webnovel

Bisa melihat hantu

Bagi mereka yang menganggap musim panas hanya sekedar musim yang harusalah satu pemberian tuhan akan merasa hari ini adalah hari yang biasa saja, walaupun terasa gerah. Tapi bagi seorang Malvin ini adalah neraka.

Berkali-kali ia menghembuskan nafas berat dan menariknya dengan kasar. Ia mencoba sabar dengan tingkah laku hantu seorang gadis dengan pakaian kemeja kedodoran sampai paha dan juga penuh darah di bagian kerah dan kakinya. Rambut hitam panjangnya menutupi wajahnya setengah, mata dan bibirnya hitam.

"Hentikan! Pergi atau kuantar kau ke neraka!" Teriaknya keras sambil melayangkan gelas ke dinding. Bagaimana dia tidak emosi, lampu ruang makan mati hidup berkali-kali padahal dia sedang makan di meja makan dengan nikmat walaupun jam sudah menunjukkan pukul 01:04 pagi.

Sedangkan hantu itu hanya diam seperti biasa sambil menatap datar kearah Malvin. Lampu ruang makan itu tak juga berhenti mati-hidup. Malvin geram, Kali ini bukan gelas lagi yang ia layangkan, tapi piring beserta makanannya ia lemparkan ke dinding.

Lampu berhenti mati-hidup ketika seorang wanita berumur empat puluhan masuk ke ruang makan dengan masih memakai baju kerjanya. Wajahnya tampak begitu lelah.

"Apa-apaan ini?" Tanyanya meminta penjelasan. Dia mengusap wajahnya pelan seolah itu akan mengurangi lelahnya.

Dua pelayan yang masih terjaga tergopoh-gopoh memasuki ruang makan, ketika mereka melihat pecahan piring dan gelas berserakan mereka langsung membersihkannya.

"Selalu seperti ini. Makan malam sudah berakhir di jam segini. Kenapa kau tidak bisa menghilangkan kebiasaan burukmu yang membuatku ingin mati?" Tanyanya, dia tak lagi bisa marah pada putra semata wayangnya itu. Berbagai cara sudah ia lakukan, memasukkan Malvin ke rumah sakit jiwa sudah sering ia lakukan. Tapi pihak rumah sakit selalu menghantarnya pulang dan berkata bahwa putra anda tidak gila.

"Apa yang membuatmu melakukan ini? Apa kau marah padaku? Katakan apa yang kau inginkan? Mobil baru? Uang? Atau apa? Akanku berikan asal kau berhenti bertingkah aneh dan jangan membuatku benar-benar gila."

Malvin menguap tanda ia mengantuk, dengan tajam ia melirik kearah Rin, hantu itu masih berdiri disana. "Aku masih lapar, bisakah ibu membuatkanku makanan lagi?" Katanya pada ibunya.

"Aku sedang sibuk, pekerjaanku menumpuk. Suruh pelayan itu membuatkannya untukmu," wanita itu memanggil pelayan tadi. "buatkan makanan untuknya."

"Tidak usah. Aku tidak lapar lagi." Kata Malvin sebelum pelayan tadi mengiyakan perintah ibunya.

"Aku akan tidur. Selamat malam, bu." lanjutnya sambil berlalu.

••••

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 1 siang. Namun, cowok bermata biru gelap dengan rambut coklatnya masih tertidur pulas diatas tempat tidur.

Marco dan Faden, sahabat Malvin sejak kecil menggeleng tak percaya melihat teman mereka yang satu itu masih berada dalam mimpi. Mereka berdua membuka tirai jendela dan menarik kaki cowok itu agar terbangun.

Malvin mengumpat kesal, matanya yang agak sipit terbuka paksa. Kulit dan mata yang ia dapat dari ayahnya yang kebetulan berdarah jepang dicampur sisanya yang ia dapat dari ibunya orang asli Swiss membuatnya begitu mencolok.

