyawa yang hilang?"

Gumam Soka dengan suara bergetar berat. Simpuh tubuhnya semakin rengkuh di depan makam yang tanahnya merah basah di hujam hujan.

"Yang ditikam. Yang dihempas. Menjerit dan menagis."

Kepalan tangan kananya memukuli dada kirinya lambat-lambat dan bertenaga. Suaranya berubah lirih dan parau.

"Siapa yang mau merasa? Siapa yang mau mendengar? Nyanyian dan jiwa yang mana?"

Tangisnya berebut dengan amarah yang ingin meledak. Air matanya bercampur air hujan. Tubuhnya gemetar. Urat-urat di tangan, leher, dan wajahnya pelan-pelan mulai terlihat menyeruak.

"Hanya ada delikan mata dan cibiran mulut yang menusuk seperti seribu mata belati yang jatuh dari langit."

"JOOORRRRR.....!"

Guntur menggelegar lambat. Seekor gagak hitam basah kuyup melayang dan menapak di atas nisan kuburan yang masih merah basah itu.

Mata Soka pelan-pelan menatap si gagak yang berteriak dua kali.

"KAAAAKKK...! KAAAKK...!"

"Tak ada lagi rasa yang perlu dijaga." ucap Soka.

"KAAAKK...!"

Gagak itu menimpali ucapan Soka dengan satu teriakan. Lalu melompat lagi memburu udara setelah agak lama matanya bergerak-gerak memandangi Soka.

Mata Soka mengikuti gerak gagak itu melayang. Si gagak terbang mengepakan sayapnya melaju menyebrangi sungai di bibir tebing itu. pelan-pelan Soka berdiri. Kemudian ia melangkah menuju bibir tebing yang menjadi ujung tanah pemakaman umum itu.

Seekor biawak yang sedang merayap menembus hujan tidak jauh dari bibir tebing itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Si biawak berhenti tepat di titik bibir tebing yang tengah dituju langkah kaki Soka. Si biawak menegakan keempat kakinya sambil lehernya berdiri. Soka menatap biawak itu sambil terus melangkah ke arah bibir tebing tempat si biawak tertegun menatap Soka.

Si biawak menatap Soka. Matanya berkedip-kedip seperti kelilipan. Dijulur-julurkannya lidahnya beberapa kali. Cukup lama si biawak melakukan itu. Lalu ia menempelkan perutnya ke tanah yang basah dan menciprat-ciprat diterjang hujan. Si biawak kemudian menoleh ke bibir tebing. lalu menengok lagi pada Soka yang langkahnya semakin dekat. Si biawak kemudian berbalik dan berlari menuju bibir tebing yang tidak seberapa jauh itu. Entah apa yang merasuki si biawak. Ia melomoati bibir tebing itu memburu air sungai yang menggeram deras.

Soka berdiri di bibir tebing di atas sungai itu dan menyaksikan si biawak melayang lalu amblas di telan arus deras air sungai di bawah tebing.

Tidak berapa lama, Soka pun melompat menerjang air sungai yang deras dan tampak geram itu.

Si gagak hitam yang menclok di sebuah batang pohon trembesi di sebrang tebing tempat pemakaman umum itu menatap tubuh Soka yang melayang meluncur memburu air sungai yang deras dan tampak geram itu.

Soka membiarkan tubuhnya di lahap sungai yang sedang meronta membabi buta. Sekejap tubuh Soka hilang di telan air sungai yang deras dan tampak geram itu.

Soka membiarkan tubuhnya meluncur tenggelam menuju dasar sungai. Si biawak yang tadi melompat lebih dulu meliuk-liuk menggerakan keempat kakinya untuk mempertahankan tubuhnya supaya bisa mencapai sisi sungai di sebrangnya. Tapi arus air yang begitu besar tetap memaksa menyeret si biawak dalam gelombang pasang si sungai. Namun Cakar-cakar arus si sungai tampak tidak mampu menyeret tubuh Soka yang terus meluncur pelan mengapung menuju dasar sungai.

Soka melemaskan tubuhnya. Ia mendudukan dirinya bersila sambil memejamkan matanya. Di dasar sungai, di tengah arus deras air bah yang mengalir, Soka duduk seperti bermeditasi. Entah apa yang merasukinya.

Si gagak hitam yang menclok di sebuah batang pohon trembesi di sebrang tebing tempat pemakaman umum itu hanya menatapi permukaan air sungai yang deras dan tampak geram itu.

"KAAAAK....! KAAAAAK....!" si gagak berteriak dua kali dan menggerak-gerakan tubuh dan sayapnya.

Angin yang mendebur lama-kelamaan pelan-pelan berubah menjadi semilir. Hujan pelan-pelan reda. Tinggal gerimis yang tersisa. Suara Guntur dan kilatan petir tak lagi terlihat dan terdengar. Awan-awan hitam Pelan-pelan pudar. Sinar mentari merambat pelan menerangi permukaan air sungai yang geram deras airnya pelan pelan berubah tenang.

Sang gagak masih menclok di dahan pohon trembesi memperhatikan tempat tenggelamya Soka. Deras geram air sunga sudah tak tampak lagi. Soka masih belum muncul juga.

Matahari terus bergerak menuju Siang, kemudian turun merosot pada sore. Arus air sungai di bawah tebing tempat pemakaman umum itu sudah tampak semakin tenang dan bersahaja. Angin semilir. Suara binatang-binatang kecil dan cicit burung bersahutan. Alam berwarna kuning keemasan. Sanja menjelang.

ketika langit hampir gelap si gagak melompat melayang terbang berpaling dari arah matahari tenggelam. Ia menuju arah gelap di ufuk timur.

Rembulan berwarna saga menyembul setengah di balik awan yang hitam di warnai gelap. Gunung ciremai membiru selepas ditinggal mentari yang tenggelam di ufuk barat.

Malam menjelang. Hawa dingin pegunungan malam kota kuningan terasa semilir. pelan-pelan rembulan yang berwarna saga berubah putih. Si gagak hitam itu melayang menukik menuju sebuah bukit kecil di kaki gunung ciremai.

avataravatar
Next chapter