17 Tragedi

"APA?" teriak Jiya yang terlihat terkejut.

Semua orang yang ada di ruangan itu pun menatap ke arah Jiya dengan penasaran.

"Baik-baik, aku akan secepatnya ke sana," ujarnya lagi menanggapi kalimat orang yang ada di dalam panggilan tersebut.

Setelah selesai mengatakan hal tersebut, Jiya pun menutup panggilan itu.

"Ada apa?" tanya Nindy dengan suara lemah.

"Toko kue kebakaran," jawab Jiya sambil memasukkan ponsel tersebut ke dalam sakunya dengan cepat.

"Ji," panggil Nindy sambil menatap sahabatnya yang terlihat gugup itu.

Jiya pun menatap Nindy. "Ya?"

Nindy melambaikan tangannya, dan Jiya pun segera mendekat.

"Kenapa?" tanya Jiya saat sudah berada di dekat ranjang Nindy.

Nindy lalu menatap ke arah Adam yang juga berdiri di dekat ranjang tersebut. "Pak, saya mohon tolong temani Jiya ke sana. Dia itu sering ceroboh saat gugup."

"Hisss … kamu apa-apaan Nin, aku bis—"

"Ya, aku akan menemaninya," sela Adam.

Jiya kemudian menatap ke arah Adam. "Lalu Nindy?" tanyanya yang balik menghawatirkan sahabatnya tersebut.

"Akan ada Barak yang mengurus semuanya," jawab Adam dengan tenang.

Bumi yang sedari tadi diam pun ikut menyahut, "Aku akan ikut ke tempat itu."

Setelah itu, mereke bertiga pun segera meninggalkan rumah sakit dan dengan cepat pergi ke toko kue yang di maksud.

Dua puluh menit berlalu, akhirnya mereka pun sampai di toko kue tersebut. Di sana terlihat dua truk pemadam kebakaran dan juga para tetangga di dekat tempat itu sedang berkerumun menyaksikan sisa-sisa kebakaran yang baru saja terjadi.

"Toko," gumam Jiya sambil menatap nanar ke arah sisa-sisa toko tersebut dari dalam mobil.

"Itu toko yang kamu maksud?" tanya Adam yang memastikan semuanya.

"Benar," sahut Jiya dengan suara serak menahan tangis yang hampir pecah.

Namun Jiya dengan cepat menghela napas panjang, mencoba membesarkan hatinya untuk menerima semuanya.

"Mas, aku ke sana dulu," ucap Jiya sambil membuka pintu mobil tersebut dan keluar dengan cepat.

Dan setelah Jiya keluar dari mobil, Adam pun menoleh ke bagian belakang. Ia menatap ke arah Bumi yang sedang mengamati keramaian itu dari kaca mobil yang ada di sampingnya. "Bumi," panggilnya.

Bumi pun menoleh ke arah Adam.

"Kamu tunggu di dalam mobil, Papa akan melihat keadaan di sana," ujar Adam dengan tatapan mengancam.

Bumi yang langsung kaku karena mendapat tatapan tersebut pun langsung mengangguk. "Iya Pa," jawabnya dengan cepat.

Setelah mendengar jawaban yang ingin didengarnya, Adam pun segera turun dari mobil dan dengan cepat menyusul Jiya menerobos kerumunan tersebut. Ia terus melewati orang-orang tersebut hingga akhirnya melihat Jiya yang kini sedang memeluk seorang gadis.

"Bagaimana?" tanya Adam sambil menatap ke arah Jiya.

Jiya yang menyadari jika Adam sedang bertanya padanya pun segera menjawab, "Tidak apa-apa, ini hanya kece—"

"Ini bukan kecelakaan," sahut gadis yang ada dipelukan Jiya. "Ini salahku," imbuhnya sambil terisak.

Adam pun menatap ke arah gadis tersebut sambil mengernyitkan keningnya.

"Sudahlah … ini musibah," ucap Jiya yang terus mencoba menenangkan temannya tersebut.

Gadis itu pun menyahut, "Andai tadi aku nggak membentak orang itu, pasti nggak akan seperti ini."

Jiya pun kembali mengusap-usap pundak gadis tersebut.

"Kalau memang ada yang sengaja, kamu bisa melaporkan ini," ucap Adam sambil menatap ke arah gadis yang seumuran dengan Jiya tersebut.

