webnovel

The Love Spell

Aku memegang cangkir kopiku di sisi pintu kantor, menghadap kantor Jaiden. Lauren menyandarkan bokongnya di sisi meja kantor Jaiden. Mereka sedang berbincang dan anehnya terlihat 'akrab'.

Mungkin lebih dari akrab, aku dapat merasakan sensasi yang lebih dari 'akrab' di antara mereka dilihat dari mata berkilau Lauren yang menatap Jaiden. Senyuman Jaiden terlihat lebih lebar dan tulus.

Apa benar Lauren akan menjadi Direktur? Jika benar matilah aku. Sudah pasti dia akan menyingkirkanku dari sini. Tapi aku mengandalkan Jaiden. Aku memercayainya. Kecuali jika Lauren telah memanipulasi Jaiden dengan mantra sihirnya, maka lebih baik aku gali saja kuburanku dari sekarang.

Kemudian mereka terdiam, senyuman menempel di wajah mereka, mempelajari satu sama lain. Lauren menggigit bawah bibirnya (salah satu trik jitunya). Jaiden menyandarkan punggungnya di kursi dengan tangan dilipat di dada, memperhatikan Lauren dari ujung rambut sampai ujung kakinya.

Tidak.

Jangan terpengaruh oleh mantranya, kumohon.

Aku tidak ingin nasibku jatuh di tangan penyihir sementara aku hanya dapat melihatnya. Aku harus melakukan sesuatu untuk kebaikanku sendiri. Aku tidak boleh kalah.

Aku meletakkan cangkir kopiku di meja kemudian langsung meluncur ke kantor Jaiden. Mereka tersentak sambil memandangku dengan mata melebar. Aku tersenyum pada Jaiden kemudian menatap tajam Lauren dengan senyuman 'tulus'.

Lauren bangkit dari meja Jaiden. "Ada yang bisa dibantu?" tanyanya.

Aku tidak mengacuhkannya lalu memandang Jaiden. Ia terlihat ragu-ragu kemudian tersenyum padaku.

"Hai, Ellie." ucapnya ramah.

"Bisakah kita bicara empat mata?" tanyaku.

Jaiden menoleh pada Lauren dan mengisyaratkannya untuk keluar. Lauren patuh seperti anak anjing yang patuh pada majikannya. Ia meringis saat melewatiku.

"Jay, dengan segala hormat, kamu bakal jadiin Lauren direktur?" tanyaku berhasil membuatnya menganga begitu pintu kantor tertutup.

"Darimana kamu denger itu?" tanyanya.

"Dari mulut si penyihir." Begitu aku sadar bahwa kata – kata itu sudah terlanjur kulemparkan, aku membekap mulut dengan tanganku. Mataku terpejam rapat.

Suasana menjadi hening.

Cukup lama sampai aku mendengar suara Jaiden lagi.

"Lauren?" ujarnya.

Aku memberanikan diri untuk membuka mata lalu mengangguk dengan penyesalan. Jaiden mengisyaratkanku untuk duduk dan aku menurut.

"Maaf." ujarku sebelum aku duduk.

Jaiden menggeleng sambil tersenyum. "Nggak apa-apa. Aku mengerti maksudmu."

Aku terkesiap kecil sebelum menjawab. "Kamu ngerti?"

"Ya, aku tau Lauren kadang-kadang..., bertingkah seperti...,"

Jaiden tidak menyelesaikan kalimatnya dan menggelengkan kepalanya smabil memejamkan mata lalu melajutkan, "Ellie... Itu benar. Aku akan menjadikan Lauren Direktur." ucapnya, membuat jantungku berpacu lebih cepat dan tenggorokanku tersumbat.

"Kok-"

Ia mengacungkan telunjuknya membuatku terdiam. "Tapi..." Secercah harapan timbul dalam diriku.

"Sebenarnya, aku tidak ingin Lauren menjadi Direktur." Ia mencondongkan badannya. Aku mengambil napas lebih panjang ketika mencium aroma tubuhnya secara spontan. Aroma yang begitu khas yang hampir setiap hari menyambutku ketika aku memasukki kantornya.

"Aku ingin kamu menjadi Direktur."

Perkataannya membuatku mematung. Aku tidak sanggup merespon.

"Tapi masalahnya, dewan perusahaan-lebih tepatnya ayahku, menginginkan Lauren. Aku tidak tau apa yang dilihat dewan tentang Lauren, tapi aku tidak puas dengan hasil pekerjaannya. Dia tidak cocok untuk menjadi Direktur." ucapnya sambil mengaitkan jemarinya di atas meja.

Aku berusaha memasukkan semua informasi ini dengan menatap langit-langit. "Jadi...," Aku menatap Jaiden. "Kamu akan menjadikanku Direktur?"

"Aku ingin menjadikanmu Direktur. Tapi, aku tidak bisa menjanjikannya. Aku bisa berbicara kepada dewan tentang ini dan mungkin mereka akan mempertimbangkanmu - Aku berharap mereka akan mempertimbangkanmu." ralatnya.

Aku menganga tidak percaya. "Wow, aku-" Jaiden tersenyum melihatku. "Aku nggak pernah mengira aku bakal jadi Direktur secepat ini." lanjutku.

"Itu tidak akan terjadi jika kamu terus saja membuang waktu dengan mengunjungi kantorku setiap saat." sindir Jaiden membuatku bangkit sambil tertawa.

"Kalo begitu aku akan kembali ke kantorku."

Jaiden mengangguk. "Jangan khawatir, El. Selama ada aku di kantor ini, kamu aman."

Aku terkejut mendengar perkataannya. Lebih tepatnya, seperti ada yang menyalakan kompor di perutku dan membuat sekujur tubuhku panas sampai ke telinga. Karena tidak tau bagaimana aku harus bereaksi terhadap itu, aku membalikkan badan lalu membuka pintu kantor.

"Jay?" Aku menoleh sambil memegang pintu.

"Ya?" ucapnya, mendongak dari layar komputernya yang menyinari wajahnya, memancarkan kegelapan matanya.

"Terima kasih."

Ia menyunggingkan senyuman miring sebelum berkata, "My pleasure."

Next chapter