15 Sebuah Rencana

Aku baru saja mengantarkan Emily pulang ke rumahnya. Seharian ini aku dan Emily bermain di sebuah taman hiburan, eh ... bukan bermain, kalau untuk pasangan yang sedang berpacaran, pergi berdua ke suatu tempat itu dinamakan berkencan, bukan?

Ini kencan pertamaku dengan Emily semenjak kami resmi berpacaran. Emily terlihat senang hari ini, tapi aku merasa sedikit tidak enak padanya karena seharian ini pikiranku tidak benar-benar berada bersamanya. Seharian ini dan bahkan beberapa hari sebelum hari ini, aku terus memikirkan perkataan Erriol waktu itu. Semua yang dia katakan padaku.

Aku pun kembali mendapatkan kesadaranku setelah cukup lama mengenang perbincanganku dengan Erriol beberapa hari yang lalu. Satu hari lagi tepat satu minggu semenjak kejadian itu, aku akan bertemu lagi dengan Erriol dan dia akan mulai mengajariku untuk membangkitkan Vertical Skill. Sepertinya aku harus serius belajar skill itu. Mungkin aku harus bolos sekolah, sepertinya besok aku harus meminta tolong pada Emily untuk membantuku mencarikan alasan kepada guru-guru atas ketidakhadiranku. Sudah aku putuskan besok aku akan bicara pada Emily.

***

Hari ini sangat panas, aku sedang memakan bekal makan siang yang seperti biasa dibuatkan Emily. Tidak terdengar suara di sana kecuali suara beberapa murid kelas satu yang sedang bermain sepak bola. Itu pun tidak terdengar jelas karena jarak lapangan sepak bola dan taman sekolah di mana aku dan Emily sekarang berada, cukup jauh.

Aku pun memulai pembicaraan karena merasa ini waktu yang tepat untuk membahas rencanaku pada Emily, "Emily, terima kasih untuk makanan hari ini, seperti biasa rasanya enak."

Emily menanggapi perkataanku dengan tersenyum. Lalu aku memantapkan hati untuk mengatakan hal itu pada Emily. Hal yang semalaman aku pikirkan. "Hm, Emily, sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu, eh ... bukan hanya meminta bantuan, aku juga ingin meminta izin padamu."

"Haaah ... meminta izin dan bantuanku?"

Raut wajah Emily terlihat bingung mendengar perkataanku ini, kurasa itu hal yang wajar.

"Begini, ada sesuatu yang ingin aku lakukan dan menurutku hal ini sangat penting. Tapi sepertinya untuk melakukan keinginanku ini, untuk beberapa hari aku tidak bisa datang ke sekolah. Jadi, bisakah kau membantuku mencarikan alasan jika ada guru yang bertanya soal ketidakhadiranku di kelas? Aku juga meminta izin padamu karena sepertinya untuk beberapa hari ini aku juga tidak bisa bertemu denganmu. Boleh, kan, Emily?"

Kedua mata Emily menatapku dengan tatapan yang sulit untuk diartikan, tapi kusimpulkan sepertinya dia sedang mencemaskanku.

"Apa kau sedang terlibat masalah, Elliot?"

"Hm, begitulah tapi bukan masalah yang berbahaya dan juga tidak terlalu penting. Tetapi aku ingin sekali bisa menyelesaikan masalah ini." Aku sungguh tidak mau membuat Emily khawatir sehingga seperti itulah jawaban yang kuberikan padanya.

Emily terdiam untuk beberapa saat, sepertinya dia meragukan perkataanku, meskipun pada akhirnya dia kembali tersenyum lembut padaku. "Baiklah, aku mengerti. Aku juga akan membantumu mencarikan alasan pada para guru. Soal izin, tentu aku mengizinkannya juga."

Kuyakini wajahku seketika berbinar senang. "Waaah, benarkah, Emily? Terima kasih banyak. Aku beruntung memiliki pacar yang pengertian sepertimu."

Lalu aku memeluk Emily, tetapi dengan cepat Emily melepaskan pelukanku. Dengan wajahnya yang berubah menjadi merah tanda dia sedang malu. Dia pun mulai berbicara, "Ja-Jangan memelukku di tempat seperti ini. Di sini banyak orang, bagaimana kalau mereka melihat kita? Da-Dan kalau sampai ada guru yang melihat kita berpelukan bisa-bisa terjadi masalah, kan?"

