12 Kawan atau Lawan?

Beberapa menit telah berlalu, tapi Dava masih memperhatikan kedua orang itu yang sesekali tertawa karena pembicaraan mereka.

Rasanya Dava seperti terjatuh dalam kuali berisi minyak panas, rasa terbakar menjalar ke seluruh tubuh. Makanan di depannya pun belum disentuh sama sekali.

Sendok yang dipegangnya malah ia pegang kuat-kuat. Namun, untungnya, ia langsung sadar dan meletakkan alat makan itu ke meja. Kan tidak lucu kalau dirinya dimarahi hanya karena merusak sendok. Mau beralasan apa? Cemburu melihat Adel bersama pria lain? Memang siapa Dava itu?

"Daddy, kenapa tidak dimakan?" tanya Theo yang ingin memasukkan ayam goreng ke dalam mulutnya.

"Ini daddy mau makan." Dava langsung menyantap makanannya.

Terasa hambar saat menyentuh lidahnya, padahal tadi terasa lezat. Efek cemburu memang sedahsyat ini ternyata. Kalau begini, ia tak akan menghabiskan makanannya.

"Daddy mau?" tanya Theo yang menyodorkan paha ayam di depan Dava.

Dava menggeleng. Ia mengelus kepala Theo. "Buat Theo aja ya. Biar Theo cepet besar. Katanya pengen besar supaya bisa cari uang buat beli ayam goreng yang banyak."

Theo mengembalikan ayam tadi ke atas piring. Ia mengangguk. "Benar juga, ya Daddy. Theo kan ingin cepat besar. Theo mau memakai pakaian yang Daddy pakai. Theo juga mau punya banyak uang biar bisa beli ayam goreng."

Dava tersenyum melihat wajah serius yang menggemaskan milik Theo. Anak itu terus saja berceloteh sembari makan.

Dava mengacak rambut Theo pelan. "Makan yang banyak ya anak daddy. Pas makan, jangan sambil bicara nanti bisa tersedak. Ok, Pangeran Tampannya daddy." Theo mengangkat jempolnya sembari tersenyum. "Anak pintar." Perhatian Dava beralih pada Adel yang sudah berdiri dan hendak pergi.

Ia hampir saja ikut berdiri, tapi ia langsung teringat tentang keberadaan Theo. Dava menatap Adel dan Theo bergantian. Dava menghela napasnya. Ia kembali duduk sembari memandang punggung Adel yang kini tak terlihat.

*****

Adel turun dari motor. Ia melepas helm serta lalu mengembalikannya pada si pemilik. "Thank you ya lo udah teraktir gue makan." Adel tersenyum pada sepupu jauhnya tersebut. Sepupunya bernama Rangga. Rangga baru saja pindah ke Yogyakarta karena pria itu berkuliah di kota tersebut.

"Jangan sungkan. Gara-gara lo juga kan gue keterima di kampus favorit gue." Rangga tersenyum.

Impian untuk masuk ke kampus idaman akhirnya terkabul. Saat sedang belajar untuk mengikuti ujian, Adel banyak membantunya dengan mengajarinya pelajaran yang menurut pria itu sulit. Adel menjelaskan dengan rapi hingga Rangga mudah memahami apa yang disampaikan.

"Lo juga kan udah usaha. Otak lo kan mayan encer juga."

"Bener juga sih. Oiya, kenapa lo nggak daftar kuliah. Gue yakin duit lo cukup buat biaya awalnya."

"Ya, gimana ya Ngga, gue sih mau-mau aja, mau banget malah, tapi lo tahu sendiri kan kondisi toko nggak tentu. Kadang rame, kadang sepi. Bahan harga makanan juga turun naik." Adel menghela napasnya. Ada banyak hal yang menjadi prioritasnya, bertahan hidup contohnya.

"Lo bisa ambil beasiswa. Gue yakin lo keterima. Otak lo encer kok. Gue yakin kalo lo lulus, lo bakal dapat nilai tertinggi. Percaya sama gue."

Rangga tahu betul bagaimana keinginan Adel untuk berkuliah. Ia juga tahu kalau sepupu jauhnya ini berotak pintar.

