10 Bukan Dari Paijo

"A-a-aku …" Jiya kebingungan harus menjawab apa.

Adam pun memejamkan matanya. "Ehem," dehemnya, "sudah aku tidak ingin mendengar omong kosong lagi. Apa yang terjadi?" tanyanya sambil menatap ke arah Jiya.

Kemudian Lina pun langsung menyahut, "Ini Pak, saya Lina. Saya salah satu temannya Jiya, saya ingin melamar menjadi pengasuh untuk anak Bapak."

Adam pun langsung menatap ke arah Lina. "Jadi kamu?"

"Iya Pak, saya," sahut Lina sambil tersenyum manis pada Adam.

'Apa orang seperti ini bisa menangani Bumi,' pikir Adam sambil menatap ke arah Lina beberapa saat.

"Ya baiklah kamu ikuti saja bagaimana perkataan Jiya," ucap Adam dengan tatapan dingin menyertai kalimatnya.

"Baik Pak," sahut Lina dengan lembut.

Lalu Adam kembali menatap ke arah Jiya yang masih sibuk menggoda Bumi kecil. "Kamu," panggilnya.

"Aku?" tanya Jiya sambil menatap Adam.

"Iya kamu," sahut Adam. "Kamu urus semuanya. Hari ini aku ada urusan dengan Pak Ghofur," imbuhnya dengan santai.

Jiya pun mengangguk. "Baiklah," sahutnya.

Setelah itu Jiya pun berbicara beberapa hal pada Lina, hingga Lina pun mengangguk tanda setuju pada apa yang dikatakan olehnya.

"Baiklah kalau begitu kalian berangkat saja dulu, aku akan segera menyusul setelah dari toko," ujarnya dengan santai sambil mencubit lembut pipi Bumi kecil.

Wajah Bumi pun seketika memerah karena perlakuan Jiya tersebut. "Dasar Tante Jelek, aku akan membalas perbuatan kamu," teriaknya ke arah Jiya yang kini sudah jauh meninggalkan halaman rumah tersebut.

Kemudian …

"Hai anak tampan," sapa Lina dengan lembut dan terlihat penuh kasih.

Bumi pun langsung melirik tajam ke arah wanita yang melamar menjadi pengasuhnya itu. "Ada apa?" sahutnya dengan ketus.

Lina pun langsung tersenyum canggung. "Itu … aku akan membawa kamu jalan-jalan ya," jawabnya dengan sabar.

Bumi lalu berbalik dan menatap ke arah Lina dengan santai. "Kemana?" tanyanya.

"Ada deh, itu rahasia," sahutnya dengan centil.

Bumi pun tersenyum lebar. 'Rahasia ya … hehehe,' batin Bumi dengan beberapa ide kacau muncul di otaknya.

"Baik kalau begitu aku mau," ucap Bumi sambil menggenggam tangan Lina.

"Iya-iya, kalau begitu ayo berangkat." Lina pun mengatakan hal itu dengan penuh semangat karena menganggap Bumi kecil sudah memberikan lampu hijau padanya. Padahal ia tidak tahu apa yang akan menimpanya setelah ini.

*

Di tempat Jiya.

Setelah pulang dari rumah sewa Adam, Jiya pun langsung kembali ke rumahnya. Ia segera bersiap dan berdandan rapi dengan penampilan berbeda.

"Kamu mau kemana?" tanya Bu Mutia saat melihat Jiya yang baru selesai berdandan kini keluar dari kamarnya.

Jiya pun menyahut dengan santai, "Mau ke toko Bu, habis itu mau ke tempat anak-anak."

"Kamu mau mengajar?" tanya Bu Mutia.

"Iya Buk, ngajar sambil menjalankan bisnis," jawab Jiya sambil berjalan menjauh.

Bu Mutia pun langsung mengikuti langkah Jiya. "Kamu mau bisnis apa?" tanyanya yang terdengar cemas.

"Biasa Buk, bisnis kecil-kecilan," sahutnya ringan.

Bu Mutia pun semakin mempercepat langkahnya menyusul Jiya. "Jangan bisnis macam-macam, anaknya Pak Sumeh kemarin ditangkap. Ibu tidak mau—"

Jiya pun langsung menyela, "Ibuk jangan mikir aneh-aneh, aku nggak mungkin jadi pengedar begituan. Dari pada kerja begitu, mending aku jualin ikan yang ada di akuarium," sahutnya dengan santai.

Bu Mutia pun langsung mencubit pinggang Jiya. "Awas saja kalau kamu berani jual si loreng sama si empus, ndak tak masakin seminggu kamu," ancam Bu Mutia dengan gemas.

Jiya pun cekikikan karena mendapat cubitan dari ibunya. "Tuh si loreng oleng," ujar Jiya sambil menunjuk ke arah akuarium yang berada tidak jauh darinya.

Bu Mutia pun langsung menatap ke arah akuarium tempat ikan kesayangannya.

"Si loreng tenggelam, minta digoreng dia," imbuh Jiya yang memang sengaja menggoda ibunya lalu berlari menjauh dari ruangan itu.

Ia pun segera pergi ke garasi dan mengeluarkan motor matic-nya sambil terus tertawa mendengar ibunya yang tak berhenti mengomel.

Lalu …

"Ibumu kenapa?" tanya Pak Ghofur yang kini sedang duduk di teras bersama dengan Adam.

Jiya pun menatap Adam sesaat lalu menjawab pertanyaan ayahnya, "Itu Yah si loreng tenggelam, dia minta digoreng."

