3 Alasan Penangkal

"Bumi tenang. Papa sedang ada di luar kota, sedang mengurus proyek baru," jawab Adam sambil memijat kepalanya.

"Papa, masih lama di sana?" tanya Bumi—anak yang ada di dalam panggilan tersebut.

"Masih, mungkin—"

Tut … tut … tut! Panggilan tersebut terputus begitu saja.

"Dasar anak nakal," ujar Adam sambil menatap layar ponselnya.

*

Di tempat lain.

Saat ini Jiya dan Nindi pun bergegas meninggalkan hotel tersebut. Dan ketika mereka sampai di luar hotel …

"Gendeng awakmu Ji, wani-wanine awakmu nompo duwike wong kae maeng (gila kamu Ji, berani-beraninya kamu menerima uang dari orang tadi)," gerutu Nindi sambil mencuit lengan Jiya karena gemas.

"Yo eman-eman lek ndak tak trimo (Ya sayang banget kalau nggak aku terima)," sahut Jiya sambil memasukkan amplop itu ke dalam tasnya.

"Tapi …"

"Nggak usah tapi-tapian," potong Jiya lalu menarik tangan Nindi lagi.

Setelah berlari-lari kecil, akhirnya mereka pun masuk ke dalam sebuah warung kopi.

"Mbak, kopi susu dua," ucap Jiya sambil melambaikan tangannya pada penjual kopi yang sedang duduk di bagian dalam.

"Yo," sahut penjual kopi tersebut.

Lalu Jiya pun mengambil pisang goreng hangat yang ada di hadapannya dengan santai.

"Ji aku serius, bagaimana kalau sampai laki-laki itu menuntut kita karena pemerasan," ucap Nindi yang terlihat gelisah.

"Tidak akan, dia itu orang kaya," sahut Jiya sambil mengunyah pisang goreng di mulutnya.

"Orang kaya itu susah ditebak," balas Nindi. "Duh kamu bikin masalah sih." imbuhnya.

Lalu Jiya pun mengelap tangannya dengan tisu dan dengan cepat mengambil ponsel yang ada di dalam tas kecilnya. "Itu masalah belakangan, yang paling penting sekarang kamu bantu aku ngomong sama ayah dan ibu," ujarnya sambil menyodorkan ponselnya pada Nindi.

Nindi pun menelan ludahnya saat mendengar permintaan temannya itu. "Aku harus ngomong apa?" tanyanya sambil menggaruk-garuk pelipisnya.

"Apa ya …" gumam Jiya yang juga ikut bingung.

Keduanya pun termenung memikirkan alasan terbaik yang akan diberikan kepada orang tua Jiya, hingga kopi mereka pun datang.

"Ini Mbak kopinya," ucap penjual kopi tersebut sambil menurunkan kopi pesanan Jiya dari nampannya.

Lalu Jiya pun menatap ke arah penjual kopi tersebut. "Mbak, kalau andaikan Mbak ini nggak pulang semaleman terus kira-kira apa alasan yang bakal Mbak berikan sama orang rumah?"

"Saya kan emang sering nggak pulang Mbak," sahut penjual kopi tersebut sambil tersenyum geli mendengar pertanyaan Jiya.

"Ya, andaikan orang tua Mbak galaknya kaya macan gitu … kira-kira Mbak bakal ngasih alasan apa?" tanya Jiya sekali lagi.

"Kalau galak sih, ya mending nggak pulang," sahut penjual kopi.

'Memang salahku sih nanya beginian ke cewek model begini,' batin Jiya sambil melirik rok kelewat mini yang digunakan penjual kopi tersebut.

"Tapi," sambung penjual kopi, "kalau jadi sampean, aku pasti abis ketabrak atau jatuh dari mana gitu," ucap penjual kopi sambil menunjuk lengan Jiya yang di perban.

Jiya pun tersenyum cerah. "Ah benar. Wuihh … Mbak e emang cerdas," puji Jiya.

"Aku memang cerdas Mbak," sahut penjual kopi dengan centil lalu berjalan lenggak-lenggok meninggalkan meja Jiya dan Nindi.

Setelah itu Nindi pun menghela napas dalam lalu mengambil ponsel yang sedari tadi temannya itu sodorkan. "Nih, aku ngomong sama emak-bapakmu," ujar Nindi lalu benar-benar menelepon orang tua Jiya seperti yang temannya itu inginkan.

Dan setelah menjelaskan panjang lebar pada orang tua Jiya, kemudian Nindi pun mematikan panggilan tersebut dengan alasan ingin pergi ke toilet.

"Udah tuh," ucap Nindi sambil mengembalikan ponsel tersebut pada Jiya.

"Alhamdulillah," ujar Jiya sambil mengusap-usap dadanya dengan ekspresi lega.

Lalu Nindi pun menatap ke arah tas kecil milik Jiya. "Ngomong-ngomong, isi amplopnya berapa?" tanya Nindi.

"Aku kira kamu nggak mau," ucap Jiya lalu mengeluarkan amplop tersebut.

"Mana ada," sahut Nindi lalu merebut amplop itu dengan cepat. Ia pun segera menghitung uang yang ada di dalam amplop tersebut, sedangkan Jiya melanjutkan makan pisang gorengnya.

"Tiga juta!" pekik Nindi.

"Husttt," Jiya menyuruh Nindi menahan nada tingginya.

"Maaf-maaf, abis banyak banget ei … padahal dia udah ngobatin kita, benerin motor aku masih ngasih tiga juta lagi padahal kita kan gak papa," ujar Nindi dengan mata berbinar.