Tubuh tinggi idealnya berjalan gontai ke kamar mandi tanpa melirik sedikitpun kearah sahabatnya. Tak lama dia keluar kembali memakai handuk dan berjalan ke lemari, mengambil celana ponggol hitam dan kaos putih beserta yang lain, setelah itu dia berjalan lagi ke kamar mandi.

Dia keluar dari kamar mandi, berjalan ke nakas untuk mencomot sarapannya yang sudah dingin dan meneguk habis susu.

"Tumben ibu mu pergi kerja siang sekali?" Kata Marco. Dia duduk di perpustakaan kecil milik Malvin sambil membaca buku terjemahan langganannya. Sedangkan Faden lebih memilih memaikan game yang tak sempat Malvin matikan tadi malam.

Malvin duduk di pinggir tempat tidur, memperhatikan dua manusia yang tak tau malu tanpa diundang datang disaat dia tidur nyenyak tadi. Dia mengedikkan bahu. "aku tidak tau. Kalian mengganggu tidurku." Ucapnya. Tadi malam dia baru bisa tertidur jam lima pagi.

"Aku hanya tidak mau kau hibernate di musim panas. Di hari libur seperti ini sebaiknya kau habiskan dengan hal yang menguntungkan." sahut Faden.

Malvin tertawa mengejek. "kau pikir apa yang kau lakukan sekarang menguntungkan?" Katanya.

"Setidaknya lebih baik dari pada tidur." jawab Faden santai.

Marco menutup bukunya, lalu memandang Malvin sambil geleng-geleng. "tadi ibumu bilang kau bertingkah aneh lagi tadi malam. Kau membuatnya hampir gila katanya. Kau kalau tidak suka ibumu terlalu sibuk jangan memilih menjadi orang gila untuk mencari perhatiannya."

Malvin berdecak, "kau pikir aku seperti bocah anak orang kaya yang maracau minta perhatian orang tua? Aku tidak peduli sesibuk apapun ibuku dan sebajingan apapun ayahku, yang penting aku tidur dan tinggal ditempat yang layak. Apa aku pernah mengeluh tentang orang tuaku? Tidak, sejak kecil sampai usiaku 21 tahun aku tidak pernah mengeluh tentang mereka."

"Lalu apa yang membuatmu bertingkah lagi semalam?"

"Hantu itu menggangguku saat makan." tunjuknya kearah pintu masuk, karna Rin sedang berdiri disana.

Marco melihat kearah pintu, dia menghembuskan nafas pasrah. Mungkin dia akan ikut gila sekarang. "Rin, aku memang tidak bisa melihatmu, tapi tolong jangan ganggu dia lagi karna dia bisa melenyapkanmu nantinya." Ucapnya. Lalu marco mengalihkan pandangannya lagi kearah Malvin, "aku tau kau bisa mengusirnya, tapi kenapa tidak kau lakukan dan malah memeliharanya disini?"

Malvin mengedikkan bahu. "terkadang dia ada gunanya, aku bisa menanyakan apa yang tidak ku ketahui."

"Kanapa kau tidak bilang pada ibumu kalau kau bisa melihat apa yang tak bisa kami lihat?"

Malvin tertawa terbahak-bahak, nyaris mengeluarkan setitik air mata disudut matanya. "kau lupa? Kenapa aku pindah kerumah besar ini 6 tahun yang lalu? Itu karna aku mengusir hantu didepan ibuku dan waktu itu aku bilang ada hantu dirumah itu yang slalu menggangguku. Tiap hari aku merengek karna di ganggu, dan akhirnya karna ibuku mulai gila mendengar rengekkanku Dia langsung mencari rumah baru, Aku sudah nyaman disini jadi aku tak mau itu terulang lagi."

Faden mematikan gamenya, lalu berjalan medekat. "lalu kenapa kau tertawa? Tak ada yang lucu." Ucapannya menjururus ke ejekkan.