Pak Ghofur pun tersenyum mendengar jawaban anak semata wayangnya itu.

"Ya sudah Pak, aku berangkat ya … Assalamualaikum," ujarnya lalu menjalankan motor matic-nya.

"Wa'alaikumsalam," sahut Pak Ghofur dan Adam bersamaan.

Adam pun terus menatap Jiya yang sudah menjauh. 'Kenapa dia berbeda dengan yang sebelumya,' batinnya yang sempat memperhatikan Jiya yang menggunakan rok panjang dan kemeja santai. Dengan rambutnya yang dibiarkan terurai bebas, seolah memperlihatkan sosok lembut dan tak mirip dengan sosok Jiya sebelumnya.

"Ehem," dehem Pak Ghofur membuyarkan lamunan Adam. "Dia memang begitu, suka sekali menggoda ibunya," sambungnya.

"Ah iya," sahut Adam yang langsung kembali menatap ke arah Pak Ghofur.

Setelah itu Adam pun kembali membicarakan masalah kerja samanya dengan Pak Ghofur.

Setelah meninggalkan rumahnya, Jiya pun segera menuju ke toko kue yang ia bangun bersama temannya.

'Ndak kerasa udah sebulan,' batin Jiya ketika ia sampai di halaman toko kue tersebut.

Ia pun tersenyum lepas ketika menatap seorang gadis seusianya yang baru saja keluar dari toko kue itu.

"Kamu lama sekali datangnya," gerutu gadis itu sambil berjalan ke arah Jiya.

Jiya pun turun dari motor dengan santai. "Memangnya kenapa?" tanyanya.

"Ada sesuatu," sahut wanita tersebut.

"Kenapa Dil, ada pesanan mendadak? atau kamu belum selesai masak?" tanya Jiya yang belum bisa banyak berharap pada toko kue yang baru satu bulan buka itu.

"Jam segini belum selesai masak … memangnya aku ini kamu yang jam segini baru bangun," sahut wanita itu sambil menarik tangan Jiya masuk ke dalam toko kue.

Jiya pun mengikuti tarikan gadis tersebut. "Ada apa sih, kan sudah aku bilang kalau buka tokonya setelah kamu selesai ngurus rumah aja," imbuhnya.

Mereka pun terus berjalan hingga masuk ke dalam toko tersebut, lalu gadis tersebut membuka pintu belakang toko. "Noh kamu lihat rumahku sudah kinclong," ujar gadis itu sambil menunjuk rumahnya yang memang berada tidak jauh di belakang toko.

"Terus?" tanya Jiya sambil memegang kain lap yang ada di etalase toko.

Gadis itu kini berpindah dan duduk di salah satu kursi yang ada di dekat Jiya. "Ji, apa kamu punya musuh?" tanya gadis itu sambil menatap ke arah Jiya yang sibuk mengelap etalase.

"Banyak," sahut Jiya dengan ringan.

"Aku serius Ji," ujar gadis itu sambil mengusap-usap wajahnya.

"Dila binti Jaenudin, kamu ini kenapa?" tanya Jiya yang kemudian duduk di dekat Dila—temannya itu.

Dila menatap ke arah Jiya dengan gelisah. "Semalam ada yang menelepon dan mengancam akan menghancurkan toko ini," jawabnya.

"Menghancurkan toko ini? kenapa, apa alasannya?" tanya Jiya yang ikut terkejut mendengar hal itu.

"Aku tidak tahu, dia hanya bilang seperti itu," jawab Dila sambil mengeluarkan ponsel yang khusus digunakan untuk urusan toko dan memperlihatkannya pada Jiya. "Itu juga ada chat-nya."

Jiya pun membaca isi pesan tersebut sambil mengerutkan dahinya. "Orang ini terus mengancam tapi apa masalahnya? Toko kita juga belum rame, tidak mungkin kan kalau orang ini iri. Aneh sekali," komentar Jiya menanggapi hal itu.

"Mangkannya aku tanya sama kamu, kamu apa punya musuh?" Dila menimpali.

"Musuh …," gumam Jiya sambil berpikir keras.

Kemudian terlihat seorang anak perempuan masuk ke toko tersebut.

"Mbak," panggil anak perempuan tersebut.

"Iya, mau beli apa?" sapa Dila dengan ramah sambil berjalan ke arah anak tersebut.

Lalu anak perempuan tersebut menyodorkan sebuah kotak kado pada Dila. "Aku disuruh sama om-om ngasih ini ke sini," sahut anak perempuan tersebut.

"Om-om yang mana?" tanya Dila yang penasaran.

"Sudah pergi orangnya," sahut anak perempuan tersebut.

Lalu Dila pun menyahut, "Ya sudah terima kasih ya."

"Ya Mbak," sahut anak perempuan tersebut dan segera pergi meninggalkan tempat itu.

"Pasti dari paijomu, dasar bucin," ucap Jiya lalu kembali mengambil kain lapnya.

"Syirik aja kamu," ujar Dila sambil tersenyum dan membuka kotak itu.

Tapi tiba-tiba …

"Akkhhh!" pekik Dila.

"Kenap—" Kalimat Jiya terhenti ketika melihat Dila yang berlari keluar dan muntah-muntah di depan toko kue tersebut.

Ia pun segera berjalan ke arah kotak tersebut. Matanya terbelalak melihat benda itu. "Ini …

avataravatar
Next chapter