Jiya dan Adam pun mengawasi Bumi dan Nindy dari kejauhan sambil mengobrol santai. Semuanya berjalan lancar awalnya hingga tiba-tiba Bumi dan Nindy menghilang dari pandangan mereka.
"Loh Mas, bukannya tadi mereka main di sana," ujar Jiya sambil menunjuk ke arah komedi putar.
Adam yang baru sebentar menatap ponselnya pun langsung terkejut dan menatap ke arah wahana komedi putar tersebut. "Benar," sahutnya sambil berdiri dari bangku yang ia duduki dan dengan cepat memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
Jiya pun ikut berdiri, dan akhirnya mereka berdua berkeliling mencari kedua orang tersebut.
Mereka terus berkeliling sambil menatap sekitar mencari keberadaan Bumi dan Nindy di tengah keramaian pasar malam itu.
"Mas bagaimana kalau kita berpencar?" usul Jiya sambil terus mengarahkan pandangannya ke sekitarnya.
"Iya," sahut Adam dengan cepat.
Tapi saat mereka akan berpisah, tiba-tiba ponsel Jiya berbunyi. "Tunggu," ucap Jiya sambil menahan lengan Adam.
"Ada apa?" tanya Adam sambil berbalik menatap Jiya.
Jiya tak menjawab pertanyaan Adam, ia memilih untuk mengangkat panggilan di ponselnya lebih dulu.
"Kamu di mana Nin?" tanya Jiya ketika mengangkat panggilan tersebut.
Lalu terdengar suara tangisan di dalam panggilan tersebut.
"Nin! Nindy!" panggil Jiya yang semakin khawatir.
Lalu terdengar suara serak Nindy. "Tolong aku Ji, aku sedang naik bianglala," ucapnya yang terdengar ketakutan.
"Kenapa kamu naik bianglala?" tanya Jiya yang bertambah panik karena ia tahu kalau sahabatnya itu takut ketinggian.
Setelah menunggu beberapa saat, tidak terdengar jawaban dari Nindy.
"Nin! Halo Nin!" ucap Jiya yang makin panik.
Adam pun langsung bertanya, "Kenapa?"
"Mereka ada di bianglala. Tapi Nindy itu takut ketinggian."
Adam pun segera mengarahkan pandangannya ke sekitar dan mencari wahana yang paling tinggi di tempat itu. "Itu dia," ujar Adam sambil menunjuk ke arah bianglala yang cukup jauh dari mereka.
Jiya dan Adam pun bergegas pergi ke wahana permainan tersebut. Dan setelah berlari-lari kecil selama sepuluh menit, akhirnya mereka pun sampai di tempat tersebut.
Jiya pun segera menghampiri penjaga bianglala tersebut, ia segera memberitahukan apa yang terjadi. Tapi jawaban penjaga tersebut adalah …
"Yang naik tadi hanya ada pasangan muda-mudi dan orang dewasa Mbak, kalau anak kecil sepertinya tidak ada."
Jiya dan Adam terkejut mendengar hal itu.
"Kalau begitu tolong coba cari teman perempuan saya Mas, saya takut dia pingsan di atas," sahut Jiya dengan cepat.
"Iya-iya," jawab penjaga wahana tersebut.
Dan setelah beberapa menit, akhirnya mereka benar-benar menemukan Nindy yang sedang pingsan dan terlihat ponsel masih ada di tangannya.
Kemudian …
"Ada apa?" tanya seorang anak laki-laki yang sedang menggenggam gula kapas di tangannya dengan santai.
Jiya, Adam dan penjaga bianglala sontak saja menatap ke arah anak laki-laki tersebut.
Tapi belum sempat Adam bicara, Jiya sudah lebih dulu menggenggam tangan Bumi kecil.
"Mas, kamu kuat tidak menggendong Nindy?" tanyanya sambil terus menatap ke arah Nindy yang masih berada di dalam bianglala tersebut.
"Kuat," sahut Adam. Lalu dengan cepat ia yang dibantu oleh penjaga bianglala tersebut mengeluarkan Nindy dari wahana tersebut.
Sedangkan Jiya pun segera menggendong Bumi dan membawa anak laki-laki tengil itu mengikuti Adam yang mencari tempat yang lebih tenang.
Setelah berjalan selama lima menit dan juga petunjuk dari para penjaga wahana yang lain, akhirnya mereka pun sampai di rumah salah satu warga lewat jalan pintas.
"Kenapa ini?" tanya pemilik rumah dengan panik, ia terkejut melihat Adam, Jiya dan beberapa pedagang yang mengantarkan mereka datang ke rumah itu.
Lalu Jiya pun segera menjelaskan masalah Nindy tersebut. Pemilik rumah itu pun dengan cepat membuka rumahnya dan membantu menyadarkan Nindy yang terlihat pucat.
Setengah jam berlalu, akhirnya Nindy pun sadar.
"Syukurlah," ucap Jiya sambil memeluk sahabat baiknya tersebut. "Kamu nggak apa-apa kan Nin?" tanya Jiya sambil memberikan teh hangat sahabatnya tersebut.
Nindy pun segera bangkit dari posisinya saat ini lalu meminum teh hangat tersebut. "Aku tidak apa-apa," sahutnya pelan dengan tangan yang masih gemetar.
