18 Lunch

Rapat kali ini cukup alot. Saat rapat berlangsung, Dava hanya bisa menghela napasnya. Ia melihat jam di tangannya. Sebentar lagi waktunya makan siang.

Beberapa menit kemudian rapat akhirnya selesai. Dava melonggarkan dasinya. Ia berjalan dengan langkah lebar menuju ruangannya.

"Dava."

Dari arah depan muncullah manusia yang tak ingin Dava harapkan kehadirannnya, dia adalah Siska. Wanita itu memakai setelan berwarna hitam yang mencetak lekuk tubuhnya. Senyum manis dipancarkan oleh siska.

Beberapa karyawan yang melihatnya---khusus para pria---berhenti sejenak. Mereka memandang bagaimana cara Siska tersenyum dan berpakaian.

Dava melihat ke sekitar. Ia membuang napasnya kasar. "Kenapa juga wanita ini tiba-tiba berada di sini? Aku tidak pernah membalas pesan atau panggilannya. Aissh. Harusnya nomornya aku block saja," batin Dava yang menyesal tidak memblokir kontak Siska.

Dava tak memberikan nomornya. Anita, wanita tersebut lah yang memberikannya pada Siska dan Dava harus menanggung akibatnya.

Siska berhenti di depan Dava. Senyum lebar masih ia pertahankan. "Kenapa kau tidak menjawab pesan dan juga panggilanku? Kau ke mana saja? Apa kau sibuk?" tanyanya bertubi-tubi.

Dava sama sekali tak ada niatan untuk membalas perkataan Siska. Namun, siska tiba-tiba saja melakukan hal yang tidak terduga. Wanita itu menggandeng lengan Dava. Beberapa karyawan yang melihatnya juga terkejut.

"Wah siapa wanita cantik nan seksi itu ya?"

"Aku baru melihatnya ada di kantor ini."

"Dilihat dari interaksi mereka, wanita itu pasti kekasihnya Pak Dava."

"Yahh, padahal aku ingin mendekatinya. Siapa tahu kan dia luluh sama aku."

"Hush, kecilkan suaramu! Atau kekasih Pak Dava akan marah. Bisa-bisa Pak Dava memecat kita karena membuat kekasihnya kesal."

Begitu lah bisik-bisik yang dapat Dava dengar. "Kekasih apanya? Aku bahkan tidak ingin mengenalnya. Ini lagi, kenapa juga si Siska malah manja padaku?" Dalam hati Dava, ia merutuki sikap Siska yang lagi-lagi begitu agresif.

Dava mencoba melepaskan diri dari Siska. Namun, Siska tak mudah lepas. Terpaksa Dava menyentak kasar lengannya. Berhasil.

Siska mencebik kesal. "Kenapa kau kasar sekali Dava? Aku kan hanya ingin melihatmu sambil membawa bekal makan siang." Siska mengangkat paper bag berisi makanan untuk Dava.

Bisik-bisik kembali terdengar. Dava semakin jengkel. Ia meliihat ke arah karyawannya yang masih asyik menonton. "Apa kalian ke sini untuk bekerja atau hanya menjadi penonton tidak berguna?" Tatapan Dava menajam dengan nada suara yang lebih tinggi dari biasanya. "Kembali bekerja atau segera angkat kaki dari kantor saya!"

Para karyawan langsung tersentak dan segera pergi dari sana. Meskipun Dava bukan lah bos yang galak atau seenaknya sendiri, tapi pria itu pasti akan melakukan apa yang dikatakannya. Tentu saja para karyawan tak mau dipecat.

"Malam ini bagaimana kalau kita nonton bioskop? Ada film romance yang baru saja rilis. Kata teman temanku ceritanya bagus." Siska sama sekali tak terpengaruh dengan hal tadi. Malahan, ia semakin terpesona dengan sikap Dava yang cool.

Dava menatap ke arah Siska. Tatapan jengah pun ia layangkan, tapi wanita di depannya masih tidak mengertti juga. Ia melihat ke sekeliling. Tak baik kalau mereka bicara di sini dan Dava tak mau membawa Siska ke ruangannya. Bisa-bisa wanita itu enggan untuk pergi.

Dava menghela napas kasar. "Maafkan aku Nona, tapi aku menolak ajakanmu itu."