Jiya langsung saja menunjuk wajah Nindi. "Langsung ijo kan mata kamu kalau lihat duit," ujar Jiya sambil mencolek hidung sahabatnya itu.

"Ya kan kalau kerja harus berapa lama dapet uang segini," sahut Nindi sambil membagi uang tersebut.

"Pantes aja ya banyak orang yang milih nipu ginian dari pada kerja," ucap Jiya dengan ringan lalu menyesap kopi pesanannya.

Nindi pun terkejut mendengar ucapan Jiya. "Jangan bilang kamu mau kerja begini."

"Ngawur," sahut Jiya. "Bisa dicoret dari KK kalau aku nipu orang," lanjutnya.

Nindi pun terkekeh saat mendengar sahutan Jiya.

Setelah itu mereka terus mengobrol dan bercanda tawa, hingga akhirnya mereka pun menghubungi orang untuk mengantar mereka pulang.

**

Di rumah Jiya.

Setelah setengah jam dibonceng naik motor, akhirnya Jiya pun sampai di rumah.

"Mobil siapa nih," gumam Jiya saat melihat sebuah mobil hitam terparkir di halaman rumahnya.

"Assalamualaikum," salam Jiya ketika akan masuk ke dalam rumah seperti biasanya.

Lalu beberapa orang yang ada di dalam ruang tamu pun menyahut salam itu bersamaan.

Jiya pun terkejut melihat dua laki-laki yang tengah duduk berjejer di ruang tamu tersebut.

"Kamu …" gumam Jiya sambil menunjuk ke arah salah satu laki-laki tersebut. 'Kenapa Si Ganteng ada di sini,' batin Jiya

Tiba-tiba …

"Apa itu Jiya?" teriak orang dari ruang belakang yang dengan cepat berlari ke ruang tamu.

"Haduh," gumam Jiya sambil menghela napas dalam.

"Mana yang luka?" tanya seorang wanita paruh baya yang baru saja berlari dari ruang belakang itu sambil menatap Jiya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Lalu salah seorang laki-laki yang membuat Jiya terkejut tadi segera berdiri dan mendekati Jiya. "Kamu kenapa?" tanya laki-laki tersebut terlihat penuh perhatian.

"Nggak usah sok perhatian!" bentak Jiya.

Semua orang yang ada di ruang tamu itu pun terkejut.

"Kamu kenapa Ji?" tanya wanita paruh baya tersebut dengan heran.

Jiya pun langsung mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto-foto yang semalam diambil oleh Nindi.

"Tuh, Mas Hendra tentara yang soleh mantu idaman Ibuk sama keponakan Ibuk yang lemah lembut bak bidadari surga," ucap Jiya dengan suara yang sengaja dikeraskan.

"Itu hanya kesalah pahaman," sahut Hendra dengan cepat.

Jiya pun tersenyum sinis. "Tamparan semalem juga salah paham," sahut Jiya.

"Sudah! Ada tamu, kenapa malah ribut!" bentak laki-laki paruh baya yang duduk di sisi lain ruang tamu itu.

Ibu Jiya pun terdiam mendengar bentakan dari suaminya tersebut dan langsung mundur. Sedangkan Jiya juga diam, tapi dengan cepat ia menarik kerah leher calon suaminya tersebut dan dengan sekuat tenaga menarik laki-laki itu keluar dari rumah tersebut.

Akhirnya semua orang pun langsung beranjak dari tempatnya dan dengan cepat mengikuti Jiya.

"Maafkan aku Ji, aku khilaf. Pernikahan kita sebentar lagi, apa—"

"Kamu pilih mati sekarang, apa mati setelah menikah!" teriak Jiya sambil mengambil sebuah gergaji mesin yang entah sejak kapan ada di teras rumah tersebut.

"Ji, hentikan," ucap ayah Jiya yang dengan hati-hati mendekati Jiya.

Jiya pun dengan cepat menyalakan gergaji mesin tersebut tanpa ragu.

"Kamu gila Ji! Kamu gila!" teriak Hendra yang dengan cepat berlari dan segera membawa motornya pergi dari halaman rumah Jiya.

Jiya pun dengan cepat mematikan gergaji mesin yang ada ditangannya tersebut sambil tersenyum penuh kemenangan. "Huff," Jiya meniup gergaji tersebut dengan puas. "Besok aku mau beli yang seperti ini satu," gumamnya sambil meletakkan gergaji tersebut di tempatnya kembali.

Lalu …

"Maafkan kejadian ini Nak Adam," ucap Ayah Jiya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tak apa-apa Pak Ghofur, saya mengerti," sahut Adam dengan sopan.

Lalu Pak Ghofur pun menatap Jiya. "Cepat minta maaf," perintah Pak Ghofur.

Jiya pun menurut. "Maafkan saya Pak Adam."

'Gadis yang menarik,' batin Adam sambil menatap Jiya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Iya saya maafkan, bagaimana dengan lukamu?"

"Nak Adam pernah bertemu dengan anak saya sebelumnya?" tanya Pak Ghofur menyelidik.

"Saya—"

"Kami bertemu di Puskesmas tadi saat aku di sana," ucap Jiya memotong kalimat Adam dengan cepat.

Adam pun mengernyitkan keningnya saat menatap senyum manis dari bibir busur cupid milik Jiya, ia pun terdiam sesaat saat gadis di hadapannya itu mengedipkan mata besarnya beberapa kali.

"Ya," sahut Adam melengkapi kebohongan Jiya tersebut.

Tiba-tiba …

BRAKKKKK! Terdengar suara yg terjatuh dari dalam rumah.

Jiya pun langsung berlari masuk dan …

"Ibukkk!" teriaknya melengking.

avataravatar
Next chapter