14 Bukan Pencuri

Jiya pun keluar dari ruangan tersebut diikuti oleh orang-orang yang ada di ruangan tersebut.

"Kenapa?" tanya Jiya pada Bumi yang kini berdiri tidak jauh dari pintu masuk ruangan tersebut.

"Itu," ujar Bumi sambil menunjuk ke arah tempat parkir.

Jiya dan semua orang pun langsung menatap ke arah parkiran dan melihat beberapa orang berlari menjauh dari tempat itu.

"Berhenti!" teriak Jiya sambil berlari ke arah orang tersebut.

Tapi saat Jiya baru beberapa langkah, orang itu sudah lebih dulu kabur bersama temannya yang telah menunggu tidak jauh dari tempat parkir.

"Sial!" teriak Jiya kesal.

"Sudahlah, mereka sudah kabur," ujar teman Jiya yang berdiri di dekatnya.

"Hemm," gumam Jiya, lalu ia pun kembali ke tempat Bumi bersama temannya tersebut.

*

"Bagaimana?" tanya Bumi kecil sambil menatap Jiya yang terlihat lesu.

"Orangnya kabur," jawab Jiya sambil duduk di dekat Bumi. "Oh iya, tadi orang itu mau apa?" tanyanya balik.

"Tadi orang itu berada di dekat motormu. Tapi aku tidak tahu orangnya melakukan apa," terang Bumi sambil terus mengingat. "Oh iya, orang itu membawa gunting," imbuhnya.

Jiya mengernyitkan dahinya. "Gunting?"

"Iya, seperti gunting," sahut Bumi dengan ragu.

Jiya pun menatap ke arah motornya. 'Motorku berjejer dengan yang lainnya, tapi kenapa orang itu memilih motorku? Jangan-jangan orang itu memang sengaja menargetkanku,' pikirnya.

Jiya pun kembali berdiri, ia berjalan cepat ke arah motornya lalu memeriksa motor kesayangannya tersebut.

"Bagaimana?" tanya salah satu teman Jiya yang sedang berjalan ke arah parkiran.

Jiya belum menjawab dan terus memeriksa motornya, hingga beberapa saat kemudian. "Sepertinya orang-orang itu belum sempat melakukan apa pun," ujarnya dengan suara lantang.

Temannya yang lain pun segera menyahut, "Kamu yakin? Atau apa perlu didorong ke bengkel, biar dicek."

"Sepertinya tidak perlu, semuanya utuh," ucap Jiya sambil memeriksa motornya sekali lagi.

Setelah sekali lagi memeriksa motornya, Jiya pun kembali pada Bumi. Ia menanyakan beberapa pertanyaan pada anak laki-laki tengil tersebut seputar orang-orang yang dilihatnya tadi, dan Bumi pun menerangkan kronologi saat pertama kali ia melihat orang-orang tersebut hingga akhirnya ia berteriak tadi.

"Kamu itu diteror Ji. Kamu harus melaporkannya ke polisi," ujar teman Jiya yang ikut merasakan geram karena masalah tersebut.

"Benar. Kalau mengancam doang itu masih bisa dibiarkan, tapi kalau sudah sampai menyerang begini bisa bahaya," sambung yang lain.

Jiya pun terdiam mendengar apa yang dikatakan teman-temannya, pikirannya melayang membayangkan hal tersebut. Menurutnya apa yang dikatakan mereka memang tidak salah, tapi terasa ada yang mengganjal saat dia berpikir untuk ke kantor polisi dan melaporkan hal tersebut.

Beberapa saat kemudian …

"Ji, Ji!" panggil orang yang ada di samping Jiya sambil menepuk-nepuk pundaknya.

Jiya pun terkejut, ia terbangun dari lamunannya. "Ha?" tanya Jiya kebingungan.

"Dipanggil tuh," ujar teman yang membangunkan lamunannya tadi sambil menunjuk ke arah lain.

Jiya pun langsung menoleh dan menatap ke arah apa yang ditunjuk oleh temannya tersebut. Ia pun mengernyitkan keningnya menatap orang yang sedang berdiri di hadapannya.

"Kamu pulang saja denganku, biar Barak yang mengambil motormu," ucap Adam dengan suara khasnya.

"Tid—" Kalimat Jiya terhenti ketika temannya tadi menyela.

"Benar Mas kasian Jiya jika harus pulang sendirian, apa lagi dia baru kena teror," sahut teman Jiya dengan lancar.

Adam lalu menatap ke arah teman Jiya tersebut. "Teror?" tanyanya.

"Itu, tadi ada—"

Jiya pun menyela, "Bukan apa-apa, hanya orang iseng."

"Iseng gimana, kalau seperti itu namanya teror," sahut teman Jiya lagi.

Lalu Jiya pun dengan cepat mencubit pinggang temannya itu sambil membulatkan matanya. 'Dih bikin malu saja, dasar mulut ember,' batinnya kesal.

Sedangkan temannya tersebut malah terkekeh melihat ekspresi Jiya tersebut.

