9 Sepuluh Juta per Bulan

Akhirnya Bumi pun pergi mencari toko penjual es krim bersama anak-anak itu.

"Ke mana mereka?" tanya Adam sambil terus menatap ke arah anak-anak kecil tersebut.

"Mencari toko," jawab Jiya dengan santai.

"Mencari toko, apa maksud kamu?" tanya Adam.

"Ya mencari toko," sahut Jiya masih dengan nada santai.

"Bukannya tadi ada toko."

"Ada, tapi jam segini toko yang menjual es krim jarang yang sudah buka," terang Jiya.

Adam pun bergumam menanggapi hal tersebut.

"Mana," ucap Jiya sambil menengadahkan tangannya di depan Adam.

Adam pun mengernyitkan keningnya melihat tangan Jiya. "Apa?" tanyanya.

"Ganti uangku," jawab Jiya singkat.

Adam menghela napasnya saat melihat hal itu, ia pun segera mengeluarkan dompetnya. "Ini," ucapnya sambil memberikan selembar uang berwarna merah.

Jiya pun segera mengambil uang itu. "Tunggu ya," gumamnya.

Adam pun langsung menyahut, "Tidak perlu, simpan saja sisanya."

Jiya pun langsung menatap Adam. "Yakin nih?" tanyanya sambil tersenyum kecil.

"Sudah ambil saja," sahut Adam sekali lagi.

"Baiklah, aku terima dengan ikhlas."

'Dasar gadis konyol,' batin Adam sambil melirik ke arah Jiya yang sibuk memasukkan uang tersebut ke dalam dompetnya.

"Oh iya Mas, untuk masalah pengasuh tadi kamu punya standar khusus nggak? Misalnya harus cantik, tingginya sekian atau minimal lulusan apa."

Adam pun menggeleng pelan. "Tidak. Asal dia mau melakukan tugas sebagai pengasuh itu sudah cukup."

Jiya mengernyitkan dahinya. "Sepuluh juta sebulan cuma begitu saja?" tanyanya yang enggan percaya mendengar hal tersebut.

"Ya," sahut Adam dengan santai.

"Itu terlalu aneh," gumam Jiya.

"Aneh kenapa?"

Jiya langsung menatap Adam dengan serius. "Begini ya Mas … kamu bayangkan saja, gaji sepuluh juta hanya untuk mengasuh anak itu sangat nggak masuk akal," bebernya.

"Kenapa tidak masuk akal?" tanya Adam yang malah heran dengan ucapan jiya.

"UMR di sini aja cuma dua juta lebih dikit, masa UMR gak ada seperempatnya gaji ngurus bocah," tandasnya.

Adam lalu menyenderkan tubuhnya di bangku itu sambil memijat-mijat keningnya. "Kamu tahu sendiri Bumi seperti apa anaknya."

"Iya sih dia memang agak rewel, tapi untuk ukuran anak kecil itu masih wajar kok," sahut Jiya dengan santai.

Adam melirik ke arah Jiya. "Wajar?" tanyanya heran.

"Ya, untuk ukuran anak orang kaya dan memang bisa dibilang cerdas itu bisa dikatagorikan wajar," sahut Jiya dengan santai.

"Kamu bisa berkata seperti itu karena belum tahu aslinya. Bahkan dokternya saja mengatakan kalau dia bermasalah," ujar Adam dengan santai.

Jiya menatap Adam lebih serius dari sebelumnya. "Dokter apa?" tanyanya.

"Psikiater."

Mata Jiya terbelalak mendengar hal itu. "Kamu mengira jiwanya bermasalah?" tanya Jiya yang tak percaya dengan apa yang di dengarnya.

"Dokternya sudah memvonis kalau dia—"

"Kamu itu ayah yang bagaimana," ucap Jiya sangat kesal mendengar jawaban Adam tersebut.

"Apa maksud kamu?"

Jiya lalu kembali bertanya, "Apa dia juga mengerti kalau orang yang memeriksanya itu psikiater?"

"Harusnya dia mengerti," sahut Adam dengan tenang.

Jiya pun mendesah pasrah. "Itu kan anak kamu sendiri, kenapa kamu percaya kalau dia itu gila. Kamu itu keterlaluan," sahut Jiya yang mulai merasa iba dengan nasib anak tengil tersebut.

Adam pun terdiam, tiba-tiba ada sebuah rasa bersalah yang menghampirinya. 'Apa Bumi juga berpikir seperti itu,' pikirnya.

"Bagaimana kalau kamu saja yang menjadi pengasuhnya," tawar Adam.

Jiya pun langsung menggeleng. "Tidak. Aku sudah punya pekerjaan dan punya tanggungan, lagi pula aku adalah anak tunggal jadi itu tidak mungkin," tolaknya dengan jelas.

"Kalau begitu—"

"Tapi aku akan membantu mencarikan pengasuh yang mungkin cocok, dicoba saja dulu semacam masa training," sahut Jiya dengan penuh semangat.

"Ya," sahut Adam setuju.

Setelah itu mereka pun terus mengobrol hingga Bumi dan anak-anak itu kembali.