Wajah berseri-seri Siska berubah menjadi masam. "Tapi kenapa? Apa kau akan sibuk hari ini?"

"Nona, dengarkan aku baik-baik. Hubungan kita tidak sedekat yang kau pikirkan. Aku hanya menuruti kemauan ibuku untuk makan malam denganmu, tapi itu bukan berartti aku menyukaimu atau bersedia menjalin hubungan yang lebih. Sekarang, sebaiknya kau keluar dari sini."

Siska mencoba meraih tangan Dava tapi pria itu segera menepisnya. "Davaaaa." Siska merengek.

"Aku mohon kau pergi dari sini. Kalau tidak, aku akan panggilkan security untuk mengusirmu. Kau pasti tak mau itu kan?" ancaman Dava berhasil membuat Siska pergi. Pergi dengan rasa jengkel yang amat sangat. Dava akhirnya bisa menghela napas lega.

*****

Sementara itu, di rumah Adel, wanita tersebut dan Theo sedang bermain ular tangga. Theo yang paling bersemangat di sini. Di rumah ia tak bisa bermain permainan yang mengikutkan dua orang, pernah ia mengajak pengasuhnya dan pelayan lain untuk main.

Namun, sikap mereka aneh bagi Theo. Seperti sungkan. Jika sudah begitu, maka Theo tidak akan puas.

"Yeayyy, Theo menang." Ia tersenyum lebar saat dadunya menempati kota terakhir. Tadi, beberapa kali dadunya terpaksa harus turun karena kotaknya ada gambar ular. Dava berdiri dan lompat-lompat kecil.

Adel yang melihat raut wajah bahagia yang terpancar pada wajah Theo pun ikut merasa bahagia. Ia ikut bertepuk tangan saat anak itu melakukan hal yang sama.

"Wah Theo hebat."

"Iya dong Kakak Cantik. Theo seneng bisa main ular tangga. Kalau di rumah, daddy sibuk dan yang lainnya seperti aneh gitu."

"Aneh bagaimana?"

Wajah Theo tampak berpikir. "Aneh bagaimana ya? Pokoknya aneh aja, Kakak Cantik." Theo masih belum paham apa arti sungkan dan tidak enak. Yang bocah itu tahu adalah orang lain senang atau tidak saat bermain.

Tok tok tok

Pintu diketuk dari luar. Adel segera beranjak dari duduknya. Dlihatnya ternyata ada Dava di depan pintu. "Tunggu sebentar, aku akan panggilkan Theo."

"Tunggu," cegah Dava. "Aku ke sini bukan hanya mengajak pulang Theo, tapi untuk mengajakmu makan siang. Sebagai ucapan terima kasihku. Aku harap kau mau. Theo juga pasti akan senang." Lagi dan lagi, jurus andalan Dava adalah Theo. Mau bagaimana lagi? Jika tidak begitu, Adel pasti akan menolak. "Bagaimana? Kau mau kan?"

*****

Adel, Dava, dan Theo sedang berada di salah-satu restoran tak jauh dari perusahaan Dava. Karena ini jam makan siang, tentu pengunjung yang datang lebih ramai dari baisanya.

Untung saja Dava kenal dengan pemilik restoran ini, ia bisa dapat tempat duduk tanpa harus repot-repot mengantre.

Sedangkan Adel lagi-lagi berhasil dibuat gelisah oleh kelakuan Dava. Bagaimana tidak, tempat yang dipilih pria itu merupakan restoran mahal.

Adel belum pernah datang ke sini, tapi temannya pernah. Temannya itu menyesal telah memilih tempat itu sebagai ajang pdkt gebetannya.

"Dava makan siang saja harus di restorsn mahal. Sebenarnya, seberapa kayanya sih pria ini?" Dava melihat interaksi antara Dava dan Theo.

"Tidak baik memakan ayam goreng setiap hari, Jagoan. Ayo, pilih yang lainnya saja."

Dava langsung menolak permintaan Theo begitu anak itu menunjuk ke arah ayam goreng yang ada di menu. Theo yang mendapat sinyal pelarangan dari sang ayah pun cemberut.

Ia mencoba meyakinkan Dava. "Kenapa? Kata bu guru, makan ayam goreng itu baik."

avataravatar
Next chapter