Gadis itu pun langsung menatap ke arah Jiya. "Benar Ji, ini namanya kejahatan, kita harus melaporkannya," ujar gadis tersebut dengan berapi-api.

Jiya pun terdiam mendengar hal tersebut.

"Ji," panggil gadis itu lagi.

Jiya pun langsung menatap gadis tersebut. "Iya, kita bicarakan hal itu besok," jawab Jiya dengan nada datar.

Setelah para pemadam kebakaran pergi, para tetangga pun berangsur-angsur meninggalkan tempat tersebut. Dan setelah melihat temannya lebih tenang, Jiya pun berpamitan. Ia dan Adam segera kembali ke dalam mobil.

Dan saat Jiya membuka pintu mobil tersebut …

"Eh," ucapnya yang terkejut melihat Bumi yang sedang tidur pulas di jok belakang.

"Ada apa?" tanya Adam yang belum tahu tentang hal itu.

"Huss … jangan berisik, anak kamu sedang tidur," ucap Jiya dengan pelan.

Adam pun menoleh ke belakang, ia melihat Jiya yang sedang pelan-pelan duduk agar tak membangunkan Bumi.

"Ayo kita pulang," ucap Jiya setelah berhasil meletakkan kepala Bumi di pangkuannya.

"Ya," sahut Adam sambil berbalik menghadap ke depan.

'Dasar gadis konyol,' batin Adam dengan sebuah senyum tipis bertengger di wajahnya.

Kemudian Adam pun dengan cepat membawa mobil tersebut meninggalkan tempat itu. Selama perjalanan, Adam dan Jiya terus membicarakan masalah kebakaran tersebut.

Jiya pun menceritakan semua kejadian, mulai dari awal teror hingga kebakaran malam itu.

Adam pun mendengarkan semua cerita tersebut dan kemudian berkata, "Kalau begitu kamu harus membawa masalah ini ke jalur hukum."

"Tidak bisa," sahut Jiya lalu menggigit bibirnya.

"Kenapa?" tanya Adam sambil mengernyitkan keningnya.

Jiya lalu menghela napas dalam-dalam. "Kamu tahu sendiri kan ibuk itu bagaimana. Kalau sampai dia mendengar aku diteror dan sebagainya, entah apa yang akan terjadi," jawab Jiya dengan lesu.

"Ya, memang kesehatan bu Mutia itu agak—"

"Bukan," sela Jiya.

Adam mengerutkan dahinya. "Bukan?"

"Ya … kesehatan ibu memang menghawatirkan. Tapi ada yang lebih gawat lagi."

"Apa?" tanya Adam penasaran.

"Menikah. Ibu pasti akan mencarikan aku calon suami lagi, dan kali ini aku pasti tidak bisa menghindar," ucap Jiya sambil mengusap-usap wajahnya.

Adam lalu tersenyum mendengar apa yang Jiya katakan. "Kenapa?" tanyanya ringan.

"Itu karena … ah, adalah kenapa aku harus menceritakan ini pada kamu," jawab Jiya sambil menatap keluar kaca mobil yang ada di sampingnya.

Mereka pun terus mengobrol selama perjalanan itu, hingga akhirnya mereka sampai di rumah Jiya, dan di sana sudah terlihat kedua orang tua Jiya menanti mereka.

"Bagaimana keadaan Nindy?" tanya Bu Mutia ketika Jiya turun dari mobil tersebut.

"Dia baik Bu, hanya syok sedikit."

"Syukurlah …" ujar Bu Mutia yang kemudian bernapas lega.

Setelah menjelaskan beberapa hal, Adam pun pamit dan dengan cepat membawa mobil itu meninggalkan halaman rumah keluarga Jiya.

**

Setelah malam itu, Jiya setiap hari pergi untuk menjenguk Nindy yang ada di rumah sakit. Dan setelah kebakaran itu, teror pun seakan menghilang. Walau pun pada akhirnya Pak GHofur dan ibunya mengetahui tentang kebakaran tersebut (karena kebakaran itu masuk berita di media sosial), tapi paling tidak Jiya sudah menyediakan jawaban yang masuk akal untuk menyembunyikan kebenaran di balik kejadian tersebut.