"Terima kasih Mbak," ujar anak-anak kecil itu bersamaan.

"Ya," sahut Jiya sambil tersenyum hangat. Setelah itu ia pun menatap ke arah Bumi kecil. "Kenapa?" tanyanya saat melihat ekspresi wajah Bumi yang terlihat memusuhinya.

"Tidak," jawab Bumi sambil membuang muka.

"Bagus kalau tidak," sahut Jiya dengan santai sambil menahan tawa.

Bumi yang tahu kalau Jiya sedang menahan tawa merasa semakin kesal, ia pun segera berjalan meninggalkan tempat itu tanpa berkata apa-apa lagi.

"Bumi—" Kalimat Adam terhenti ketika Jiya menyenggol tangannya.

"Biarkan saja, dia itu hanya anak-anak."

"Kamu benar," sahut Adam kemudian menyusul langkah Bumi.

Jiya pun terdiam sejenak ia menatap ke arah Adam dan Bumi dari kejauhan. "Kasihan sekali mereka. Sekarang aku yakin istrinya bukan meninggalkannya karena selingkuh, dia pasti meninggal saat melahirkan anak tengil itu. Pasti mereka saling mencintai sebelumnya," gumamnya sambil membayangkan cerita telenovela.

**

Tiga hari kemudian.

Siang itu Bumi kecil sedang bermain ponsel di teras rumah ditemani oleh Barak yang memang bertugas menjaganya. Awalnya semua biasa saja, hingga datanglah seorang wanita berusia 20 tahunan.

"Selamat siang," sapa wanita yang berdandan cukup menor itu.

"Ya, Anda siapa?" tanya Barak sambil bangun dari kursinya.

Wanita itu pun menjawab dengan hati-hati. "Sa-saya adalah Lina. Saya ingin melamar menjadi pengasuh."

Barak pun mengerutkan keningnya. "Pengasuh?" tanyanya yang tak percaya.

"Benar-benar, saya diberi tahu—"

"Iya benar, memang ada lowongan itu," sahut orang lain yang baru saja menginjakan kaki di halaman rumah tersebut.

Bumi yang sedari tadi bermain ponsel pun langsung menghentikan aktifitasnya dan dengan cepat menatap ke arah orang yang baru datang tersebut.

"Apa maksud Anda?" tanya Barak yang dengan tatapan tajamnya yang menunjukkan waspada.

"Tante Jelek," panggil Bumi pada orang yang baru datang. "Kenapa, apa Tante ingin jadi mamaku seperti yang lainnya?" tanyanya dengan gaya tengil dan pandangan menghinanya.

Barak pun langsung menyahut, "Nona Jiya tolong maafkan sikap Tuan kecil, dia itu—"

Jiya pun menyela, "Tak apa."

"Kenapa, dia pasti memang sengaja melakukan ini untuk mendekati papa. Iya kan … mengaku saja," ujar Bumi kecil dengan mulut tajamnya.

Jiya pun tersenyum sinis. "Hei jagoan dengarkan aku, papa kamu itu bukan seleraku. Dia itu terlalu tua, aku ini suka yang muda," sahutnya dengan santai.

Mendengar hal tersebut, Bumi kecil pun langsung turun dari kursi yang didudukinya. "Apa kamu bilang, papaku tua?" geramnya yang tak terima dengan ucapan Jiya.'

"Iya, memang dia tua," sahut Jiya dengan santai.

"Papaku tidak tua," sahut anak tengil itu sambil mendekati Jiya dan dengan cepat mencoba memukulnya.

Tapi Jiya dengan cepat menghindar dan dalam sekejap ia sudah memegang kepala Bumi, memberi jarak antara dirinya dan anak laki-laki itu hingga membuat anak itu tak bisa menyentuhnya walau pun berulang kali mencoba menendang dan memukul dirinya.

Kemudian …

"Ada apa ini?" tanya laki-laki yang baru saja keluar dari dalam rumah tersebut.

Lalu Lina, wanita yang melamar pekerjaan tadi pun mendekat ke arah laki-laki tersebut. "Apa Anda Pak Adam?" tanyanya sambil terus memperhatikan perut six pack Adam yang menggoda.

"Ya, siapa kamu?" tanya Adam sambil memakai kaos yang ada di tangannya dengan santai.

"Saya Lina, saya—"

Kalimat wanita itu pun terhenti saat mendengar Bumi kecil berteriak, "Papa, Tante Jelek mengatakan kalau kamu tua!"

Mendengar itu, Adam pun langsung menatap ke arah Jiya. "Tua," gumamnya.

Jiya pun tersenyum manis dan mulai menyahut, "Ah itu hanya—"

"Dia bilang Papa bukan seleranya, katanya Papa jelek," timpal Bumi.

'Dasar setan kecil,' batin Jiya sambil melirik tajam ke arah Bumi, yang dibalas oleh Bumi kecil dengan senyum liciknya.

"Jelek," gumam Adam sambil terus menatap ke arah Jiya dengan tatapan tajamnya.

"A-a-aku …

avataravatar
Next chapter