Adam pun menghela napas pendek. "Kalau begitu kamu ikut aku pulang," tegasnya.

"Tap—" Dan sebelum Jiya protes, Adam sudah lebih dulu berbalik dan berjalan ke arah motor sportnya bersama dengan Bumi.

"Udah jangan lama-lama, kapan lagi bisa dibonceng cowok cakep model begitu," ujar temannya sambil mencolek lengan Jiya.

Jiya pun menatap temannya dengan ekspresi aneh bercampur kesal. Tapi temannya itu malah cekikikan melihat hal tersebut.

'Dasar!" gerutu Jiya di dalam hati lalu berjalan ke arah motor Adam.

"Ayo Tante Jelek! Jangan lama-lama!" teriak Bumi dengan sengaja.

Jiya tak menyahut, ia pun memilih mempercepat langkahnya agar mulut anak laki-laki tengil itu tak mengatakan hal-hal lain lagi.

Mereka bertiga pun benar-benar berboncengan pulang bersama. Sepanjang perjalanan itu Bumi dan Jiya terus berdebat karena anak laki-laki tengil itu menceritakan semua yang didengarnya.

Awalnya Jiya membantah perkataan-perkataan Bumi, tapi karena Bumi berkata, 'Anak kecil adalah makhluk yang paling polos di muka bumi ini' maka Jiya akhirnya menceritakan semua masalahnya. Ia terus bercerita hingga akhirnya sampai di halaman rumah Adam.

"Turun dulu, aku akan mengambil sesuatu sebentar," ujar Adam.

Lalu mereka bertiga pun segera turun dari motor tersebut. Adam dan Bumi segera masuk ke dalam rumah, sedangkan Jiya duduk di teras rumah tersebut.

Beberapa saat kemudian Adam pun keluar dari dalam rumah dengan membawa sebuah map di tangannya.

"Kalau kamu repot, aku akan pulang sendiri saja," ujar Jiya sambil menatap map yang ada di tangan Adam tersebut.

Adam lalu menyahut, "Aku juga akan ke rumah kamu."

"Oh …" gumam Jiya lalu menatap ke arah pintu rumah tersebut. "Di mana Bumi, dia tidak ikut?''

"Tidak," jawab Adam sambil berjalan ke arah motornya lagi.

"Aku jalan kaki saja, kamu bisa pergi lebih dulu."

Adam pun menghentikan langkah sejenak. "Kenapa?" tanyanya tanpa menoleh.

"Kenapa?" gumam Jiya. "Karena … karena …" Jiya bingung mencari alasan untuk menjawab pertanyaan Adam tersebut.

Adam pun menghela napas ringan lalu berkata, "Ayo!" ajaknya.

"Ayo?" Jiya mengernyitkan keningnya.

Adam pun menoleh. "Kenapa mendadak bodoh? Ayo kita jalan," ujarnya dengan kaku.

Jiya pun menyipitkan matanya mendengar ajakan tersebut. Tapi pada akhirnya ia pun mengikuti Adam.

"Mas motor kamu masih di halaman, apa tidak—"

"Biarkan saja. Barak di rumah, dia akan membereskannya."

Jiya dan Adam pun berjalan bersama dengan santai melewati jalanan berpaving itu. Jiya pun berbicara panjang lebar tentang pemikirannya dan apa yang dilakukan Bumi kecil terhadap Lina dan juga kejadian di tempat mengajar tadi. Hingga akhirnya …

"Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan?" tanya Adam yang pusing mendengar perkataan Jiya yang seakan berputar-putar.

"A-aku hanya ingin bilang kalau emmm …" Jiya ragu saat ingin melanjutkan kalimatnya.

Adam pun menyahut, "Kalau untuk masalah teman kamu itu, aku akan mengganti rugi atas kerugian yang dia terima. Besok dia bisa datang ke rumah."

Jiya pun menarik lengan Adam. "Berhenti dulu," ujarnya.

Adam pun mengehentikan langkahnya lalu menatap Jiya dengan aneh.

"Apa kamu pikir semuanya bisa kamu beli dengan uang?" tanya Jiya dengan menatap tajam ke arah Adam.

"Iya," sahut Adam singkat.

"Tidak semua hal bisa kamu beli dengan uang."

"Contohnya?" tanya Adam sambil kembali berjalan.

Jiya segera mengikuti Adam lagi. "Contohnya perasaan Bumi."

Mendengar perkataan Jiya, Adam pun berhenti seketika. "Lanjutkan," pintanya.

"Aku tahu sebagai orang luar aku tidak pantas menanyakan ini. Tapi sepertinya ini sangat mempengaruhi sikap dan pikir—"

"Katakan saja, jangan berputar-putar," tandas Adam.

"Di mana ibunya Bumi?"—Jiya menatap serius—"Dia mengatakan jika ibu itu sangat menjengkelkan. Mungkin ada beberapa hal yang harus dibicarakan antara kalian berdua."

Adam pun menatap Jiya dengan nanar. "Ibunya …

avataravatar
Next chapter