"Tidakkkkk!" teriak Bumi sambil mengacak-ngacak rambutnya. "Tidak mungkin, aku ini juara catur kenapa bisa kalah," ucap anak laki-laki itu sambil menatap papan catur di hadapannya dengan rasa tak terima.
Jiya pun tersenyum santai. "Bagaimana? Aku sudah mengalahkanmu tiga kali," ucapnya dengan tenang.
Bumi pun langsung menunjuk wajah Jiya. "Kamu pasti curang," tukas Bumi, menolak kekalahannya.
Jiya pun menyenderkan tubuhnya di kursi yang ia duduki. "Katanya laki-laki dewasa … laki-laki kok mewek," ejek Jiya seperti anak kecil.
"Aku nggak nangis!" serunya sambil turun dari kursi yang didudukinya.
Jiya pun menatap Bumi dengan remeh. "Kalau begitu buktikan. Laki-laki itu kalau punya janji harus ditepati," sahutnya sambil bersikap sok malas menghadapi Bumi.
Bumi pun menatap Jiya tajam. "Baik, besok pagi aku datang."
"Oke aku tunggu," sahut Jiya dengan santai sambil membereskan papan catur.
Lalu …
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Adam yang memperhatikan percakapan itu sedari tadi.
Jiya pun langsung menoleh ke arah Adam. "Kita baru bermain catur," jawabnya ringan.
"Dia curang Pa," tuduh Bumi sambil menunjuk Jiya dengan jari kecilnya.
Jiya pun kembali menatap ke arah Bumi. "Ingat laki-laki dewasa harus apa?" tekannya.
"Menepati janji," sahut Bumi dengan bibir yang mengkerut.
"Bagus," sahut Jiya dengan santai.
Bumi pun makin kesal, ia dengan cepat turun dari teras rumah tersebut. "Pa ayo kita pulang, besok pagi aku harus bangun jam lima," ujarnya sambil berjalan meninggalkan rumah tersebut dengan sesekali menghentak-hentakkan kakinya ke tanah karena kesal.
Adam pun mengerutkan keningnya. 'Kenapa dengan anak itu.' pikirnya sambil menatap ke arah Bumi yang berjalan makin menjauh.
Setelah itu Adam pun berpamitan dan dengan cepat ia menyusul anak laki-lakinya yang berjalan pulang sendirian itu.
**
Keesokan harinya.
Seperti janjinya semalam, pagi itu Bumi bangun lebih awal. Ia pun segera berlari ke kamar Adam.
"Bangun!" teriaknya di dekat Adam, hingga membuat Adam terkejut dan langsung bangun seketika.
Adam pun menatap ke arah Bumi dengan matanya yang masih enggan terbuka. "Bum, apa yang kam—"
Namun belum selesai Adam mengatakan kalimatnya, anak laki-laki itu dengan cepat meninggalkan kamar Adam dan langsung beralih ke ruang tamu tempat di mana Barak beristirahat.
"Bangun!" teriaknya, melakukan hal sama seperti yang ia lakukan pada papanya.
Dan reaksi yang sama pun diberikan oleh Barak.
"Bangun semuanya bangun!" teriak Bumi membuat kehebohan di pagi itu.
"Bumi hentikan," ujar Adam dari ruang lain.
"Pokoknya bangun!" teriak Bumi lalu memukul-mukul meja kayu yang ada di ruang tamu menggunakan pot bunga kecil yang ada di atas meja tersebut.
Hingga akhirnya …
"Stop!" ucap Adam sambil mengambil pot bunga tersebut dari tangan anak laki-lakinya.
Bumi pun langsung menatap sinis ke arah Adam yang sedang berdiri tegap di dekatnya.
"Apa yang kamu mau?" tanya Adam dengan tatapan tajamnya menyorot Bumi kecil.
Bumi pun menjawab dengan santai, "Aku ingin Papa menemaniku ke rumah tante jelek itu."
