3 1.1: Capture Target

Bima, kini Kiel, sedang mengacak rema pirang mentah sembari berkaca. Lekat-lekat Kiel memandangi tubuhnya sendiri. Bukan dia narsis, Bima—jiwa yang menempati tubuh Kiel—hanya ingin tahu seperti apa detail rupa badan barunya kalau dilihat dengan mata telanjang.

Otot? Oke punya. Meh, lihat dia punya biceps.

Tinggi? Dia tak begitu tinggi tapi juga tidak pendek. At least, daripada badannya yang dulu tinggian yang sekarang. Mungkin genetik.

Tampan? Banget. Astagaa, kalau masih di Indonesia dan dirinya memiliki paras Kiel, pasti dia digandrungi para wanita. Sayang waktu masih hidup dulu mukanya b4 aja—buluk banget bagai babi.

Satu sayangnya … hnngh. Pantatnya sakit sekali tapi dia masih bisa bergerak tanpa tunjukkan perihnya. Artinya? Artinya dia adalah pengangkang handal!

Menghela napas, Kiel memutuskan untuk mencoba sesuatu. Dia meraba putingnya yang berwarna merah muda. Ia mencoba melakukan apa yang para topper lakukan pada botty-nya. Ia pilin tonjolan itu dengan dua jari daaan, "eeenghh~" dia melenguh.

Seketika Kiel malu sendiri. Dia cepat-cepat menjauh dari depan kaca full body yang berada di sudut kamar mandi ini dan bergerak ke arah deretan lemari berisi tumpukan handuk. Ia pakai handuk kimono itu, ia kencangkan sekencang mungkin tali di pinggangnya agar tak bisa ditarik paksa, sebelum akhirnya bernapas lega.

Haaah, kalau sudah dibuntal dengan sempurna begini … maka tak nampak kelonetannya.

Puas dengan hasil karyanya, Kiel bergerak ke arah pintu. Sembari membelah ruangan super gede ini, dia berdecak kagum.

Benar-benar ya ... Bangsawan itu berbeda. Level kekayaannya tidak main-main. Crazy rich atau kang pamer harta di Indonesia itu mah lewaaat. Untuk membuat kamar mandi seperti ini—luas, mewah, lengkap, berlantaikan marmer—Bima harus bekerja seumur hidup dengan UMR Indonesia, fix.

Satu hal yang membuat ia lega meski memiliki kemewahan tiada tara ini adalah kepribadian Kiel yang asli dan dirinya tidak jauh beda; sama-sama tidak suka keramaian dan atensi berlebih. Menurut hasil baca membacanya komik pun novel tentang aristokrat begini saat masih hidup di Indonesia, para Bangsawan tidak mandi sendirian. Rerata dari mereka akan dimandikan oleh maid atau butlernya. Untung Kiel tak suka begitu, dia mandiri (atau karena dia tak ingin kelonetannya diketahui? Entah) tapi yang jelas, pelayan yang ada melayaninya, mempersiapkan semua tapi tidak menawarkan diri untuk memandikannya.

Melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi, Kiel memandang kamarnya yang super besar. Ia mengangkat dua alisnya mengamati sekali lagi kamar pribadi seluas 200 meter persegi. Dia tertawa kecil mengingat kehidupannya yang lalu. Dulu kamarnya tak pernah lebih dari 3x3 meter. Rumahnya pun tak seluas ini.

Menggeleng, Kiel melangkah ke arah sofa besar berwarna maroon di seberang tempat tidurnya. Di tengah langkahnya, seseorang mengetuk pintu kamar. Bahasa asing masuk dalam gendang, suara seorang yang tampaknya berusia kisaran 50 tahun lebih, mengatakan sesuatu dari seberang sana. Lucunya, Kiel paham apa yang orang itu katakan dan siapa dia—butler Mavel Altra—dan yang ia katakan tadi adalah permintaan izin masuk. Menggunakan bahasa yang sama, Kiel mempersilakan.

Beberapa menit kemudian terjadi pertukaran cakap antara Kiel dan Mavel. Seperti layaknya butler pada umumnya, Mavel bertanya pada Kiel, "Tuan muda, apakah ada preferensi pakaian yang digunakan untuk hari ini?"

Sesaat Kiel terdiam. Ia mengingat-ingat bagaimana dirinya berpakaian dulu. Dan dia merinding karenanya. Bima tak suka pakaian yang tumpuk-tumpuk ribet begitu. Membayangkan dia pakai itu saja sudah kegerahan. Apalagi sekarang musim—

Kiel menoleh ke jendela besar yang membentang di satu sisi kamarnya. Dia dapati pohon hijau dan sinar matahari super terik. Ah ini musim panas.