Setelah melihat sahabatnya tersebut meminum teh hangat, Jiya pun bisa bernapas lega. "Ya sudah kamu istirahat saja dulu," ujarnya.
Nindy pun mengangguk dan kembali membaringkan tubuhnya di sofa yang ia gunakan untuk rebahan tersebut.
Sedangkan Jiya segera keluar ke teras rumah tersebut mencari Adam dan Bumi.
'Mereka sedang apa?' batin Jiya saat melihat Adam dan Bumi duduk berjauhan.
"Ehem," dehem Jiya memulai perkataannya. "Dia sudah sadar," ucapnya sambil berjalan mendekati kedua orang tersebut.
Adam pun langsung menoleh. "Baiklah, sebentar lagi akan ada orang yang menjemput dan membawa kita ke rumah sakit," ujarnya dengan tenang.
Jiya pun mengangguk tanda mengerti.
Sesaat kemudian Bumi menoleh dan berteriak, "Aku tidak bersalah!"
Jiya pun tersentak mendengar hal itu. Tapi dengan cepat ia segera mengubah ekspresi wajahnya, sebuah senyum pun bertengger di sana.
"Siapa yang bilang kamu salah?" tanya Jiya mencoba menghibur anak laki-laki tengil yang selalu dicap sebagai anak nakal itu (walau pun di dalam hatinya Jiya juga menyalahkan Bumi, tapi saat melihat ekspresi Bumi tersebut ia menjadi tidak tega).
"Kamu percaya?" tanya Bumi dengan suara serak menahan tangis.
"Percaya kok," jawab Jiya dengan lembut.
Kemudian Bumi pun turun dari sofa yang ia duduki dan berlari memeluk Jiya. "Tante Jelek bilangin Papa kalau aku tidak salah," ujarnya sambil terus memeluk erat kaki Jiya.
'Anak ini menangis?' batin Jiya sambil mengernyitkan keningnya. Kemudian ia menatap ke arah Adam yang juga sedang menatapnya.
Beberapa saat mereka saling menatap kemudian Jiya mengalihkan pandangannya dengan wajah yang memerah. 'Dih, emang ini film India … sadar Ji,' batin Jiya yang mencoba mengalihkan pikiran-pikiran positif yang mulai timbul di otaknya.
"Ehem," dehem Adam mengalihkan suasana canggung antara dirinya dan jiya. "Bumi, lepaskan Tante Jiya."
Bumi pun semakin erat memeluk kaki Jiya. "Tidak mau," sahutnya.
"Sudah biarkan saja. Kalau tidak mau lepas, biar nanti malam dia tidur bersamaku," goda Jiya sambil mencolek pinggang Bumi.
Bumi pun segera melepaskan pelukannya. "Tidak bisa. Laki-laki tidak boleh tidur dengan perempuan selain istrinya," sahut Bumi dengan tegas.
Jiya pun terkekeh mendengar jawaban anak laki-laki tengil tersebut. "Siapa yang mengatakan hal ini pada kamu?" tanyanya sambil terus tertawa.
Bumi pun mengernyitkan dahinya. "Papa," jawabnya dengan polos.
Adam lalu mengusap-ngusap wajahnya saat mendengar jawaban polos anak laki-laki tengil tersebut.
Jiya pun makin cekikikan melihat ekspresi Bumi yang polos dan juga tingkah Adam tersebut.
"Kenapa, apa itu salah?" tanya Bumi yang benar-benar bingung.
Jiya pun menunduk dan menjawab, "Ucapan Papa kamu itu benar. Tidak boleh ada wanita yang tidur bersama kamu selain wanita yang sudah kamu nikahi." Kemudian Jiya pun dengan cepat mengecup pipi anak laki-laki di hadapannya tersebut.
Wajah Bumi pun memerah. "Kenapa kamu selalu mencium pipiku?" tanya Bumi dengan kesal.
"Karena aku mencium pipi orang yang aku sukai," kelakar Jiya.
Mereka pun terus mengobrol hingga akhirnya terlihat sebuah mobil masuk ke halaman rumah tersebut. Setelah mobil itu berhenti, terlihat Barak keluar dari mobil tersebut.
"Tuan," sapa Barak.
Kemudian Barak pun segera masuk ke dalam rumah tersebut, ia dengan cepat menggendong Nindy masuk ke dalam mobil dengan diikuti oleh Adam, Jiya dan Bumi setelahnya.
Lima belas menit kemudian mereka sudah sampai di sebuah rumah sakit swasta yang ada di dekat desa itu. Nindy pun segera di tempatkan di ruangan VIP atas permintaan Adam.
"Sebenarnya ini tidak perlu Pak, saya hanya kaget saja," ujar Nindy dengan lemah.
"Saya tidak mau mengambil resiko. Kamu ikuti saja apa kata dokter," ucap Adam dengan tegas.
Dan saat Nindy ingin menyahut tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering.
"Maaf," ujar Jiya yang dengan cepat menjauh untuk mengangkat panggilan di ponselnya tersebut.
'Siapa yang meneleponnya?" batin Adam yang penasaran.
Dan beberapa saat kemudian …
"APA?" teriak Jiya.