"Tante jelek … Jiya maksud kamu?"
"Iya, siapa lagi," sahut Bumi sambil menunjukkan kekesalan di wajahnya.
Adam pun tersenyum kecil melihat ekspresi Bumi yang jarang bisa dilihatnya itu. 'Sepertinya dia menemukan lawan yang seimbang,' batinnya.
"Ayo Pa temani aku ke sana." Bumi pun menarik lengan Adam sekuat tenaga, hingga membuat Adam benar-benar mengikuti keinginan anaknya.
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka pun sampai di halaman rumah Pak Ghofur. Di sana terlihat Jiya yang sedang duduk santai di teras rumahnya.
"Kamu bersama Papamu?" tanya Jiya sambil tersenyum, menahan tawa.
Bumi yang merasa diejek pun langsung menyahut, "Tentu saja aku harus membawa orang lain. Aku tidak yakin pada kamu."
'Ck, anak ini memang super,' batin Jiya sambil tersenyum aneh mendengar perkataan Bumi kecil.
"Baiklah-baiklah santai saja, aku juga tidak ingin dibilang orang baik oleh anak kecil," sahutnya dengan ringan lalu bangun dan berjalan ke arah Adam dan Bumi.
"Apa? Aku bukan anak kecil, aku sudah besar!" teriak Bumi yang tidak terima dengan perkataan Jiya.
Mendengar hal tersebut, Jiya dengan sengaja terus berjalan melewati Bumi dan Adam dengan santai seolah tak mendengarkan suara protes anak laki-laki tengil itu.
"Hei aku sedang bicara, kenapa kamu tidak mendengarkanku!" teriak Bumi sambil berlari mengejar Jiya yang sudah berjalan jauh.
Adam pun tersenyum geli melihat kejadian yang jarang terjadi itu.
"Dasar sama-sama konyol," gumam Adam lalu mengikuti kedua orang yang sudah berjalan terlebih dahulu itu.
Setelah mengikuti kedua orang itu dan berjalan lebih dari sepuluh menit, akhirnya mereka pun sampai di sebuah taman yang ada di pinggiran sungai besar.
"Pa ini di mana?" tanya Bumi pada Adam yang sedang menatap keadaan di sekitarnya.
"Ini taman," jawab Adam sambil menunjuk ke arah anak-anak yang sedang bermain di wahana permainan sederhana yang ada di tempat itu.
Lalu Jiya pun menatap ke arah Bumi. "Bagaimana, apa kamu siap menjalankan misi pertama?" tantang Jiya.
Bumi pun langsung berjalan ke arah Jiya dengan percaya diri. "Oke, aku lakukan."
Jiya pun tersenyum menghina. "Kalau begitu misi pertamamu adalah kamu harus mendapatkan lima teman, aku beri kamu waktu satu jam," ujarnya dengan santai.
"Baik, itu gampang," sahut Bima dan langsung mendekat ke arah anak-anak yang sedang bermain tersebut.
Setelah Bima pergi melakukan tantangan itu, Jiya pun duduk di salah satu bangku taman dengan santai.
'Oh iya, aku sampai lupa pada laki-laki marmer itu. Dimana dia?' batin Jiya sambil menatap sekitar, mencari keberadaan Adam.
"Itu dia," ucapnya setelah melihat Adam yang sedang berdiri tidak jauh dari tempatnya saat ini. "Dia menelepon siapa?" gumamnya.
Beberapa menit berlalu, Adam pun kini duduk di dekat Jiya.
"Kamu pusing?" tanya Jiya saat melihat Adam memijat keningnya sendiri.
"Sedikit," sahut Adam dengan dingin.
"Apa perlu ke dokter?" tanyanya sambil menatap Adam dengan lebih intens. "Ada tempat praktek dokter di dekat sini," imbuhnya.
Adam pun langsung menyahut, "Bukan, aku tidak pusing seperti itu."
"Lalu?"
