10 Siska

Terhitung tiga hari sejak Anita mengunjungi rumahnya. Sejak saat itu pula, Anita terus saja 'meneror' anaknya, baik lewat chat atau pun panggilan telepon.

Ingin Dava membiarkan telepon Anita, tapi wanita itu akan mengoceh dan bertanya: kenapa tidak diangkat telepon mommy? Kamu sudah tidak peduli lagi pada mommy?

Ya begitu lah nasib Dava. Ia hanya memiliki Anita sementara ayahnya telah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Dava tak enak untuk menolak permintaan ibunya itu.

Di sini lah Dava berada, di sebuah restoran ternama di Jakarta. Dava sedang menunggu wanita yang akan makan malam dengannya.

Sekitar lima belas menit Dava menunggu, tapi belum ada tanda tanda si wanita akan datang.

"Ck! Kenapa lama sekali?" Dava sudah mulai tidak sabar.

Laki-laki itu tidak menyukai orang yang datang terlambat. Terlambat satu atau 2 menit tidak masalah. Tapi ini, lebih dari batas toleransi yang bisa Dava sanggupi. Hingga tiga puluh Menit berlalu. Namun, si wanita tak kunjung datang.

"Harusnya aku tidak datang kesini." Dava berdiri dan hendak pergi.

Dari arah depan, seorang wanita yang memakai gaun berwarna merah di atas lutut menghampirinya. Wanita itu berkata, " maaf, aku telat. Apa kau mau pergi? Maaf, ya aku telat. Aku minta maaf. Tolong duduk lagi, ya. Kumohon."

Dava akhirnya duduk kembali. Ia mengalah bukan karena wanita yang berpenampilan cukup terbuka ini, tapi Dava tak ingin Anita mengeluh karena sifat perfeksionis dan disiplinnya yang terlalu over, itu kata Anita.

Dava memanggil pelayan dan meminta daftar menu. "Tolong berikan aku teh terbaik yang ada di restoran ini, ya," ujar Dava. Ia memberikan buku menu itu pada si wanita.

Wanita itu melihat-lihat secara sekilas. Ia berdehem. "Aku pesan salat sayur dan minumnya air putih saja."

"Ada yang lain lagi?" tanya si pelayan.

"Hanya itu," jawab Dava.

"Satu teh terbaik yang ada di sini, satu salat dan air putih akan segera datang." Pelayan itu pun pergi."

"Kenapa---"

"Tunggu sebentar." Wanita itu memotong pembicaraan Dava dan Dava tak suka itu. Si wanita mengambil cermin kecil. Ia melihat penampilannya. "Masih ok." Perkataannya masih bisa didengar oleh Dava.

Dava berdehem. "Ekhem."

"Ouhh." Dengan segera wanita tadi memasukkan cermin kecil itu ke tasnya. Ia menata sedikit rambut panjangnya. "Maaf. Namaku Siska."

"Namaku Dava."

Siska mengangguk. "Aku mendengar banyak tentangmu dari Bibi Anita."

Dava mengernyitkan kening. "Kenapa juga mom menceritakanku pada wanita tak disiplin dan kurang sopan ini? Semoga mom tidak mengatakan hal yang aneh-aneh," batin Dava.

"Memangnya apa yang dia katakan?"

Siska merapikan kembali rambut yang sebenarnya sudah rapi. "Bibi Anita bilang kalau anaknya sangat tampan dan sukses. Kurasa apa yang diucapkan ibumu memang benar. Kau tampan dan semua barang yang melekat di tubuhmu terlihat mewah dan mahal," ujar Siska jujur.

Di mata Dava, Siska memang menyebalkan. Itu lah kesan pertama yang bisa Dava berikan, tapi ada sisi baik dari Siska, yaitu wanita tersebut berkata jujur tentang apa yang dilihatnya dari serorang Dava.

Namun, sisi baik itu tak cukup untuk membuat Dava menjatuhkan pilihannya pada Siska. Kemudian pikirannya terlintas nama Adel. Wanita itu membuatnya nyaman dan tak bisa tidur dengan tenang waktu belum mengetahui nama Adel.

"Kenapa aku jadi merindukan Adel? Aku malah ingin Adel duduk di depanku. Pasti, rasanya sangat menyenangkan," batinnya tersenyum.

Tak lama kemudian, pesanan keduanya telah sampai. Dava berkata, "Makan lah dulu. Baru kita lanjut bicara."

