3 Ketertarikan

Seorang laki-laki dengan setelan jas mahal keluar dari mobilnya. Dia mengecek ban mobilnya yang ternyata bocor. "Sial! Kenapa disaat penting, malah bocor."

Dalam hati Dava terus mengumpat setelah netranya melihat ke sekeliling, jalanan yang dilewatinya sepi, sesepi hatinya. Tidak ada manusia yang ada di sana kecuali dirinya. Yang ada dua ekor kucing yang sedang tindih menindih.

Dava menggelengkan kepalanya. "Dasar hewan."

Kepalanya mendongak ke atas, awan-awan mendung mulai menutupi langit yang tadinya cerah seperti perasaannya. Tetes-tetes rintik hujan mulai berjatuhan. Dava merasa mendapat kesialan beruntun.

"Ban mobil bocor dan tidak ada siapa pun di sini dan sekarang hujan. Tujuanku juga masih jauh."

Setelahnya, laki laki tersebut teringat sesuatu. Ada satu benda yang akan bisa membantunya: ponsel. Dava segera mengambilnya di mobil. Helaan napas penuh kelegaan begitu melihat baterai dan pulsanya masih dalam jumlah yang banyak.

Dava lantas menelepon salah-satu temannya. Namun, teleponnya tak kunjung diangkat. Setelah ditelepon sebanyak tiga kali, baru lah diangkat. "Ke mana aja lo baru ngangkat telepon gue?!"

"Santai Pak Bos. Tadi gue abis dipanggil alam buat membuang hasil pengolahan makanan yang tak terpakai. Oiya, tumben lo nelpon? Jangan bilang kalo lo kangen."

Dava memijit pelipisnya. Berbincang dengan Evan harus ekstra sabar kalau tidak ya tekanan darah bisa-bisa naik ke puncak gunung everes. "Bisa nggak sih lo serius sesekali? Ini darurat!"

"Hah? Lo mau gue seriusin lo? Maaf nih ya, gue masih normal. Nggak suka batangan!"

Dava mengembuskan napasnya. Tidak masalah baginya jika Evan bercanda, tapi ini masalahnya serius. "Evan!" Suaranya berubah dingin dan penuh keseriusan.

"Iya, ya, gue tadi cuma bercanda kok. Kenapa nelpon gue? Ada masalah?" tanyanya. Kali ini Evan bertanya dengan kesungguhan harinya yang teramat dalam, sedalam samudera.

"Kirim orang bengkel lo buat perbaiki mobil gue. Gue ada di jalanan deket apartemen lo nih. Nggak ada orang di sini sama sekali."

"Ok, deh nanti gue kirim."

"Hm." Dava langsung mematikan teleponnya secara sepihak.

Sedangkan Evan berdecak sebal. Kebiasaan Dava suka sekali mematikan teleponnya secara sepihak. "Seenak jidat nih duda. Untung temen gue, kalau nggak ... udah habis dia. Dasar duda kurang belaian."

*****

Selepas Dava rapat dengan para rekan bisnisnya, dia memutuskan untuk tidak ke apartemen Evan dan Evan pun sudah mengetahuinya.

Sekarang Dava berdiri di depan pintu apartemen Evan. Laki-laki itu bersedekap dada. Sudah dua menit dia berdiri bak patung di sini. Namun, belum ada hilal Evan akan membukanya.

Beberapa detik kemudian, Evan pun membuka pintu tadi. Dengan wajah bantal dan nyawa baru terkumpul empat puluh persen. Evan berkata, "Bukannya tadi sudah dibersihkan apartemenku?" tanyanya ngawur.

Pletak

Dava menjitak kepala Evan agar laki-laki itu segera membawa sisa nyawanya yang masih tertinggal di alam mimpi. "Bangun! Molor aja kerjaan lo. Udah jam berapa nih baru bangun? Dasar kebo!"

Dava langsung masuk begitu saja. Dia duduk di sofa dengan menyilangkan kakinya di atas meja. Evan yang telah sadar sepenuhnya pun berjalan gontai ke arah Dava.

"Gue lembur tadi malam. Baru dua jam gue tidur, eh lo dateng. Jadi, kebangun," jelasnya apa adanya. Evan diketahui sebagai arsitek handal. Karyanya pun sudah banyak diakui oleh orang-orang. Mereka berlomba lomba untuk dibuatkan bangunan yang memiliki cita rasa seni yang tinggi.

"Hm."

"Ham hem ham hem aja. Tumben lo ke sini. Pasti ada maunya. Ngaku nggak lo!"

Sepengetahuan Evan, Dava selalu datang membawa sebuah permintaan. Entah itu yang mudah atau yang sulit, tetapi jika tidak ada apa pun Dava datang ke kediaman Evan, percayalah, dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja.

