Dua jam kemudian akhirnya Jiya pun sadar, ia mulai membuka matanya perlahan.
"Ini di mana," gumam Jiya sambil memegangi kepalanya yang terasa berat. "Hacihhh!" Ia pun bersin seketika.
"Sudah bangun?" tanya seorang wanita yang kini berjalan ke arahnya.
"Sudah, kamu siapa? Dan di mana ini?" tanya Jiya yang sangat asing melihat wanita itu.
Wanita itu pun tersenyum hangat. "Ini ada di hotel dan saya adalah dokter yang dipanggil oleh Pak Adam untuk merawat kamu?" jawabnya dengan tenang sambil memberikan segelas teh hangat pada Jiya.
"Terima kasih," ucap Jiya lalu menerima teh tersebut dan segera menyeruputnya.
Tapi tiba-tiba Jiya menghentikan aktifitasnya. "Tunggu, hotel? Pak Adam itu orang yang menabrakku semalam kan, di mana dia?" tanya Jiya yang berubah sehat seketika.
"Kenapa?" tanya seseorang yang baru saja masuk ke dalam kamar tersebut.
Jiya pun langsung menatap ke arah orang tersebut. "Iya, kamu yang semalam. Di mana temanku?"
"Dia sedang mencari makan," sahut orang tersebut dengan santai.
Lalu dokter yang baru saja memberikan segelas teh pada Jiya pun mendekat ke arah orang tersebut. "Pak Adam, gadis ini tak apa-apa. Dia hanya mengalami luka luar dan sedikit demam saja, setelah minum obat dia akan membaik," lapornya dengan suara yang mendayu.
'Oh … ternyata pasangan,' batin Jiya sambil memperhatikan tingkah dokter tersebut.
Lalu laki-laki itu pun menyahut, "Ya, kamu bisa pergi."
'Cih sombong sekali,' batin Jiya mengomentari sikap dingin Adam pada dokter tersebut di dalam hatinya.
"Ba-baik Pak," ujar dokter cantik tersebut dengan canggung lalu pergi meninggalkan kamar hotel tersebut.
Laki-laki itu pun kembali menatap ke arah Jiya. "Kalau lapar cepat pergi ke bawah, jangan terus di tempat tidurku," ucap laki-laki itu dengan dingin.
Mendengar hal itu, Jiya pun kembali merebahkan tubuhnya di ranjang tersebut. "Aku korban, kakiku sakit dan aku lapar," ujar Jiya dengan seenaknya.
"Kamu …" geram laki-laki tersebut.
"Ayolah Pak Adam, kamu masih termasuk manusia kan?" ujar Jiya dengan tingkah konyolnya.
Adam pun mengernyitkan keningnya. "Terserah," sahut Adam dengan raut wajah masam lalu pergi meninggalkan kamar tersebut.
Kemudian Jiya pun bangun kembali dari posisinya. "Laki-laki itu pasti makannya batu," ucapnya mengomentari sikap kaku Adam.
Setelah itu Jiya pun menatap sekitar, lalu mulai bangun dari ranjang hotel tersebut.
"Ini kamar mewah," gumamnya lalu membuka gorden kamar tersebut.
Tiba-tiba kamar itu terbuka lagi.
"Bukannya kamu sakit?" tanya Adam yang baru saja masuk kembali ke dalam kamar itu.
"Iya, sakit," sahut Jiya sambil menoleh ke arah Adam lalu duduk kembali di ranjang yang ada di dekatnya.
Tak lama kemudian muncul pelayan yang masuk ke dalam kamar tersebut sambil membawa makanan.
"Cepat makan," ucap Adam singkat setelah pelayan itu meninggalkan kamar tersebut.
"Eh Pak Adam, kamu tahu di mana bajuku?" tanya Jiya sambil berjalan ke arah meja yang sudah di penuhi dengan makanan.
"Aku buang," sahut Adam ringan sambil duduk di sofa yang ada di dekat meja tersebut.
"Kenapa dibuang?" tanya Jiya sambil duduk di dekat Adam dengan santai.
Adam pun menyahut dengan ringan, "Basah dan kotor."
Jiya pun menghela napas panjang. "Baiklah, lalu ponselku?" tanya Jiya kembali.
"Sebentar lagi akan diantar kemari, semalam basah terkena hujan."
"Lalu motornya temanku?"
Adam pun langsung menatap Jiya tajam. "Apa kamu tidak bisa tenang sedikit," tukas Adam.
"Ya aku kan harus memastikannya dengan jelas, soalnya temanku itu kalau lihat orang ganteng kepalanya langsung nge-blank," sahut Jiya tanpa ragu.
Adam pun langsung menghela napasnya panjang. "Sedang di bengkel, jelas?" ujar Adam yang sudah sangat jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan Jiya yang seperti tak ada habisnya.
Jiya pun menatap ke arah lain, lalu menyahut, "Jelas."
Setelah itu mereka pun sarapan pagi bersama dengan tenang. Hingga …
Tok! Tok! Tok! Pintu kamar hotel tersebut di ketuk oleh seseorang.
"Masuk," ujar Adam.
Lalu terlihat seseorang masuk dengan pelan ke kamar tersebut.