"Apa kamu tahu tempat mencari pengasuh anak?" tanya Adam sambil menatap langit.
"Pengasuh anak?" gumam Jiya. "Untuk Bumi?" tanya Jiya lagi.
"Ya," sahut Adam.
"Memang di mana mamanya?" tanya Jiya dengan spontan.
Adam pun hanya diam, ia tak berniat menjawab pertanyaan tersebut.
'Pasti masalahnya pelik. Mungkin istrinya meninggal atau meninggalkan dia demi laki-laki lain,' pikir Jiya yang menebak-nebak tidak jelas.
"Ehem! Maaf aku tidak bermaksud membuat kamu mengingat hal buruk," ucap Jiya dengan nada lembut seolah sedang ikut prihatin.
Adam pun mengernyitkan keningnya saat mendengar ucapan gadis di sampingnya itu.
"Memangnya pengasuh sebelumnya ke mana?"
"Orang itu masuk rumah sakit," sahut Adam kembali memijat keningnya.
Jiya pun mengangguk perlahan. "Jadi kamu mencari pengasuh sementara untuk menggantikan pengasuh yang sedang sakit itu sampai dia sembuh," ujar Jiya meluruskan masalahnya.
"Bukan, aku mencari pengasuh baru. Pengasuh sebelumnya masuk rumah sakit karena Bumi mengerjainya," beber Adam.
Jiya terbelalak. 'Kalau sampai masuk rumah sakit itu namanya bukan mengerjai tapi mencelakai,' batin Jiya lalu menatap ke arah Bumi yang sedang bermain bersama anak-anak yang ada di taman itu.
"Pengasuh yang masuk rumah sakit ini adalah pengasuh ke sepuluh. Para penyedia jasa sudah tidak mau merekomendasikan orang lagi, padahal kami sudah menawarkan gaji tinggi untuk mereka," lanjut Adam menceritakan masalahnya.
"Berapa gajinya?" tanya Shassy dengan cepat.
"Sepuluh juta," jawab Adam singkat.
"Sepuluh juta?" tanya Jiya, memastikan apa yang didengarnya.
"Ya,"
Jiya pun langsung tersenyum lebar. "Bagaimana kalau saya carikan?" tanyanya dengan antusias.
Adam pun langsung menatap ke arah Jiya. "Kamu yakin?" tanyanya singkat.
"Tentu. Tapi kalau berhasil, ada komisinya kan?" tanyanya terus terang.
"Tentu," jawab Adam dengan santai.
Lalu …
"Aku selesai," ucap Bumi sambil membawa beberapa anak di belakangnya.
"Cepat sekali," gumam Jiya. "Mereka siapa?" tanyanya pada Bumi yang sedang tersenyum bangga.
"Ya temanku lah," sahut Bumi dengan percaya diri.
Lalu Jiya pun bertanya pada anak-anak yang ada di belakang Bumi.
"Kalian tahu dia siapa?" tanya Jiya sambil menunjuk ke arah Bumi.
Anak-anak itu pun saling menatap dan terlihat bingung.
"Kenapa kalian ke sini?" tanya Jiya sekali lagi.
Salah seorang anak kecil pun menyahut, "Katanya Om itu mau membelikan kami es krim." Anak tersebut menunjuk ke arah Adam.
Jiya pun terkejut mendengar hal itu. 'Anak sekecil ini sudah berani berbohong,' pikirnya sambil mengulum bibir.
Tapi tiba-tiba sebuah senyum muncul di wajahnya. Ia pun dengan cepat mengambil uang 50 ribuan dan memberikannya pada Bumi.
"Apa ini?" tanya Bumi yang bingung.
"Sekarang kamu cari toko es krim dan belikan es krim untuk meraka," perintah Jiya dengan santai.
"Tidak," tolak Bumi dengan tegas.
"Ingat, rahasia kamu masih di tanganku," ancam Jiya dengan senyum kemenangan di wajahnya.
"TIDAKKKKKK!"
"Hahahah!"