"Lengan pendek, yang simpel, jangan terlalu banyak rumbai atau aksesori," kata pemuda 23 tahun itu seraya duduk dan mengambil teh hangat di atas meja. Dari ujung mata, ia bisa mendapati jika Mavel membelalak mendengar permintaannya. Namun lelaki paruh baya itu tak berkomentar banyak dan segera membuka lemari di dinding dan menarik keluar seluruh baju Kiel.

Detik berikutnya area di sisi sofa mendadak jadi distro. Seluruh pakaian ada di sana, berbagai tipe, warna, model—semua. Sebagian isi lemari walking in yang sesuai dengan kriteria telah dikeluarkan.

Untung saja Kiel ini ahli ber-facade. Ia hanya melirik baju-baju itu sebelum mengatakan, "kau yang pilihkan," pada Mavel dengan nada tak peduli lalu kembali menyeruput teh. Tubuhnya begitu rileks saat ini, tak ada ketegangan dan tampak begitu tenang—berkebalikan dengan hatinya yang sudah jedak jeduk tak karuan karena melihat barang-barang mahal sebanyak itu.

Setelah meletakkan cangkir, Kiel memutuskan untuk mengisi waktu luangnya dengan lebih memahami sistem yang membawanya ke dunia ini. Sambil merebahkan punggung ke sandaran sofa, ia membuka jendela status yang kemarin—apa semalam? Ah yang manapun lah—yang telah dijelaskan oleh Neo. Menggerakkan tangannya, Kiel membuka satu per satu opsi yang ada di sana.

Satu tujuan utamanya adalah 'Harem'.

Napas Kiel langsung tercekat begitu melihat kotak-kotak hitam yang tidak sedikit di dalam 'Harem', bulu romanya auto berdiri. Ia tidak bodoh, dari sini dia tahu jika kotak-kotak ini kemungkinan adalah slot manusia untuk dijadikan 'harem'-nya. Apalagi ketika dia menemukan wajah Carl terpampang di suatu kolom. Hanya saja, masalahnya adalah ... ketika dihitung, jumlah kotak yang tak memiliki wajah di sana ...

ANJIR!! MASA IYA AKU HARUS NGEWS SAMA EMPAT PULUH SEMBILAN ORANG?! GILA! MELAR DONG BOOLKU! iya, batin Kiel langsung menjerit, muka pun memucat. Dia membayangkan harus mengangkang sukarela dan membiarkan sosis besar melesak ke dalam rektum—seperti kejadian dia dengan si Carl—untuk lima puluh orang.

Mengerikan! Itu mengerikan!

Terintimidasi dengan bayangannya sendiri, spontan Kiel segera memijit pelipis. Ia memandang ke arah jendela melayang di hadapannya sekali lagi dan baru sadar bila terdapat beberapa bagian di sana. Mereka—kotak-kotak itu—terpisahkan oleh garis melengkung berwarna-warni dan ada sub judul di masing-masing kungkungan garis tersebut.

Knights. Friends. Foes. Rivals. Elders—what the fvck!

Si pirang jadi makin pening. Bayangannya sudah traveling kemana-mana. Serius, siapa pun yang membuat sistem ini layak disebut setan!

"Tuan Muda, Anda tidak apa-apa?" entah sejak kapan Mavel berdiri di sana, yang jelas saat Kiel menoleh, lelaki paruh baya itu berada di sisi kanan dan tampak mengkhawatirkannya.

Senyum kecil melengkung di bibir Kiel. Dengan sopan, ia memberitahukan pada sang butler jika dia baik-baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Lalu agar sang Butler tidak memikirkan hal ini lebih lanjut, Kiel berdiri. Ia menjulurkan tangan sebagai perintah dalam diam agar pria itu segera membantunya berganti pakaian. Dalam diam, rutinitas biasa itu berjalan.

Tapi sungguh, kepala Kiel rasanya seperti hampir meledak. Belum lagi jika ingat, di kotak-kotak hitam itu ada deretan paling atas, berisi enam kotak dan semua masih blank, hitam, 'belum terbuka'.

Berpikir tentang enam kotak itu, Kiel mengerutkan kening. Dia teringat akan gacha kehidupan yang diberikan oleh Neo. Di kolom terakhir mesin gacha itu, terdapat hati dikelilingi enam hati lain saling tumpang tindih. Lalu tadi ... ada enam kotak di bagian atas sendiri.

"Haha," Kiel tak bisa menahan tawa kecil meluncur dari bibir. Dia menemukan benang merah gacha yang ia dapat dan status haremnya. Di dunia ini ada capture target yang harus ia taklukkan.

"Ada apa, Tuan muda?" mendengarkan tawa Kiel, Mavel yang sedang merapikan kain di pinggang Kiel bertanya. Ia bekerja sambil mendongak, memandang sang Tuan muda penuh perhatian.

Kiel hanya mengangkat alis dan menjawab, "tak apa," singkat. Mukanya tampak seperti ia tak peduli.