"Kamu sudah makan Nin?" tanya Jiya sambil menyendok makanan ke mulutnya dengan santai.
Nindy pun tertegun melihat pemandangan yang ada di depannya. 'Bukannya laki-laki itu sangat sangat menakutkan,' batin Nindy sambil menggenggam ujung pakaiannya.
"Su-sudah," sahut Nindy dengan pandangan terus menunduk.
'Ada apa dengan Nindy?' batin Jiya yang heran dengan sikap sahabatnya itu.
Kemudian masuklah orang ke dalam kamar tersebut. "Pak," ujar orang itu menyapa Adam.
Adam pun langsung menatap tajam ke arah orang yang baru masuk tersebut. "Besok kamu tidak usah bekerja lagi," ujarnya santai.
"Tapi Pak … maafkan saya Pak saya lupa tidak mengetuk pintu, saya janji—"
"Aturan dasar saja kamu lupa, untuk apa kamu bekerja," sahut Adam dengan santai.
"Tapi Pak, saya mohon saya—"
"Pergi!" bentak Adam.
"Uhuk-uhuk!" Jiya pun langsung tersedak mendengar bentakan Adam. Kemudian ia dengan cepat menatap ke arah Adam. 'Ganteng sih, brewok juga … tapi hatinya dijual kiloan apa, kejam banget,' pikir Jiya sambil memijat-mijat dadanya.
"Apa kamu melihat air di mukakku?" sentak Adam.
Jiya pun langsung mengalihkan pandangannya dan mengambil air di meja. Dengan sekali tenggak Jiya pun menghabiskan segelas air putih tersebut. "Hufff … lega," ujarnya sambil mengelus dadanya dengan penuh syukur.
"Ceroboh," celetuk Adam lalu kembali menyendok makanan ke dalam mulutnya.
Jiya pun menanggapi celetukan laki-laki itu dengan tatapan aneh.
Lalu terlihat orang yang baru saja dipecat oleh Adam tersebut berjalan mendekati Jiya. "Nona, ini ponsel dan barang Anda," ujar orang tersebut tak bertenaga.
Jiya pun langsung menerima barang-barang tersebut dengan perasaan yang ikut tak enak. "Te-terima kasih," ujarnya.
Lalu orang itu pun segera pergi meninggalkan kamar itu dengan kepala yang terus tertunduk.
'Melase (kasihan banget),' batin Jiya yang terus menatap orang tersebut. Tak lama kemudian, ia pun mengalihkan pandangannya pada Nindi yang masih berdiri di dekat pintu kamar tersebut. "Kamu kenapa Nin?" tanyanya sambil mengerutkan keningnya.
"Aku lupa, aku mau ke toilet," sahut Nindi yang dengan cepat berlari keluar dari kamar tersebut.
"Kan di sini ada toilet," gumam Shassy sambil menatap kamar mandi di dalam ruangan tersebut.
Setelah itu Jiya pun langsung menyalakan ponselnya, dan tak lama kemudian puluhan panggilan tak terjawab pun muncul di layar ponselnya.
"Astaghfirulloh, mati aku," ucapnya sambil menepuk jidat, setelah itu ia pun sibuk dengan ponselnya.
Sedangkan Adam yang sedang makan dengan tenang pun akhirnya penasaran dan sesekali melirik ke arah Jiya.
"Apa yang kamu lakukan berisik sekali."
"Aku sedang menunggu Nindy kembali ke sini," sahut Jiya dengan gelisah.
"Kenapa?" tanya Adam yang sok cuek, padahal penasaran.
"Karena—"
Tok! Tok! Tok! Lalu Nindy pun masuk ke dalam kamar itu lagi.
Jiya pun melanjutkan kalimatnya. "Karena aku mau pulang," ujarnya sambil mengangkat tas miliknya lalu melangkah ke arah Nindi.
"Tunggu," cegah Adam yang kemudian berjalan ke arah Nindi dan Jiya.
Jiya dan Nindi pun menatap ke arah Adam.
"Ini uang kompensasi untuk kalian, dan motornya akan diantarkan nanti," ucap Adam sambil memberikan amplop coklat.
Nindi pun langsung menyahut, "Tidak usah Pak, ini—"
Tapi dengan cepat Jiya menyambar amplop tersebut. "Terima kasih atas ketulusan hati Pak Adam, saya mewakili kami berdua menerima amplop ini," ujarnya dengan sopan.
"Ji." Nindi mencubit lengan Jiya.
"Diam," bisik Jiya.
Adam pun menghela napas kasar melihat kelakuan gadis di depannya itu.
"Oh iya satu lagi, semoga kita tidak bertemu lagi. Assalamualaikum," ucap Jiya lalu menarik tangan sahabatnya dan meninggalkan kamar itu dengan cepat.
"Waalaikum salam," sahut Adam lalu tersenyum tipis memandangi Jiya dan Nindi yang berlari melewati pintu kamar tersebut. "Konyol," gumamnya.
Sesaat kemudian …
Kringgg! Ponselnya berbunyi.
"Halo," sapa Adam dengan lembut.
"Kamu di mana?" teriak anak kecil yang ada di dalam panggilan tersebut.
"Bumi, tenang …