15 Calon Lain

"Ibunya sudah tidak ada, dia meninggal," sahut Adam lalu menatap ke arah lain.

Jiya pun terdiam. 'Jadi benar istrinya sudah meninggal. Pantas saja,' batin Jiya.

"Ehem! Maaf Mas aku tidak bermaksud membuat kamu mengingat kepergian almarhum istri kamu," ucap Jiya dengan lembut karena merasa sedikit bersalah.

Adam menatap Jiya sambil mengernyitkan keningnya.

Jiya pun melanjutkan kalimatnya. "Aku tidak tahu ini benar atau salah. Tapi jika memang istri Mas sudah meninggal emmm … menurutku Bumi itu membutuhkan sosok ibu. Ini mungkin hanya pendapatku saja, soalnya aku juga tidak tahu bagaimana keluarga kamu dan lingkungannya tumbuh itu seperti apa," bebernya.

"Sosok ibu," gumam Adam sambil menatap Jiya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Jiya yang tahu dirinya ditatap seperti itu pun langsung menepuk pundak laki-laki di hadapannya tersebut. "Tolong ya, pikiranmu jangan sama seperti anak kamu itu."

"Pikiran apa?"

"Dengar ya … aku tidak tertarik sama sekali pada kamu apa lagi anak laki-lakimu yang manis itu," tegasnya. "Sangat tidak minat," imbuhnya.

Adam pun menyahut sambil meneruskan langkahnya dengan santai, "Memangnya siapa yang minat pada kamu."

'Dih ngeselin banget,' pikir Jiya lalu kembali berjalan mengikuti langkah Adam.

Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka pun sampai di rumah Jiya. Jiya pun segera masuk ke dalam rumah, sedangkan Adam duduk di teras menunggu pak Ghofur yang terlihat masih sibuk di samping rumah. Hingga lima menit kemudian …

"Maaf Dam jadi nungguin Bapak, habis kalau dipotong nanti ayamnya jadi mogok makan," seloroh Pak Ghofur sambil mencuci tangannya di kran yang ada di halaman rumah itu.

"Tidak apa-apa, saya mengerti," sahutnya dengan santai.

Setelah itu mereka pun berbincang, membicarakan masalah tanah yang sempat mereka lihat dan seputar hal itu.

"Saya sudah membacanya dan saya setuju dengan semuanya," ujar Adam yang sepakat.

"Alhamdulillah," ucap Pak Ghofur sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, tanda syukur.

Adam pun tersenyum melihat rasa syukur dari laki-laki paruh baya yang ada di hadapannya itu.

"Kalau begitu biar tak hubungi mereka." Pak Ghofur dengan cepat mengeluarkan ponsel yang ada di sakunya.

Ia pun dengan semangat menelepon pemilik tanah yang tanahnya akan dibeli tersebut.

Adam pun terus tersenyum sambil memperhatikan Pak Ghofur. 'Mungkin memang benar jika kepuasan seseorang tidak bisa diukur menggunakan tangan orang lain,' batinnya.

Tak lama kemudian munculah Jiya dari dalam rumah sambil membawa nampan di tangannya. Ia pun segera menurunkan kopi buatannya di atas meja.

"Minum Mas," ucapnya sambil menatap Adam.

"Ya," sahut Adam.

Jiya kemudian menatap ke arah ayahnya. "Yah, Ibuk ke mana?"

Pak Ghofur pun menuang kopi buatan Jiya ke tatakannya—supaya cepat dingin. "Ibukmu pergi ke rumah bulekmu," jawabnya dengan santai.

Jiya mengernyitkan keningnya. "Ngapain?"

"Itu …" Pak Ghofur terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Ada apa?"

Dan ketika Pak Ghofur ingin menjawab, terlihat ibu-ibu yang mengendarai motor matic memasuki halaman rumah tersebut.

"Nah, tanya sendiri pada ibukmu sana," ucap Pak Ghofur langsung mengganti kalimat yang ingin keluar dari mulutnya tadi.

Jiya pun segera berjalan beberapa langkah ke pinggiran teras, tapi saat dia ingin bertanya …

"Bulekmu itu keterlaluan," ucap Bu Mutia sambil berjalan ke arah teras setelah memarkirkan motornya.

"Memang kenapa toh Buk, ada apa lagi?" tanya Jiya yang menjadi lebih kalem saat ibunya sedang kesal.

"Masa tadi—" Bu Mutia menghentikan kalimatnya saat menyadari jika ada Adam di sana. "Eh Nak Adam," ujarnya sambil tersenyum ke arah Adam.

"Iya," sahut Adam sambil membalas senyuman tersebut.

Bu Mutia pun menatap ke arah Jiya. "Sudah kamu buatkan minum?"

"Sudah."

Lalu Bu Mutia pun naik ke teras rumah tersebut. "Maaf Nak Adam, Ibu ke belakang dulu ya," ujarnya sebagai bentuk tata krama.

"Iya, silahkan," sahut Adam singkat.

Kemudian Jiya pun mengikuti ibunya masuk ke dalam rumah. Dan tak lama kemudian terdengarlah percakapan samar-samar dari kedua wanita yang baru masuk ke dalam rumah tersebut.

"Itu … calon suami Jiya yang waktu itu datang kemari, beberapa bulan lagi akan menikah dengan sepupunya—Jiya—yang waktu itu juga," terang Pak Ghofur.