Satu minggu berlalu, Nindy sudah pulang dari rumah sakit dan Jiya pun kini lebih banyak waktu bersantai di rumah. Hingga siang itu Jiya sedang duduk di teras rumah dengan tenang, tapi tiba-tiba ada sebuah kejadian aneh.

"Tumben," gumam Jiya ketika melihat Bumi kecil berjalan sendirian memasuki halaman rumahnya.

"Tante Jelek," panggil Bumi ketika sudah ada di tengah-tengah halaman tersebut.

Jiya tersenyum mendengar panggilan yang sudah mulai akrab di telinganya tersebut. "Kenapa?" sahut Jiya dengan santai.

Bumi pun dengan cepat berlari naik ke teras rumah tersebut dan kemudian duduk di kursi yang ada di hadapan Jiya.

"Ada apa, tumben sekali kamu datang ke sini sendirian?" tanya Jiya dengan santai.

Bumi pun menjawab dengan ringan, "Tidak apa-apa, aku mau berpamitan saja."

"Pamitan?"

"Iya, besok aku mau kembali ke rumahku," sahutnya.

'Jadi anak ini mau pulang,' batin Jiya yang merasa sedikit kecewa tapi ia tetap menunjukkan senyum di wajahnya. "Kalau sudah pulang, jangan lupa beri kabar. Dan kamu jangan bandel lagi," ucapnya sambil mengacak-acak rambut anak laki-laki di hadapannya tersebut.

Bumi lalu memanyunkan bibirnya.

"Kenapa?" tanya Jiya yang tahu jika anak itu menginginkan sesuatu darinya.

"Sudahlah," ucap Bumi sambil turun dari kursi yang didudukinya.

Jiya pun tersenyum menahan tawa melihat ekspresi kecewa dari wajah anak tengil tersebut. "Apa kamu mau ikut Tante jalan-jalan?"

Bumi pun langsung menatap Jiya sambil menyipitkan matanya. "Ke mana?" tanyanya.

"Ada deh … tapi kamu harus minta izin pada papa kamu dulu," ujar Jiya dengan santai lalu menyeruput kopi yang ada di tangannya.

Bumi pun dengan sigap mengeluarkan ponsel yang ada di sakunya, lalu meminta izin seperti yang Jiya katakan.

"Beres. Tapi kita harus pergi ke tempat papa dulu," ucapnya.

"Kenapa?" tanya Jiya yang merasa aneh.

Bumi pun mengangkat bahunya yang menandakan kalau ia juga tidak tahu.

Setelah itu Jiya pun bersiap dan akhirnya mereka berangkat dengan santai ke tempat Adam berada.

Setengah jam berlalu, hingga akhirnya mereka sampai di sebuah tanah luas yang merupakan lahan untuk proyek pembangunan restoran. Ketika Jiya dan Bumi sampai di sana, semua terlihat baik-baik saja. Jiya pun sempat melihat beberapa motor ikut masuk ke tempat tersebut, tapi ia pikir itu adalah para pekerja atau sejenisnya.

Awalnya tidak ada perasaan curiga sedikit pun, hingga saat Bumi dan dirinya memarkirkan motornya tiba-tiba beberapa orang itu berhenti di dekat mereka.

"Ada apa?" tanya Jiya.

Tapi dengan cepat salah seorang laki-laki itu menarik tangan Bumi.

"Lepaskan dia!" teriak Jiya sambil ikut menarik tangan Bumi (menahan).

"Tolongg!" Jiya dan Bumi pun berteriak minta tolong bersamaan, tapi Adam dan orang-orangnya tak mendengar karena ada di ujung lain tanah itu.

Akhirnya Jiya pun berkelahi, ia terus berusaha melawan orang-orang itu sekuat tenaga, hingga akhirnya ada celah. Ia dan Bumi pun segera berlari ke arah Adam sambil terus berteriak minta tolong.

Dan ketika Adam dan orang-orangnya mendengar teriakan tersebut, mereka pun segera berlari ke arah Jiya dan Bumi. Namun dari arah lain terlihat sebuah motor melaju kencang.

"Awasss!" teriak Adam sambil mempercepat larinya.

Namun di sisi lain …

"Tanteee!" teriak Bumi.

BRAKKKK! Jiya dan Bumi pun terpental.

"BUMI!" teriakan Jiya melengking seketika.

__

Bagaimana nasib Bumi selanjutnya? Baca kelanjutanya ya!

avataravatar
Next chapter