Hanya saja, tanpa ia sadari, seringai masih menggantung di bibirnya.

Seringai yang entah mengapa, membuat Mavel menahan napas.

Wajah tampan Duke muda itu berubah menjadi bengis.

***

"Mavel, dimana Leon?" begitu selesai mengenakan pakaian, Kiel bertanya pada butler yang sedang berdiri dan memerintahkan maid-maid untuk membawa masuk sarapan Kiel. Wajah Kiel tampak biasa saja ketika bertanya hal ini, tapi raut muka Malves tidak. Dan ini membuat Kiel mengerutkan kening.

Seingat dia, Kiel tidak memiliki hubungan yang buruk dengan adik laki-laki yang berbeda tiga tahun darinya itu. Di sini, dia memiliki kuasa sendiri dan Leon pun demikian, hanya saja ... mengapa raut muka Mavel sampai sebegitunya hanya karena dia ingin berbincang dengan Leon?

"Oh, dia sedang pergi? Tak masalah kalau begitu," mengartikan mimik muka Malves dengan artian lain yang jelas tak nyambung sama sekali, Kiel memutuskan untuk tak acuh. Ia kembali duduk di sofa bak Raja dan mengamati makanan vvip yang tersaji.

"B-bukan begitu, Tuan Muda. Saya hanya tidak menyangka Tuan Muda akan mencari Tuan Muda Leon," mengusap tangannya yang berkeringat, Mavel menjelskan. Kiel melirik ke arah lelaki itu, dia tak sadar betapa tajam matanya memandang dan berdecak begitu mendapati jika sang Butler sedikit berjengkit atas apa yang ia lakukan.

Namun Kiel tak memperpanjang masalah. Dia abaikan komentar sang Butler yang jelas-jelas mengkritisinya dan fokus pada piring di depan sana. Ia mulai menyantap sarapannya, bodoh amat dengan ketegangan Mavel dan maid yang berada di ruangan ini.

Baru setelah beberapa kali suap steak super wenak ini, Kiel memutuskan untuk kembali berbicara. Sambil menggoyangkan garpu, ia menoleh ke arah pria berambut putih klimis di sana. Senyum miring tersungging, "suruh dia menemuiku kalau dia tak ada kerjaan," perintah ia kumandangkan.

Mavel menenggak ludah. Ia segera membungkukkan badan dan undur diri. Janji yang ia lontarkan ialah ia kan menyampaikan pesan Kiel pada Leon. Namun dia tak berkata bahwa Leon pasti akan datang.

Hm, menarik.

Kiel kira hubungan ia dengan keluarganya adem ayem. Tapi sepertinya tidak.

Dan perlakuan ini ... bukankah sepertinya Mavel pro-Leon? Hmm~

Begitu Mavel keluar, Kiel melanjutkan makannya. Hanya saja, dia bisa melihat betapa nervous maid yang ditinggal oleh Mavel di sini. Manik biru tosca itu bergerak sebelum fokus memandang wanita berdada cup D dengan gaya rambut dikepang yang sedari tadi berdiri gusar.

Sejenak, lelaki itu memandang terus sang Maid. Dia jelas mendapati maid yang sadar diperhatikan, langsung menunduk sambil menggigit bibir. Badannya bergetar, tangannya tanpa sadar mencengkeram plisket roknya kuat-kuat. Mimik muka? Kiel yakin udah ancur tuh.

Dari sini jelas, manusia ini takut padanya.

Memang dia melakukan apa?

"Katakan. Kenapa kau takut padaku? Apa yang sudah aku lakukan padamu?" karena tak tahan dengan rasa ingin tahunya, Kiel memutuskan untuk bertanya pada sang maid.

Tak ada penekanan pada nadanya, bahkan cenderung ringan saat dia berkata. Mukanya juga biasa-biasa saja, Kiel tidak marah, dia yakin rautnya datar.

Hanya saja ... lain dengan yang Kiel harapkan, maid itu langsung bersimpuh, bersujud dan meminta ampun. "Maafkan saya Tuan Muda! Saya telah lancang dan tidak tahu tempat, saya memang pantas dihukum! Ampuni saya Tuan muda!" ia berteriak sambil sesegukan.

Sementara Keil yang duduk jigrang sambil bersantai itu ... hanya bisa mengerjapkan matanya heran. Dalam hati dia sudah memasang tampang cengo, melongo.

Namun tubuhnya bertindak lain, dia menyeringai. Dan kala dia bertanya, "Hah?" mimik yang muncul seperti merendahkan dan seolah bertanya 'hah? Kau masih berani minta ampun setelah apa yang kau lakukan?'

Sayang Bima tak mengerti hal ini. Dia masih tak paham atas trait yang dimiliki tubuh seorang Kiel, putra pertama Duke Vaseo ini.

[]

avataravatar
Next chapter