15 Keluguan dan Kasih Sayang

Mendengar suara bel pintu berbunyi, Dava yang hendak menaiki tangga pun diurungkannya. Ia memilih membuka pintu sendiri. Ia terkejut melihat Adel dan Theo di depannya saat ini.

"Aku ke sini untuk mengantarkan Theo. Dia tadi ke rumahku. Katanya belum bilang. Makanya aku antar dia pulang ke rumahnya." Tanpa basa-basi Adel langsung ke inti pembicaraan.

Dava berjongkok. Ia memegang kedua pundak putranya itu. "Theo jangan seperti itu lagi ya, Sayang. Bagaimana kalau terjadi apa-apa pada Theo? Daddy akan sedih." Ia memasang wajah sedih, kemudian mengelus puncak kepala anak tersebut.

"Tapi, Daddy kan---"

"Theo katanya mau es krim? Daddy sudah membelinya. Rasa cokelat dan ada choco chips di dalamnya."

Mata Theo membulat dan berbinar penuh minat. Beberapa hari ini ia belum makan es krim sedikit pun. Tadi malam The merengek minta dibelikan.

"Daddy membelinya untuk Theo?" tanya anak itu.

"Iya. Untuk apa lagi es krim itu jika bukan untuk anak daddy yang tampan ini." Dava mencubit gemas pipi gembul nan kemerahan Theo.

Melihat pemandangan sweet di depannya, Adel tersenyum. Ia jarang melihat secara langsung interaksi antara ayah dan anak seakrab ini.

"Ternyata si hot daddy memang benar-benar penyayang ya. Beruntung bisa menjadi istrinya. Eh," batin Adel.

Theo memandang wajah Adel sebentar. "Theo akan ambilkan es krim juga untuk Kakak Cantik." Anak tadi segera berlari ke dalam.

"Tidak usah Theo." Terlambat. Theo sudah menghilang dari pandangannya. Wanita itu pun hanya bisa menghela napasnya.

Dava berdiri. Ia berdehem untuk meredakan tenggorokannya yang entah kenapa merasa tidak nyaman. "Ayo, silakan masuk." Di dalam hati, Dava berharap kalau Adel mau masuk dan berbincang sebentar.

Adel menggeleng. "Tidak, terima kasih atas tawarannya. Aku harus pergi."

"Tunggu," cegah Dava saat melihat Adel akan membalikkan badan. "Masuk lah sebentar saja. Ini kali kedua kalinya kau mengantarkan anakku. Aku berterima kasih padamu. Tolong, masuk dulu. Setidaknya, aku bisa berterima kasih dengan baik." Tak pantang menyerah, itulah Dava. Ia masih membujuk Adel.

"Tapi ...."

"Jangan merasa sungkan. Masuk saja. Lagi pula kalau kau pulang, Theo akan sedih dan marah nanti. Anak itu tadi mau memberimu es krim kesukaannya. Kasihan kalau dia kembali lagi dan tidak mendapatimu di sini." Senjata andalannya adalah Theo. Itu adalah bujukan terakhir. Dava yakin kalau Adel tak akan tega membiarkan Theo sedih dan marah.

"Ya, baiklah, aku akan masuk."

"YES!" Sorakan gembira Dava ucapkan dalam hati.

Ini kali pertama Adel benar-benar masuk ke dalam rumah Dava. Seperti dugaannya, kondisi di dalamnya pun tak kalah mewah dan menawan seperti di luar.

Di depan sana ada tangga besar yang melingkar. Di tangga itu juga diberi karpet berwarna merah. Warna keemasan dan merah yang mendominasi.

Terdapat guci-cuci besar di beberala titik, ada lukisan abstrak serta lampu-lampu kristal yang membuat semakin menawan. Pandangan Adel langsung jatuh ke bawah. Lantainya dibuat dari marmer. Begitu mengkilap, seperti kilauan permata yang kian menambah 'mahal' rumah Dava.

"Ini bukan rumah, tapi istana. Benar-benar mengagumkan. Kalau rumahnya sebesar dan semewah ini, berapa ya uang yang harus dikeluarkan untuk merawat rumah ini? Sekaya apa Dava itu?" tanyanya dalam hati.

"Ayo, silakan duduk."

Perkataan Dava membuyarkan lamunan Adel dari rasa kagumnya. Ia tersenyum samar. Merasa malu. "Dava lihat tidak ya kalau aku mengagumi rumahnya? Aduhh, aku seperti norak saja," rutuk Adel dalam hati.

