22 Berhenti?

"Kamu emang harus diberhentiin. Hari ini, kamu saya berhentikan."

Lita yang semula tertunduk, menolehkan wajahnya syok. Rasanya tiba-tiba ia mendengar suara petir tidak kasat mata di siang bolong.

"Serius, Pak?" Lita bertanya dengan nada bergetar.

Elanda menatap gadis itu dengan tatapan serius, "Memang kapan saya pernah tidak serius?"

Lita mengatupkan bibirnya. Elanda benar-benar tidak bercanda, "T-tapi kan Bapak baru bilang kalau saya naik jabatan lho. Belum dua puluh empat jam berlalu dari pas Bapak bilang, Pak!"

"Memangnya saya juga sudah dua puluh empat jam bilang kalau saya mengawasi kalian berdua dan saya enggak ingin melihat kalian berdua membawa masalah pribadi ke kantor?"

Lita mengadu-ngadukan kukunya, "T-tapi B-Bapak tadi bilang mau liburan bareng, dinas bareng-"

"Sebelum saya tahu kamu bermasalah dengan emosi. Kamu meledak-ledak, enggak menutup kemungkinan kalau kamu enggak bakal tiba-tiba bongkar soal kerja sama kita, soal partner ranjang. Dan itu, jelas, membahayakan saya."

Lita menatap Elanda kecewa, "T-tapi Pak,"

"Lita, kamu sendiri yang bilang kalau kamu enggak baper dengan saya, kan? Seharusnya ini bukan masalah. Tadi aja kamu sempat nolak tawaran saya, kan?" Tandas Elanda.

"Tapi tadi Bapak sendiri yang bilang kalau Bapak tertarik sama saya, Bapak yang bilang kalau tubuh Bapak merespon tubuh saya."

"Sebelum saya tahu kamu meledak-meledak."

Lita mengatupkan bibirnya sesaat, menatap Elanda dengan tatapan nanar, "Bullshit. Semua cowok sama aja. Mereka manis-manis diawal cuma buat dapatin mangsa biar selangkangan mereka ada yang ngisi. Tapi kalau enggak butuh, habis manis sepah dibuang!" Lita melampiaskan kembali amarahnya.

"Lita, apa yang baru saja saya katakan soal emosi yang meledak-ledak?"

"Bullshit, bullshit, bullshit."

"Lita, saya Bos kamu-"

"Jadi kalau Bos bisa seenaknya, gitu?" Tuding Lita membuat Elanda menatapnya tak percaya atas apa yang baru saja Lita katakan.

"Di mana letak seenaknya? Saya sudah membahas bahwa saya tidak mentolerir sikap tidak disiplin di tempat kerja. Saya sedang bekerja." Ungkap Elanda kesal karena Lita bersikap kekanak-kanakan dan tidak mengerti bahwa Elanda tidak ingin mencampur urusan pribadi dan kantornya.

Lita terdiam menatap jalanan yang ramai lancar dengan kendaraan berlalu lalang. Keadaan semakin memburuk, Lita yang terdiam dengan bibit mengerut menahan tangis, dan Elanda yang tertekan dengan prinsip disiplinnya tapi ia tidak bisa menjelaskannya pada Lita.

Hembusan napas berat terdengar dari bibir Elanda. Elanda melirik Lita yang terdiam membisu tak berbicara, gadis itu membuat Elanda merasa apa yang dilakukan Elanda salah. Tapi Elanda tak ingin membiarkan Lita menjadi sosok egois hanya karena masalah cintanya.

"Saya akan bicara jujur. Ada banyak sifat yang harus kamu rubah, emosional, tidak disiplin, plin-plan. Tadi kamu menolak tawaran saya, bersikukuh kalau kamu tidak terbawa perasaan dengan sikap saya, tapi sekarang kamu terlihat memohon supaya saya enggak tinggalin kamu."

"Saya juga akan bicara jujur. Ada banyak sifat Bapak yang harus Bapak rubah, jangan sok tebar pesona, terlalu kegeeran, plin-plan."

Elanda melirik Lita dengan tatapan tak terima, level dendam gadis ini sungguh-sungguh berbahaya. Tidak heran Lita bisa memikirkan dan nekat dengan rencananya mencampur pil biru pada minuman Dirga.

"Kamu cuma membalik-balikkan ucapan saya. Berarti sifat negatif kamu bertambah. Suka membalik-balikkan ucapan, tidak mau kalah-"

"Bapak sok mengikuti tokoh komik, bersikap softboy, kegeeran berpikir bahwa saya memohon supaya Bapak enggak tinggalin saya,padahal saya cuma enggak mau Bapak pecat saya karena kalau saya dipecat saya enggak punya uang lagi. Semua tabungan saya, saya pake deposit restoran. Terus Bapak plin-plan soalnya Bapak yang buat peraturan jangan membuat hubungan spesial di kantor tapi Bapak malah nawarin saya. Nawarin kolusi sama nepotisme-" Lita melirik Elanda yang menutup mulut dengan ekspresi terkejut. Dalam hati Kita sedikit bangga, Elanda pasti sejak dengan ucapannya makannya Elanda sampai berekspresi seperti itu kan?