Adam pun hanya bergumam menanggapi hal tersebut, karena ia sadar tidak etis kalau dirinya berkomentar tentang masalah tersebut.

Setelah percakapan selingan itu, mereka pun kembali membicarakan masalah kerja sama mereka dan juga hal-hal lain yang berhubungan dengan kesepakatan kerja sama mereka.

**

Keesokan harinya.

Sejak pagi semua berjalan dengan damai, tak ada masalah sedikit pun. Bahkan malam ini Bumi kecil terlihat sangat tenang, ia berkonsentrasi menatap notebook untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya di teras rumah.

Sedangkan Adam kini berada di dalam rumah, ia tengah berkonsentrasi membandingkan laporan dari sekretarisnya dengan laporan dari orang kepercayaannya yang ia tugaskan untuk mengawasi perusahaan secara diam-diam.

Suasana rumah itu terasa begitu hening, hingga …

"Huaaahh!" Bumi menguap. "Akhirnya selesai juga," ujarnya sambil menutup notebook di hadapannya.

"Sudah selesai Tuan kecil?" tanya Barak yang sedari tadi menjaga Bumi di teras rumah tersebut.

"Sudah," sahut Bumi singkat. Kemudian ia pun masuk ke dalam rumah sambil membawa notebooknya.

Namun saat ia melewati ruang tamu, ia sempat melirik ke arah papanya yang masih berkonsentrasi dengan laptopnya. Adam pun sempat melirik ke arah Bumi, tapi tidak ada percakapan yang terjadi di antara mereka hingga akhirnya Bumi pun masuk ke dalam kamarnya untuk mengembalikan notebook miliknya.

Tiba-tiba terdengar suara berisik di luar rumah tersebut.

"Apa yang terjadi," gumam Adam lalu menutup laptopnya dan segera keluar dari rumah tersebut.

Bumi kecil pun segera keluar dari kamarnya karena tertarik mendengar suara berisik tersebut, ia pun berjalan dengan cepat ke teras rumah itu. "Ada apa?" tanyanya yang datang belakangan.

Orang-orang yang ada di teras rumah tersebut segera menatap ke arah Bumi, hingga membuat anak laki-laki tengil itu kebingungan.

"Kamu mau kan ikut pergi jalan-jalan?" ajak Jiya dengan penuh semangat.

Bumi mengernyitkan keningnya. "Tante Jelek ingin membu—"

Jiya dengan cepat menarik Bumi lalu mencubit pipinya. "Mau kan?" tanyanya lagi sambil mencubit gemas pipi Bumi hingga membuat anak laki-laki itu mengangguk terpaksa.

Sedangkan Adam hanya menahan tawa melihat anak yang sering membuatnya pusing itu tunduk sementara waktu pada gadis yang ada di hadapannya.

"Baiklah kalau begitu," ujar Adam dengan santai.

"Setuju apa?" tanya Bumi sambil menoleh pada Papanya.

Kemudian terlihat seorang gadis sedang berlari ke halaman rumah tersebut. "Maaf aku terlambat," ujar gadis tersebut sambil terengah-engah.

Adam pun menatap sinis ke arah gadis tersebut, bagaimana pun juga ia tidak begitu menyukai keterlambatan. "Bukankah dia temanmu waktu itu?" tanya Adam sambil menatap ke arah Jiya.

Jiya pun segera menyahut, "Sudah nanti aku ceritakan." Jiya mengatakan hal tersebut sambil memberikan tangan Bumi pada gadis yang baru datang tersebut.

Adam pun menghela napas dalam, kemudian menoleh ke arah Barak. "Kami akan pergi, kamu tahu kan apa yang harus dilakukan?"

"Baik Tuan, saya mengerti," jawab Barak dengan tegas.

Setelah itu mereka pun berangkat ke tempat yang di tuju.

Lima belas menit berjalan, akhirnya mereka pun sampai di sebuah lapangan yang cukup luas dengan lampu warna-warni, pedagang dan juga berbagai wahana permainan ada di tempat itu.

"Ini di mana?" tanya Bumi karena merasa asing dengan suasana seperti itu.

"Ini namanya pasar malam," sahut Jiya. "Kamu harus terus berpegangan pada Tante Nindy ya … supaya tidak tersesat," imbuh Jiya.

Bumi kecil pun tersenyum tipis. "Tentu saja," sahutnya lalu berlari.

Sedangkan Nindy yang sedari tadi memegang tangan Bumi pun terkejut, ia tidak sadar sejak kapan anak laki-laki itu melepaskan tangannya. "Tunggu!" teriaknya sambil berlari mengejar.

"Kamu yakin teman kamu itu bisa mengasuh Bumi?" tanya Adam sambil menatap ke arah Nindy yang sedang berlari.

"Harusnya bisa. Calon yang lain sudah pada kabur gara-gara mendengar pernyataan Lina kemarin, hanya tinggal Nindy saja," terang Jiya. "Kalau Nindy juga gagal, aku akan menyerah," ucap Jiya sambil mengangkat kedua tangannya.

Adam pun hanya bergumam menanggapi kalimat Jiya tersebut.

__

Apakah Nindy akan berhasil?

Baca kelanjutannya ya!

avataravatar
Next chapter