Adel pun duduk. Sekarang, ia tak tahu harus berbicara apa. Begitu pun dengan Dava. Pria itu berujar dalam hati, "Ayo Dava, cari topik pembicaraan atau Adel akan menilaimu sebagai pria yang membosankan."

Tak lama setelah itu. Theo datang dengan sekotak es krim berukuran kecil di tangannya. Ia tersenyum sembari menaruh es krim tadi ke atas meja.

"Ini es krim yang Theo ingin berikan pada Kakak Cantik." Theo menggeser wadah es krim untuk lebih dekar pada Adel.

"Theo, sini."

Mendengar Dava memanggil sembari mengisyaratkan untuk ke sana, Theo pun menghampiri Dava. "Ada apa, Daddy?" tanyanya dengan raut polos.

Dava menghela napasnya. Ia mengambil tisu yang ada di meja, kemudian mengelapnya di sekitar bibir Theo. "Daddy sudah bilang, makan es krim itu harus pelan-pelan. Lihat," Dava menunjukkan tisu yang kotor akibat es krim, "es krim Theo menempel di tisu ini. Katanya sudah besar, kok makan es krim masih belepotan."

Theo hanya bisa tersenyum tanpa dosa. "Hehehe. Kalau soal itu, Theo lupa. Theo janji kalau Theo makan es krim nanti, Theo akan hati-hati Daddy."

Adel tak bisa menghentikan bibirnya untuk tersenyum. Keluguan Theo dan kasih sayang Dava benar-benar perpaduan yang sempurna. Kalau ada nominasi pasangan ayah dan anak terbaik, maka pilihan Adel jatuh pada Dava dan Theo.

"Gemesnya," ujar Adel dalam hati.

Theo beralih menatap Adel. Anak itu gantian menghampiri Adel. Theo membuka kotak es krim itu dan mengarahkan sendok yang sudah terisi es krim pada Adel.

"Kakak Cantik, ayo buka mulutnya. Aaaaa." Mulut Theo terbuka. Memperagakan perkatannya yang terakhir tadi.

Adel terkekeh. Ia menerima suapan yang diberikan Theo padanya. "Wah, es krimnya lezat."

"Es krim pilihan Theo pastinya lezat Kakak Cantik, tapi entah kenapa daddy kurang suka." Theo mendekatkan diri pada Adel. "Kata nenek Theo, daddy begitu karena kebanyakan makan pare. Makanya lidahnya pahit." Theo terkikik geli.

Dava mendengar ucapan Theo. Ia segera menyanggah. "Abaikan saja perkataan Theo. Dia memang seperti itu."

Theo menatap sengit Dava. "Ih, Theo berkata jujur. Nenek yang memberitahu Theo. Kalau daddy tidak percaya, tanya saja pada nenek." Theo beralih melihat ke arah Adel. "Kakak Cantik, ayok kita main."

"Mm-maaf Theo Sayang, kakak harus pulang."

"Yahhh." Wajah Theo kecewa mendengar jawaban Adel.

"Besok kalau Theo mau main dengan kakak, Theo datang saja ke rumah kakak. Theo paham?"

Theo mengangguk lesu. "Iya."

"Maaf, ya." Adel dan Dava berdiri. "Aku akan pulang."

"Biar aku yang mengantar," tawar Dava.

"Tidak usah. Aku akan naik taksi saja. Terima kasih atas tawarannya."

Sebenarnya Adel merasa kurang cocok di rumah Dava. Ia merasa insecure dengan semua kemewahan yang Dava miliki. Dava begitu kaya dan berkelas, sedangjan dirinya hanyalah orang biasa yang mengais rezeki sedikit demi sedikit. Selain itu, Adel mendengar suara hujan yang masih jauh.

Dava dan Theo mengantar sampai pintu. Baru kaki Adel akan melangkah keluar, suara hujan yang deras semakin kencang. Pada akhirnya sang hujan pun turun dengn derasnya.

"Duh, kenapa hujan sih?" batin Adel tidak terima. "Harusnya hujan menungguku pulang dulu. Sekarang bagaimana? Aku tidak membawa payung. Sedangkan jarak pintu rumah ke gerbang cukup jauh," lanjutnya lagi dalam hati.

avataravatar
Next chapter