"Kenapa? Bapak sadar kalau ucapan saya seratus persen tepat?" Tanya Lita seraya memikirkan kata-kata apa yang seharusnya ia lontarkan pada Elanda selanjutnya agar ia bisa menggenapkan angka kemenangannya dalam perdebatan ini.

"Bukan, saya cuma enggak nyangka kalau hipotesis saya benar." Ujar Elanda kali ini mengusap hidungnya sementara netranya fokus pada jalanan.

"H-hipotesis?" Ulang Lita memastikan bahwa ia tidak salah mendengar.

"Kebodohan kamu yang sangat luar biasa di level-- ah kalau saya lanjutin, daya jadi enggak ada bedanya sama Dirga."

"Bapak nyebut saya bodoh di level bego?" Tanya Lita dengan ekspresi dingin diangguki Elanda tanpa ragu.

"Dan kebodohan itu karena bucin. Baru aja kemarin saya bilang ke kamu kalau pantas saja kamu bodoh, soalnya kamu itu bucin. Orang mana yang mau kasih tabungannya buat modalin pacarnya? Lihat, kamu malah jadi dimanfaatkan dan sakit hati." Ungkap Elanda jujur

"Pak, kata bodoh di level bego itu kasar lho." Lita menundukkan kepalanya, ia tidak bisa mengelak ucapan Elanda. Jika diingat lagi, omongan Elanda sungguh sangat realistis. Orang baik mana yang rela menghabiskan satu-satunya tabungannya hanya demi lelaki yang baru mau berstatus tunangan? Sekarang, jika Elanda memecat Lita, Lita akan kelimpungan dengan biaya kehidupannya beberapa bulan ke depan, meminta pada ibunya? Bahkan Lita yang memberi uang pada ibunya. Di tambah setelah semua konspirasi yang akhirnya terkuak, bisakah Lita tetap bersikap sama pada ibunya? Jadi kenapa Lita malah bersikap kekanak-kanakan dan merengek pada Elanda? Lita tertunduk lalu mengusap wajahnya kasar, sungguh ia malu sekali.

Saat Lita tertegun, Elanda masih terbahak meskipun pelan,"Habisnya saya enggak menemukan kata yang pas. Di mata saya, kamu bodoh dalam cinta."

Lita menyipitkan netranya malas, ah padahal ia baru saja berintrospeksi diri dan hendak meminta maaf, tapi Elanda lagi-lagi memicu perang padanya.

"Memangnya Bapak pintar? Oh atau malah profesor? Kalau ya, kenapa Bapak harus buat hubungan konyol, bukannya hubungan normal? Yang Bapak tawarin juga cuma karyawati bucin, bodoh, meledak-ledak--oh atau karena saya bodoh, bucin dan meledak-ledak, saya jadi target empuk buat Bapak?" Tuding Lita.

Elanda melirik Lita yang menatapnya nanar, "Pemburu yang ngasih tahu buruannya kalau ini adalah jebakan? Kamu berpikir sampai situ atau enggak?"

Lita mengedikkan bahu, ia tak ingin mendengar apalagi memikirkan ucapan Elanda, keegoisan sepertinya sudah menutup telinganya.

"Mungkin Bapak tipe sadistic, atau malah psikopat. Bapak punya semua gejalanya. Bipolar, tenang, pintar, bisa menghapal kata skidipapap dengan beberapa kali dengar doang, sultan--"

Lita memekik saat Elanda tiba-tiba menghentikan mobilnya dipinggir jalan sementara sebelumnya mereka melaju dengan cukup cepat.

Lita melirik Bosnya itu, "See? Sebaiknya segera temui psikolog. Terima kasih tumpangannya, enggak usah khawatir, saya akan mengirimkan surat resign besok."

Lita membuka seatbelt-nya  hendak menarik gagang pintu mobil Elanda, namun teringat bahwa ini adalah jenis mobil sport. Dan karena tadi Lita diburu emosi, Lita lupa bagaimana cara membuka pintu mobil ini. Apakah tadi pintu mobil ini dibuka ke arah atas seperti jenis Lamborghini?

Lita merutuk dalam hati, sial sekali, perkara lupa cara buka pintu mobil, Lita malah jadi harus menelan rasa malunya.

"Selesaikan pekerjaan kamu hari ini, kamu enggak bisa pergi seenaknya." Ujar Elanda hendak menyalakan kembali mobilnya, Lita melirik ke arah pintu. Otaknya berusaha mengingat dengan keras bagaimana tadi Elanda membuka pintu mobil ini saat mempersilakan Lita masuk. Tapi nihil, otaknya buntu, ia tidak dapat mengingat apa pun apalagi hal seperti bagaimana cara membuka mobil sport yang tidak ia tahu tipe apa. Apakah pintu mobil ini menggunakan lambodoor yang ditarik ke atas? Kalau iya, bagaimana cara membukanya? Lita tidak pernah menaiki mobil sport selama dua puluh lima tahun hidupnya!

"K-karena saya profesional, saya bakal stay." Lita melirik Elanda yang terdiam lalu, berpura-pura sibuk menatap jalanan. Elanda hanya bisa menatap gadis itu sekilas, lalu melanjutkan perjalanannya dengan sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya.

avataravatar
Next chapter