Malvin kembali ke wajah datarnya, melihat kearah Fadden dengan mata dinginnya. "Tak ada," dia mengedikkan bahu, "hanya saja ibuku membuat itu sebagai alasan, padahal dia takut dan memilih pindah."

Ada lengkungan di bibir Fadden, dia tersenyum. "aku menyayangi ibumu. Dia baik dan tangguh. Tapi sampai sekarang aku tidak percaya hantu itu ada, selama ini aku benar-benar menganggapmu gila. Kemarin aku diberitahu oleh Sepupuku bahwa didaerah Crisen ada sebuah rumah zaman dulu yang masih kokoh. Katanya jika kau memasuki pagar rumah itu kau akan merasakan dingin seperti musim salju walaupun saat ini musim panas. Aku ingin membuktikannya. Tapi sayangnya tak ada yang berani memasuki pagar itu karna setelah kau memasuki pagar itu kau tak akan pernah kembali atau kena kutukan penderitaan sampai perlahan kau mati."

Malvin bangkit dari duduknya. "salju di musim panas? Itu menyenangkan. Aku ingin kesana." Dia berjalan kearah meja kecil disudut ruangan, menghampiri laptopnya. Dia membuka internet untuk mencari tau rumah yang dikatakan Fadden tadi.

"Kau gila!" Seru Marco, "Cerita tentang rumah salju itu sangat terkenal. Kau takkan baik-baik saja setelah keluar dari sana."

"Kalian cukup di luar pagar, biar aku yang masuk. Salju dimusim panas begitu langka. Musim panas ini membuatku hampir mati." balas Malvin tanpa menoleh kearah Marco.

"Aku ikut masuk bersamamu." kata Fadden.

Marco menggeleng tak percaya. "Fadden! Sudah ku bilang jangan beritahu apapun yang gila padanya karna dia itu gila dan tak pernah berfikir." Dia marah pada Fadden.

Faden melirik jengkel, "kau diam saja jangan seperti banci. Kalau kau tak mau ikut yasudah biar aku dan Malvin saja yang pergi."

"Dapat!" Seru malvin, "aku menemukan letaknya. Dia ada di daerah pedalaman Crisen. Jaraknya 8 jam darisini. Tapi apakah ada penginapan di dekatnya?"

"Ada. 4 km dari rumah itu ada pemukiman warga." Kata Faden.

"jangan kesana! Fein berbahaya! Jangan kesana!" kata Rin tiba-tiba.

Malvin menoleh kearah Rin, menatap jengkel kearahnya sambil memegang telinga. "bicaranya jangan teriak. Aku tidak tuli!"

"Dia Fein Lorbin. Berbahaya, kejam dan kuat. Kau bisa mati."

"Apapun yang kau bilang aku akan kesana." Kukuh Malvin.

"Tidak boleh!"

"Sudah kubilang jang berteriak. Suaramu seperti radio rusak." Kata Malvin kesal.

"Apa kata Rin?" Tanya Marco.

Malvin menoleh ke Marco, dia tersenyum garing. "tak ada. Dia bilang dia ingin bernyanyi tapi suaranya buruk seperti suara petir."

Marco mengangguk mengiyakan.

"Kita pergi 3 hari lagi, karna aku masih ada urusan dengan tim basketku." ucap Malvin.

"Aku juga ada urusan dengan band ku. Kau? apa kau ikut?" Katanya pada Marco.

Marco mengangguk. "kita sahabat. Jadi mati juga harus bersama. Tapi sebelum mati aku harus pamit dulu dengan Seira." Ucapnya pahit.

Fadden mengangkat satu alisnya keatas. "kau sangat tampan, Marco. Tapi bisakah kau tidak memilih Seira yang kau jadikan kekasih? Apa kau tidak tau bahwa Seira sangat menggilai Malvin? Aku takut dia hanya memanfaatkanmu untuk mendekati Malvin. Pilihlah salah satu gadis yang selama ini menunggumu. Aku yakin cinta mereka benar untukmu."

