9 Savior

"Ser, tolong jangan ketawa. Ini serius." ucapku sambil menyandarkan punggungku ke kursi. Tawa Sera di ujung telepon kantorku masih terdengar.

"Wow, El. Aku udah nggak sabar melihatmu memakai gaun pengantin. Kamu harusnya happy dong sekarang?? Kamu akan menikah!!"

Aku menghembuskan napas. "Sera, aku belum siap untuk menikah! Sebentar lagi aku akan menjadi direktur dan semoga mendapatkan banyak uang sehingga aku dapat pergi ke Prancis untuk menemukan kebahagiaan jiwaku, bukannya mengganti popok bayi pada jam subuh!"

Sera menggeram. "Kan kamu nggak harus langsung punya anak, Ellie..."

"Aku nggak peduli. Pokoknya aku belum siap untuk menikah." ujarku sambil mengusapkan wajah. Sepintas aku melihat Jaiden sedang fokus menatap layar komputernya. Lekukan di antara matanya terbentuk.

"Lalu kamu maunya apa?" tanya Sera.

Jaiden menggerakkan jarinya untuk mengetik kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi sambil meregangkan tubuhnya. Kemudian ia menangkap tatapanku saat kedua tangannya tersilang di balik tengkuk lehernya membuat jantungku berhenti berdetak. Ia mengisyaratkanku untuk menutup telepon dan kembali bekerja.

"Ser, ntar aku kabarin lagi."

Jaiden mengacungkan jempol dan kelingkingnya membentuk telepon lalu memerintahkanku untuk menutupnya. Tatapannya tajam namun bibir tipisnya membentuk senyuman, memahat rahangnya yang kuat.

"Emangnya kamu mau kemana??" serunya.

"Nanti kita ketemu di pesta ulang tahunnya ibuku lagi, oke?" Aku tidak mengalihkan tatapanku dari Jaiden yang masih memerhatikanku dari seberang. Ketika aku menutup sambungan sementara Sera masih berceloteh, Jaiden tersenyum simpul lalu menatap layar komputernya lagi.

Kemudian aku menghembuskan napasku yang tertahan sejak tatapannya menemukanku.

>>>>>

Flat shoes-ku menginjak rumput yang empuk, tebal, dan lembab. Tenda-tenda putih berkelebat tertiup angin, menutupi sinar matahari. Donat berlapis coklat dan bubuk gula disusun rapi seperti piramida di meja panjang yang tertutup taplak meja putih serta kue-kue kering dan dispenser beling berisi minuman dengan potongan buah tersedia di sampingnya.

Para tetangga dan teman-teman ibuku mondar-mandir di sekitarku, sibuk menyiapkan dekorasi pesta dan menata tempat duduk. Aku memanjangkan leher di taman belakang untuk mencari sosok yang kukenal lalu masuk ke dalam rumah saat gagal menemukan satu orang pun yang familiar.

Sydney, kakakku, langsung menyambutku dengan pelukan hangat saat aku memasukki pintu rumah.

"Syd!! Gimana kabarmu?" ujarku di atas bahunya sementara ia masih memelukku erat. Aku menunduk saat merasakan gundukan kecil menyentuh perutku dengan lembut.

Sydney tersenyum penuh makna, membuatku memekik. "Kamu hamil lagi?? Kenapa kamu nggak kasi tau aku??" jeritku.

Ia mengangguk semangat. "Tambah satu lagi nggak masalah kan?" ujarnya sambil memegang bahuku. "Kapan kamu bakal nyusul aku? Keburu keriput baru punya anak!"

Aku mendengus dan melepaskan tanganku dari punggungnya. Sesosok manusia kecil bersembunyi di balik betis Sydney. Kemudian aku menangkapnya dan menerbangkannya di udara, membuatnya tertawa lepas, memperlihatkan satu gigi susunya yang bertengger di gusi bawahnya.

"David!" Aku mencium kedua pipinya yang lembut lalu menurunkannya sambil memeluknya. Wangi bedak bayi menyambutku. Kemudian aku bangkit berdiri dan menggendongnya.

"Kamu kasi makan apa sih? Kok jadi gembul gini anakmu?" tanyaku, membuat Sydney terkekeh.

"Mumpung masih kecil kan lucu tembem."

Sambil mengemut jempol, David mengulurkan tangannya pada Sydney. "Mama!" ucapnya sambil menunjukkan senyuman kecilnya.

