webnovel

Layer 1: Mimpi yang Kandas

Papan pengumuman penuh para peserta yang tengah berkerumun. Digital Art Competition tingkat SMP. Elaina berada di antara kerumunan tersebut, menyibak peserta lain yang menggerumbul. Tepat di depan papan tulis, dia berhasil melihat daftar pengumuman. Perlahan dia mencari nama dirinya, Elaina. Dia mulai mengurutkan nama 20 besar kompetisi digital art.

Dua puluh nama, sudah dia periksa, berulang kali. Terkejut, tidak percaya. Bukan ini yang dia harapkan. Namanya tidak pernah tercantum di sana. Elaina pun tertunduk, sedih, kecewa. Padahal semua sudah dia lakukan. Tangannya mengepal erat. Seseorang pun menyenggol dirinya hingga terjatuh. Semua yang menggerumbul di sini, tatapannya mengarah pada Elaina dan seseorang yang menyenggolnya jatuh. Orang tersebut berusaha menolongnya.

"Maaf, aku tidak sengaja." Orang itu mengulurkan tangan.

"Tidak apa-apa." Elaina perlahan mulai bangkit. Dia keluar dari kerumunan itu. Benar-benar penuh dengan kekecewaan.

Itu adalah pengalamannya di akhir kelas tiga SMP sebelum dia menghadapi ujian masuk tingkat SMA. Mimpinya sudah hancur untuk saat ini. Dia memilih untuk berhenti sejenak. Bahkan bisa selamanya, dia tidak akan menyentuh alat-alat menggambar.

Di rumah pun, Elaina mengurung diri. Kedua orang tuanya kebingungan bagaimana cara menghiburnya. Dia mendekap lutut, duduk di depan pintu kamar. Ruangan begitu gelap. Dia mengeluarkan air mata, membanjiri pipi.

Aku sudah menyerah. Menggambar memang passion-nya. Hanya saja, bukan itu yang dia permasalahkan. Sudah tiga tahun berturut-turut dia dikirim oleh sekolah, mengikuti kompetisi menggambar. Hanya saja lagi-lagi, selalu pulang dengan tidak membawa piala.

Dia menangis, terisak-isak, seolah semua perjuangannya untuk meraih mimpi telah kandas. Dia juga berjanji pada dirinya untuk terus menggambar, tanpa henti. Namun, kini tidak bisa. Mimpi itu mengkhianati dirinya.

***

Tiga bulan berlalu....

Musim penerimaan murid baru telah tiba. Kini sudah saatnya berganti pakaian dari putih biru menuju putih abu-abu. Gerbang SMA Surabaya dipenuhi oleh siswa-siswa baru dan juga siswa lama. Sebenarnya ini masih memasuki masa orientasi siswa.

Gadis berparas cantik, kulit putih bersih. Berambut hitam legam, panjang. Mengenakan seragam putih abu-abu, turun dari mobil. Gadis itu Elaina. Dia pelan melangkah memasuki sekolah barunya. Namun, tidak ada aura kebahagiaan dalam dirinya. Wajahnya tidak menunjukkan senyuman sama sekali, seolah dia berwarna abu-abu di antara siswa lain yang berwarna.

Masa SMA seharusnya menjadi momen yang penuh dengan warna. Pengalaman terakhir bersekolah. Menikmati masa muda yang begitu indah. Tetapi, Elaina tidak seperti itu. Dia tetap tidak tersenyum sama sekali. Meski sudah tiga bulan, kekalahan itu masih membekas.

Dia terus melangkah, memasuki sekolah dalam kerumunan siswa baru. Seluruh siswa mengantri di depan papan pengumuman, pembagian kelompok orientasi. Giliran, Elaina kini melihat papan pengumuman. Dia mencari namanya. Seusai menemukannya, Elaina pun kembali melangkah, menuju lapangan sekolah yang berada di dalam kawasan sekolah. Lapangan itu di kelilingi bangunan dua lantai yang merupakan kelas. Tepat di langit-langit terdapat kanopi yang menutupi. Kelihatannya jika tidak ada kanopi tersebut, lapangan mungkin akan tampak gersang.

Semua siswa baru telah berkumpul. Kini saatnya setiap kelompok berbaris satu per satu memasuki kelas. Elaina mengambil tempat duduk paling depan. Namun, tiba-tiba seorang laki-laki seumuran dengannya datang mengampiri bangku Elaina.

"Maaf, boleh kan aku duduk di sini?" tanyanya dengan sopan.

Elaina mengangguk. Masa bodoh dengan hal itu. Siapa saja boleh duduk. Sehari penuh diisi oleh materi dari kakak PK (Pendamping kelas). Hingga akhirnya tiba jam istirahat, bel dibunyikan. Seluruh siswa berbondong-bondong keluar dari kelas menuju kantin. Teman sebangku Elaina tidak bergabung dengan mereka. Dia malah mengeluarkan buku catatan, mulai menulis.

Itu tidak seperti sebuah catatan. Melainkan sebuah cerita pendek. Elaina diam-diam melirik teman sebangkunya itu yang terus menulis. Para siswa tidak diboleh bermain ponsel selama masa orientasi berlangsung. Jadi, hiburan siswa baru, kalau tidak membaca—ada program literasi dari pemerintahan Kota Surabaya sehingga para siswa diwajibkan membawa buku literasi sastra—paling keluar dari kelas hingga jam istirahat berakhir.

Teman sebangku itu pun selesai menulis. Dia merasa begitu lega, tidak seperti saat-saat dia menulis. Penuh dengan konsentrasi, memasang wajah serius. Namun, kini dia memasang wajah dengan lega dan sedikit menlengkungkan bibir ke atas. Teman sebangku itu pun menoleh ke Elaina.

"Ada apa?" tanyanya.

"Tidak ada." Elaina dengan cepat mengalihkan pandangannya. Wajahnya berubah menjadi merah. Ini masih hari pertama, tetapi kenapa malah sok akrab.

"Kamu ingin membacanya?" tanya teman sebangku itu.

Elaina menoleh. Membaca? Dia pun mengangguk. Teman sebangku itu memberikan buku yang berisikan cerita yang baru saja ditulis. Elaina membaca dengan pelan hingga selesai. Ternyata begitu indah, konsep, kata demi kata. Jadi seperti inilah seorang pengarang?

"Ceritamu, lumayan bagus." Elaina memuji.

"Terima kasih, tapi sayangnya ini masih belum sempurna. Aku ragu apakah cerita semacam ini bisa diangkat ke perlombaan. Tahun lalu aku mengikutinya, dan hasilnya gagal. Saat itu juga aku hampir menyerah dan tidak ingin menulis lagi."

Kebetulan atau memang ditakdirkan? Sosok yang berada di samping Elaina memiliki masa lalu yang sama dengannya. Gagal dalam perlombaan. Mendengar itu kadang membuat Elaina sedikit jengkel. Masa lalu yang kelam itu masih membekas dalam diri.

"Maaf, aku tiba-tiba ngelantur." Teman sebangku itu terkekeh.

"Tidak masalah."

"Ali." Teman sebangku itu menjulurkan tangan pada Elaina.

"Elaina," balasnya sembari menjabat tangan.

'Entah ini sebuah takdir atau kebetulan. Namun, siapa yang berada di sampingku saat ini memiliki impian yang juga sama kandasnya denganku. Tetapi, dia sangat semangat. Aura ingin menang dalam perlombaan di dunia kepengarangan itu benar-benar tinggi. Dan kini perjalananku menggapai impian itu mulai tumbuh. Entah dari mana asalnya. Aku memulainya dari nol.'

Next chapter