"Haha ... Iya, kau benar. Maafkan aku tidak bisa menahan diri. Pokoknya terima kasih atas pengertianmu, Emily. Aku janji akan kembali secepatnya."

Emily pun kembali tersenyum, aku lega bukan main karena dia begitu pengertian. Dengan begini latihanku bersama Erriol sepertinya akan berjalan lancar dan sesuai rencana.

***

Emily POV

Sebenarnya masalah apa yang sedang menimpa Elliot sehingga dia tidak masuk sekolah seperti ini? Aku tidak bisa berhenti memikirkan hal ini. Tapi sepertinya Elliot tidak berniat menceritakan masalahnya itu padaku. Aku pun tidak ingin memaksanya untuk menceritakan hal yang sama sekali tidak ingin dia ceritakan kepadaku. Sudah dua hari Elliot tidak masuk sekolah dan aku selalu pulang sendirian seperti sekarang ini. Rasanya aneh berjalan sendirian seperti ini di saat aku sudah terbiasa berjalan berdua dengan Elliot. Kapan kira-kira dia akan kembali? Baru dua hari aku tidak melihatnya, rasanya aku sangat merindukannya.

Di tengah-tengah lamunanku itu, tiba-tiba seseorang menabrakku dari belakang.

"Ooops, maaf, Nona. Aku tidak sengaja. Kau baik-baik saja, kan?"

Orang yang menabrakku itu seorang pria, dari penampilannya aku bisa memperkirakan usianya sekitar 20 tahunan.

"I-Iya, tidak apa-apa." Aku hanya bisa membalas permintaan maafnya dengan kata-kata seperti itu. Ketika aku hendak beranjak pergi, tiba-tiba pria itu menghentikanku.

"Maaf, Nona. Bolehkah aku meminta bantuanmu sebentar? Sebenarnya aku sedang mencari sebuah alamat. Ini sangat penting, aku sudah berputar-putar mencarinya tapi tidak ketemu juga. Situasinya sangat mendesak jadi kalau kau tahu alamat ini, bisakah kau menunjukannya padaku?"

Pria itu pun memberikan secarik kertas padaku, di situ tertulis sebuah alamat. Entah ini sebuah kebetulan atau keberuntungan untuk pria ini karena sepertinya aku tahu tempat yang tertulis di kertas itu.

"Aku tahu alamat ini."

"Benarkah itu, Nona? Baguslah kalau begitu. Bisakah kau menunjukkan tempatnya padaku? Dari pagi aku berputar-putar mencari alamat itu tapi aku tidak berhasil menemukannya. Padahal situasinya benar-benar mendesak."

Aku merasa kasihan melihat pria ini, sepertinya dia tidak berbohong dan dia juga kelihatan sangat kelelahan. Karena alamat yang tertulis di kertas ini tidak terlalu jauh dari rumahku, aku pun mengantarkan pria ini sampai ke tempat itu.

Tidak berapa lama kami pun tiba di tempat yang ditujukan oleh alamat di kertas tersebut.

"Terima kasih, Nona. Kau telah bersedia membantuku. Aku benar-benar berhutang budi padamu, maaf telah merepotkanmu."

"Tidak perlu sungkan. Lagi pula aku sama sekali tidak merasa direpotkan, rumahku tidak jauh dari tempat ini. Oh, iya. Jangan memanggilku nona lagi, perkenalkan namaku Emily." Aku mengatakan itu sambil mengulurkan tangan kanan padanya

"Namaku Ciel, senang berkenalan denganmu dan terima kasih untuk bantuannya."

Itulah yang dikatakan pria di depanku ini yang baru saja memberitahukan namanya sambil mengulurkan tangan kanannya juga padaku. Setelah itu aku pergi meninggalkan Ciel dan pulang ke rumahku.

Seandainya saja aku tahu pertemuanku dengan pria itu ternyata akan memberikan masalah besar untukku, tentu aku tak mungkin membantunya.

avataravatar
Next chapter