"Lho, nggak mau sama tante Ellie?" tanyaku jail. David menggeleng-geleng, membuatku mendengus lalu meyerahkannya pada Sydney.

"Bukannya kamu sekarang ada praktek di Australia?" tanyaku.

Sydney menggeleng. "Harusnya sih iya. Tapi pasienku nggak banyak. Jadi dokter lain bisa ambil alih sementara aku cuti hamil." ucapnya sambil berusaha untuk mengeluarkan jempol dari mulut David.

"Emangnya biaa cuti hamil 9 bulan?? Dokter macam apa kamu??"

Ia meledekku dengan memonyongkan bibir dan menggoyang-goyangkan kepalanya ke kanan kiri.

"Apa kabar, El?" Suara yang berat dan bijak itu menyentakku.

Aku menoleh saat Michael, suami Sydney, memegang pundakku sambil membawa sepiring potongan semangka dan melon di tangan satunya. Arlojinya yang besar dan berkilau mendarat di pundakku. Mataku pun berbinar. Aroma parfumnya memancar di udara, seperti meneriakkan kata, 'mahal', 'mahal', dan 'mahal'.

Tentu saja dia mampu mempunyai semua itu. Dia adalah seorang pengacara ternama- yang menikahi seorang dokter, kebetulan dokter itu kakakku.

Seorang dokter dan pengacara. Bisakah hal itu bertambah sempurna lagi?

"Baik-baik saja, makasi."

Ia mengecup pipi Sydney dan merenggut David darinya. "Nggak boleh ngemut-ngemut jempol. Kotor..." Michael menegur lalu Sydney mengelus pipi David. Mereka mulai menyuapinya sepotong buah dan David mengunyahnya dengan lahap.

Suatu saat aku menginginkan itu. Seorang suami yang dapat kuandalkan, si kecil di pelukanku, dan buah cinta yang bertumbuh di kandunganku. Tetapi aku tau saatnya bukan sekarang ataupun dalam waktu yang dekat.

"Ibu dimana, Syd?" tanyaku sebelum lamunanku menjauh.

"Kayaknya lagi di dapur." ucapnya sambl mengelap mulut David dengan tisu.

Aku melewati ruang tamu, menyambut beberapa kenalan ibuku yang sedang duduk di sofa sambil bergosip lalu membelok ke dapur. Aku mendengar suara sendok kayu bergesekkan dengan panci. Wangi tumisan sayur dan ayam panggang membuat perutku berbunyi.

"Selamat ulang tahun, bu!" Aku memeluk ibuku dari belakang yang sedang menghadap kompor dan mengaduk-ngaduk buncis.

Ia membalikkan badan sambil tersenyum lebar. Rambutnya disanggul rapi dan gaun biru pekat membalut tubuhnya.

"Aduh, jangan ingetin ibu lagi dong. Ibu merasa tua setiap kali diucapin selamat ulang tahun." ucapnya, melanjutkan memasak.

Aku tertawa kecil sambil mengintip ke dalam panci. Sayur buncis di dalamnya berhasil membuat mulutku berair. "Ibu baru 17 tahun kan?" ujarku.

Ia menyubit lenganku sampai aku meringis dan meminta ampun. "Kapan kamu punya cucu? 5 tahun lagi ibu umur 60, dan kamu masih juga belum nikah." tanyanya.

"Sabar bu... Ellie masih muda, masa udah mau nikah? Ellie mau kumpulin uang dulu." Aku tau aku sedang berdusta sambil mengambil sendok dari laci lalu mencuri salah satu buncis dari dalam kompor.

Aku menghembuskan napas pasrah, berjalan menjauh, lalu menopang lengan bawahku di counter dapur dan menunduk lesu. Memang sih, cincin dan janji nikah sering melintas di pikiranku. Aku tau suatu saat aku harus menikah, membesarkan anak-anakku, dan menjadi tua.

Tetapi, mengapa aku tidak bisa melihat masa depanku? Aku tidak bisa membayangkanku menikah dengan Andre – berjalan di pelataran mengenakan gaun pengantin, membesarkan anak-anaknya di rumah dengan halaman rumput yang luas, menjadi tua bersama Andre di pondok dekat danau yang tenang. Aku tidak bisa melihat semua itu. Mungkin aku hanya belum siap.