"Tutup mulutmu, Fadden." Ucapnya santai, "setidaknya aku berjuang. Daripada dirimu? Kau membuat Geina bunuh diri karna kau tolak cintanya. Setidaknya itu lebih buruk." Ucap Marco tak mau kalah.

"Aku tidak mencintainya." Balas Fadden. Tubuhnya langsung layu bagaikan bunga yang tak pernah di siram oleh pemiliknya. Setiap kali dia mengingat kejadian yang menimpa Geina, dia begitu merasa bersalah. Gadis Asia itu sebenarnya dia menyayanginya tapi dia tidak mencintainya. Dia mencintai orang lain.

"Dan hantu gadis itu bergentayangan di kampus. Dia selalu menagis ditempatnya mati. Setiap aku tanya kenapa kau menangis, Dia selalu menjawab, Aku menunggu Fadden." kata Malvin sambil mengotak-atik laptopnya, "hantu yang baru saja mati tak bisa pergi dari tempatnya meninggal. Hantu yang sudah sangat lama mati bisa pergi sesuka hati mencari tempat yang menurutnya nyaman."

"Itu tidak benar. Hantu tak ada." Kata Fadden.

Malvin menunjukkan telapak tangannya kearah Fadden. Di telapak tangannya terlihat tanda lahir berbentuk 3 segitiga kecil berwarna merah. "ini tanda lahirku. Waktu aku masih kecil dulu ada seorang pria berewokan yang menghampiriku setelah dia melihat telapak tanganku yang melambai pada kalian berdua saat ingin pulang. Dia bertanya apakah aku bisa melihat hantu? Aku menjawab dengan anggukkan. Setelah itu dia berkata bahwa aku cukup menunjukkan telapak tanganku ini untuk melenyapkan hantu jahat. Dia menyuruhku mencobanya kepadanya, aku pikir dia manusia, aku menunjukkan telapak tanganku kearahnya dan setelah itu dia lenyap menjadi cahaya hitam. Aku menyesal. Perasaan yang kau rasakan pada Geina ku rasakan juga pada pria itu. Aku menyesal telah membunuhnya."

"Ah!" Malvin berseru. "apa kalian ingin melihat hantu?" Tanyanya pada kedua sahabatnya yang masih terkejut atas seruannya.

"Bagaimana caranya?" tanya Marco penasaran.

"Sebenarnya dari dulu aku bisa, aku cuma takut kalian ketakutan dan di ganggu. Saranku, jika kalian melihat hantu jangan lihat matanya. Pura-pura tak melihat saja agar kalian tidak di ganggu dan diajak bicara. Jadi apa kalian mau?" Tawar Malvin.

"Aku mau. Dari dulu aku ingin melihat Rin. Kau slalu menceritakannya." Kata Marco.

"Aku juga mau. Aku ingin melihat Geina dan minta maaf." Kata Fadden.

Malvin bangkit dari duduknya, mengisyaratkan pada mereka berdua untuk mendekat. Setelah mereka sudah berdiri saling berdekatan, Malvin memegang kening kedua sahabatnya itu, tak lama kemudian dia mengusap wajah mereka bersamaan. "Buka mata kalian perlahan. Lalu lihat siapa yang ada di pintu.

"Setan!!!!!" Teriak Fadden ketakutan. Seketika itu pukulan keras dari Malvin mendarat di perutnya. Dia meringis kesakitan sambil membungkuk memegangi perut.

"Telingaku lemah. Aku kurang suka mendengar suara yang keras. Jadi kuperingatkan jangan berteriak. Sekarang kau sudah percayakan hantu itu ada?" Kata malvin masih memegangi kedua telinganya.

"Rin?" Kata Marco tak percaya

"Kau, Arine jreffin?"

_______

Next chapter