"Nggak deh. Ambil beasiswa itu berat. Nilainya harus selalu memenuhi kriteria. Harus fokus juga belajar. Sedangkan gue kan keteteran buat bagi waktu antara kerja sama belajar. Walaupun biaya kuliah gratis, tapi ada kebutuhan gue yang harus dipenuhi. Nggak bisa ngandelin uang dari kampus. Iya kan?"

Rangga mengangguk setuju. Sebagai sepupu sekaligus teman dekat Adel, ia merasa kasihan pada wanita itu. Keinginannya hanya ingin melanjutkan sekolah, tapi biaya lah yang menjadi kendala.

Terkadang, Rangga berpikir kenapa orang yang mau sungguh-sungguh belajar malah terhalang faktor ekonomi, sedangkan yang malas, malah punya harta yang melimpah---milik orang tua mereka.

Bukan hanya Rangga yang bertanya-tanya, tapi Adel juga. Adel bahkan sempat berpikir kalau Tuhan itu pilih kasih padanya seperti manusia, tapi makin ke sini Adel tahu bahwa semua itu demi kebaikannya dan Adel sedang menunggu jawaban dari pertanyaannya: kenapa Tuhan tidak memudahkannya dalam meraih pendidikan tinggi.

"Udah lah Ngga, lo nggak usah masang muka melas lagi. Gue beneran nggap pa pa kok sekarang. Lagian, gue udah enjoy sama hidup gue yang kayak gini." Adel memberikan senyumnya. "Gih, lo pulang sana. Udah malem juga. Nanti dicariin mama lo lagi." Seringai jahil pun muncul di wajah Adel.

"Sialan lo!"

Rangga memang pernah dihampiri ibunya saat ia pergi ke kos temannya. Ia ketahuan bohong. Rangga bilang ingin belajar, tapi nyatanya malah bermain game.

Ibunya Rangga sangat marah dan memarahi anaknya tersebut seharian. Adel yang mengetahui itu tentu tertawa terpingkal pingkal karena Rangga dihukum oleh ibunya sendiri.

Di luar Rangga membangn image sebagai orang yang pemberani, tapi saat ibunya marah, Rangga mati kutu.

Adel masuk ke dalam rumah sederhananya ini. Ia langsung menuju kamar dan menjatuhkan dirinya di tempat tidur. Ia menghela napas. Bayangan saat ia melihat Dava dan Theo di tempat tadi.

"Mereka melihatku tidak ya?"

Adel waktu itu ingin menambah minum lagi dan saat menoleh ke belakang, ia melihat Dava sedang biacra dengan Theo. Entah apa yang mereka bicarakan hingga Theo tersenyum dan Dava juga.

Mengingatnya, Adel jadi ikut tersenyum. "Hot daddy itu benar benar menyayangi anaknya. Beruntung banget ya si momynyaTheo punya suami yang baik, perhatian, dan tampan. Paket komplit lah. Kalau aku kelak punya suami sebaik dan setampan Dava, aku ingin gelar syukuran."

*****

Keesokan harinya, Dava meminta bawahannya untuk menyelidiki siapa pria yang bersama Adel semalam. Hanya dalam waktu beberapa jam saja, suruhan Dava tersebut berhasil menemukan identitas sang pria.

Jangan ditanya bagaimana cara kerja orang-orang Dava. Mereka memiliki kemampuan seperti layaknya di film-film. Rasa takut dan khawatir kini timbul kembali.

Ia ragu-ragu untuk membuka email dari bawahannya tentang identitas pria misterius tadi malam. Dava menguatkan diri. Ia mencoba bersikap tenang.

"Tenang Dava, tenang." Dava membuka email tadi. Ia membaca pelan dan saksama setiap kata yang tertuang di file tersebut. Rasa lega langsung terdengar. Ia tersenyum. "Ternyata hanya sepupu dan itu juga sepupu jauh. Pantas saja wajahnya terlihat lebih muda, ternyata baru masuk kuliah tahun ini."

Seandainya jika Rangga merupakan teman Adel, tanpa hubungan kekerabatan apa pun maka Dava akan menganggap Rangga sebagai saingan. Namun begitu ia tahu yang sebenarnya, Dava langsung mencoret nama Rangga dalam list saingannya.

"Aman kalau gitu."

avataravatar
Next chapter