Siska mengangguk. Wanita itu mulai memakan makanannya. Diam-diam Dava melihat Siska, bukan karena terpesona, tapi karena ingin melihat bagaimana wanita seperti Siska makan.

Seperti kebanyakan wanita yang ia kenal dan sempat dikencani, cara makan mereka pun sama. Pelan pelan sekali.

"Apa semua wanita seperti itu makannya? Lambat sekali," ujar Dava dalam hati.

Beberapa menit kemudian, Siska dan Dava telah menyelesaikan makan malam mereka. Dava berucap, "Apa kesibukanmu untuk saat ini."

Siska menjawab, "Aku sedang sibuk menjalani pemotretan di salah satu produk ternama. Ya, bisa dibilang perkerjaanku adalah model. Banyak produk-produk terkenal yang memintaku untuk menjadi model mereka. Aku jadi semakin sibuk. Itu sebabnya aku terlambat datang ke sini."

"Seorang model ternyata," batin Dava.

"Berapa lama menjadi Model?"

"Sudah bertahun tahun. Aku mulai terjun saat usiaku tujuh tahun," ujar Siska lalu meminum air putihnya.

Dava sejujurnya tak berminat untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Sebelumnya ia pernah berkencan dengan seorang model, tapi hubungan mereka tidak berlanjut.

Endingnya, Dava diputuskan karena dianggap hanya main-main saja. Banyak sterotip jelek tentang model. Meski tak semua model seperti itu, tapi sedikit banyak Dava percaya tentang sterotip umum masyarakat.

Ia pernah melihat model-model yang memanfaatkan wajah dan tubuh indah mereka untuk menarik minat para laki-laki. Kalian pasti tahu lah.

Dava pun pernah digoda oleh model yang cukup terkenal. Namun, untungnya ia bisa mengendalikam dirinya atau jika tidak ... akibatnya akan buruk, misal terjadi pernikahan. Dava tak ingin sembarang orang menjadi ibu dari anak satu-satunya.

*****

'Kencan' semalam tak membuahkan hasil. Dari Dava sendiri memang tak ingin mengenal Siska lebih jauh lagi.

Kesan pertama pada wanita semalam sungguh tak baik. Suka ngaret dan kurang sopan, merupakan sifat yang tak disukai Dava.

"Bagaimana kencanmu semalam dengan Siska? Mommy harap berjalan dengan baik. Siska itu cantik, pintar. Pasti cocok untukmu."

Pagi-pagi sekali Anita sudah bertandang ke rumah Dava. Wanita itu tak sabar ingin mendengar secara langsung mengenai kencan keduanya semalam.

Dava hanya bisa bersabar menghadapi sikap Anita yang selalu tak gentar memilihkan calon pendamping untuknya. "Aku dan Siska hanya makan malam biasa."

"Hah? Hanya makan malam biasa?"

"Iya. Kami hanya mengobrol sebagai basa-basi kemudian pulang setelahnya. Di mataku, Siska tak cocok untuk menjadi ibu Theo. Aku ingin anakku mendapatkan ibu terbaik."

Anita kecewa mendengar penuturan anaknya. Dari semalam Anita sudah memimpikan bahwa keduanya akan lanjut ke tahap yang lebih serius, tapi nyatanya tidak.

"Padahal mommy sudah memimpikan kalian menikah," ujarnya dengan raut wajah sendu.

Dava menghela napasnya. "Mom, tidak semua yang Mom inginkan akan terlaksana. Apalagi aku ini sudah memiliki Theo. Kebahagiaannya lah nomor satu. Aku harus hati-hati dalam memilih pasangan. Aku tidak ingin menyesal Mom. Tolong pahami itu."

Anita mengerti dan ia tahu, tapi sebagai seorang ibu ia tak tega melihat Dava mengurus Theo. "Mommy mengerti."

"Nenek," ujar Theo sembari berlari ke arah Anita.

Anita tersenyum. Ia memeluk Theo. "Cucu nenek sudah bangun, ya."

Thelo mengangguk. "Theo kan anak rajin sekarang, Nek."

Anita dan Dava terkekeh. Anita mencium pipi gembul Theo. "Wanginya cucu nenek."

"Theo, makan sarapanmu dan bersiaplah pergi ke sekolah," titah Dava.

"Iya, Daddy." Theo pun pergi dari sana.

avataravatar
Next chapter