"Ellie masih mau kumpulin uang dulu." lanjutku.

"Sampai kapan? Inget, uang bukan segalanya." ucapnya sambil menuang tumisan buncis ke dalam mangkuk cantik.

Aku menegakkan badan. "Sampai Ellie jadi direktur."

"Direktur?" ulang Sydney selagi memasukki dapur.

"Jaiden sedang mempertimbangkanku untuk menjadi direktur." jawabku dengan bangga.

Ibuku dan Sydney langsung menerjang dan meremasku diikuti dengan suara riuh dan berbagai macam 'selamat'.

"Tapi, masih dipertimbangkan. Jadi jangan senang dulu." Ucapanku tidak didengarkannya. Mereka masih memelukku dan melemparkan beribu-ribu pertanyaan sekaligus.

"Mendingan nggak usah ngomong kalo belum jadi Direktur. Sebagian besar pertimbangan itu tidak pasti." Ayahku memasukki ruangan sambil menyusuri tatapan tajamnya padaku. Rambutnya yang beruban terurai melebihi telinganya.

Aku berdiri mematung dan menatapnya.

"Lihat kakakmu. Dia sudah jadi dokter, punya suami, punya anak-anak. Kamu nggak bisa jadiin kakakmu teladan?" Ia melirikku.

Aku langsung meremas lenganku sebelum diriku hancur.

Sydney menatapku simpatik lalu menatap ayah. "Yah, apa sih yang ayah mauin dari Ellie?"

"Ayah mau Ellie seperti kamu. Bisa banggain ayah." ucap ayahku sambil menuang kopi dari teko ke cangkir.

"Sebentar lagi Ellie jadi direktur." Aku berusaha untuk menahan kepanasan hatiku dengan menggertakkan gigi.

"Bukannya kamu bilang masih pertimbangan?" tanyanya.

"Saya yakin pertimbangan itu hasilnya akan positif. Dan, Ellie akan menjadi direktur yang baik untuk perusahaan saya. " Suara yang dalam dan familiar itu membuat kami menoleh. Namun, bulu kudukku berdiri karena aku sudah tau siapa itu yang sedang berdiri di ambang pintu.

Aku melihat sepatu pantofel yang mengilap, kaki panjang yang dibalut jeans, dan kemeja santai yang memperlihatkan tulang selangkanya. Rambut kecoklatannya bersinar akibat sinar matahari yang merembes masuk dari jendela dapur.

"Jay??" Ia tidak menghiraukanku dan berjalan masuk.

Tatapannya masih tertuju kepada ayahku. Ia menghampirinya dan kami bertiga memperhatikan Jaiden dengan mata berbinar (mata membelalak lebih tepatnya). Wangi badannya menamparku saat ia melewatiku.

Jaiden mengeluarkan tangan dari kantongnya untuk menjabat tangan ayahku. Untungnya, ayah menerima uluran tangannya setelah menatap Jaiden dengan mata menyipit selama beberapa saat.

"Saya Jaiden, bisa dibilang boss-nya Ellie."

"Jon, ayahnya Ellie." ucapnya.

"Senang bertemu denganmu." Jaiden menjabat tangannya sekali lagi dengan erat lalu melepaskannya. "Maafkan saya jika saya ikut campur begitu saja. Saya tidak sengaja mendengarkan perkataan kalian, dan saya tidak bisa diam begitu saja saat mendengarkan pernyataan salah yang bapak berikan." Dia berkata dengan lancarnya.

Ibuku dan Sydney bergantian menatapku dengan mata membelalak. Sydney melototiku dan mematapku horror.

"Ngapain kamu ikut campur urusan saya dengan anak saya?" Alis ayah berkerut dan tatapannya tajam.

"Saya tidak bermaksud untuk ikut campur. Saya hanya tidak ingin bapak menuduh Ellie dengan fakta yang salah. Saya ingin bapak tau bahwa Ellie adalah pegawai terbaik di perusahaan ini. Dia kompeten, cekatan, dan mampu mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. Karena itu, dia dapat employee of the month."

Sebelum ia membuat ayahku meledak dan menaikkan tekanan darahnya yang sudah tinggi, aku menarik lengannya yang keluar dari rumah. Aku dapat melihat ibuku dan Sydney mengintip dari jendela dengan mulut menganga lalu mereka bersitatap dan menyeringai lebar.

avataravatar