"Gue ... gue."

Lidah Dava kelu untuk mengatakan apa yang ada dalam pikiran dan juga hatinya. Dia bisa menyelesaikan persoalan ini sendiri, tapi Dava tidak seahli Evan dalam hal yang akan dibicarakannya.

"Ck! Bukan kebiasaan lo buat ngomong ragu-ragu. Biasanya juga ngomong langsung trabas kanan kiri depan belakang atas bawah."

"Lo inget nggak wanita yang nyium gue waktu di club?" tanya Dava yang mengamati raut wajah Evan yang sedang berpikir.

Evan mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ngingat. Waktu itu, dia dan Dava bersama-sama pergi ke club untuk menjernihkan otak yang dilanda rasa jenuh.

Namun, kejadian tak terduga pun terjadi. Sesaat setelah mereka masuk ke dalam club, ada seorang wanita yang menghampiri Dava kemudian menyodorkan diri pada Dava.

Evan yang saat itu berada di belakang Dava sontak ikut terkejut. Laki-laki menatap Dava dalam diam. Netranya memicing. "Jangan bilang kalo lo penasaran sama wanita itu."

Dava berdehem. Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering. "Lo jangan mikir aneh-aneh, ya! Gue cuma pengen tau aja siapa dia. Beraninya main nyosor duluan."

Evan tak langsung percaya. Dia duduk di single sofa. Sebelumnya, banyak para wanita yang rela melemparkan tubuh mereka cuma-cuma untuk bisa bersama Dava satu malam saja.

Maklum, Dava terkenal sebagai duda keren yang pesonanya melebihi aktor-aktor hollywood. Memiliki wajah yang rupawan dan lebih dominan wajah bule—karena blaster. Selain itu, Dava memiliki kekayaan yang sudah tidak diragukan lagi serta tubuhnya yang atletis menambah pesona Dava.

"Ohh gitu." Evan kali ini ingin mengikuti permainan Dava yang memang pada dasarnya memiliki ego yang tinggi. "Trus lo nyuruh gue nyari? Gitu?"

"Nggak juga sih. Kalau soal itu, gue bisa ngatasin semua itu. Gue cuma mau cerita soal itu aja."

Evan terkekeh mendengarnya. Dia tahu kalau Dava tertarik dengan wanita tersebut, tapi yang namanya Dava mana mungkin mengaku jika tidak dari hatinya sendiri.

"Terus lo ceritanya mau curhat? Bilang aja lo tertarik sama tuh wanita, wajar aja. Lo kan udah lama ngeduda, mungkin jiwa kedudaan lo butuh kehangatan wanita di luaran sana." Evan menarik turun kan aslinya.

Laki-laki itu suka sekali menjahili Dava dan status temannya tersebut. Pasalnya, sudah banyak wanita yang terang-terangan menyukai dan ingin menikah dengan Dava, tapi dia tolak semua. Wajar saja, semua wanita yang ditolak hanya menginginkan Dava dan juga hartanya.

Berbeda halnya dengan Evan, meskipun tahu bahwa wanita mendekat kebanyakan hanya karena harta, dia tetap tidak keberatan. Karena pernikahan tidak ada dalam kamusnya. Dia bisa bermain main dengan wanita yang pantas dipermainkan tentunya.

"Tenang Dav, gue akan bantu lo buat cari wanita itu. Siapa tahu dia jadi istri lo dan ibu buat Theo."

Dava memandang sengit Evan. Istri dan pernikahan, dua topik yang sangat ingin dihindarinya. Baginya tidak ada pernikahan yang benar-benar tulus sampai akhir. Banyak yang menyerah dan memutuskan untuk bercerai.

Drrt drrt drtt

"Apa?" tanya Dava pada si penelepon.

"Tuan, Tuan Muda Theo kabur dari rumah. Saya dan pengawal lainnya sedang mencarinya."

Mendengar berita tersebut, langsung menyulut kemarahan Dava ke puncak tertinggi. Jika berhubungan dengan Theo, Dava akan sangat sensitif. "Cari dia sampai ketemu. Aku akan pulang. Kalau sampai Theo tidak ketemu dalam dua puluh empat jam, maka jangan bekerja lagi ditempatku!" Dengan murka, Dava mematikan teleponnya. Laki-laki tadi pun berdiri.

"Ada apa?" tanya Evan yang menyadari perubahan emosi Dava.

"Theo kabur dari rumah." Setelahnya, Dava pun pergi.

"Tunggu, Dav, gue ikut." Evan pun mengejar Dava.

avataravatar
Next chapter