1 1. Keberuntungan

"Makan gorengan melulu, Mbak. Apa enggak takut kegemukan?"

Seorang gendut tiba-tiba mengajak Bunga bicara ketika dia sedang mengunyah bakwan di peron menunggu kereta LRT.

Seorang om-om kisaran 40 tahunan. Sepertinya belum menikah.

Kaus oblong kremnya melonggar karena lipatan-lipatan dagingnya yang menumpuk. Dan basah karena keringat dan minyak yang jatuh dari cara makannya yang blepotan.

Dia juga makan gorengan. 1 bakwan dia lahap, lalu risol tak lupa dengan sambal—dia punya sambal!

Dia seharusnya mengaca pada dirinya sendiri.

Kehadirannya memang mengganggu. Dia sempat bergerak untuk berdiri lebih dekat. Namun, Bunga acuh tak acuh.

Tiba-tiba, muncul seseorang di belakang mereka. Seperti membawahi dengan bayangannya yang pekat, meski tinggi mereka bertiga sama. Bunga menatapnya sebentar.

"Tangannya gatal amat, Om." Dia memegang tangan om itu. Ternyata pria itu sempat berniat meremas bokong Bunga. Om itu langsung saja minggir karena sudah terciduk.

Reaksi Bunga yang terkejut itu tidak berlangsung lama. Tentu saja dia berterima kasih pada laki-laki baik tadi.

Cepat-cepat dihabiskan potongan gorengan, minum, pergi menjauh; masih ada beberapa gorengan yang bisa dimakan di tempat lain sembari menunggu.

Dia sendiri memang tidak banyak terkejut karena sudah yakin akan ada yang datang dan menghentikan om itu.

Dari awal, dia juga sudah tahu om itu akan melakukan hal cabul itu.

Lantas kenapa acuh tak acuh? Bunga hanya ingin menguji keberuntungannya lewat pertaruhan konyol semacam itu.

Namanya Bunga, seorang perempuan dan pengangguran yang selalu beruntung.

Dia mungkin tidak akan terima jika kisahnya ditulis seperti itu. Namun, apa boleh buat, Bunga tidak peduli.

Dia selalu beruntung sampai tidak peduli tentang keberuntungan itu lagi, bahkan jika keberuntungan itu membawa hal yang "baik".

Keberuntungan tidak selalu membawa kebahagiaan.

Dia menebak para pembaca dari penulis sinting ini tidak akan terima dengan pemikiran perempuan itu. Namun, dia yakin mereka akan mengerti sepanjang cerita.

Semisal pagi ini, Bunga tidak sengaja menginjak seekor tikus yang selalu mondar-mandir tiap malam, membuat gaduh, dan mengganggu tidur.

Seperti menginjak tomat, yang memiliki tulang, dan menjerit nyaring ketika diinjak. Namun, tentu saja, menginjak hama seperti itu sangat menjijikkan. Darah keluar dari mulut. Biji-biji kotorannya keluar dari pantat.

Akhirnya, sumber dari segala gangguan tiap malam sudah mati, tetapi Bunga harus membuang bangkai tikus itu ke tong sampah, juga membersihkan lantai.

Menambah pekerjaan, apalagi pagi itu dia harus bersiap-siap mandi, merapikan diri, pergi untuk wawancara pekerjaan.

Ingat, perempuan tersebut seorang pengangguran yang di akhir bulan meminta-minta ke ibunya di kampung untuk ditransferkan uang.

Laki-laki yang menolong Bunga tadi jalan bersama. Entah apa niatnya.

Bunga tidak peduli jika dia akan menagih imbalan. Atau melakukan hal yang lebih cabul daripada tadi. Yang pasti, dia hanya berjalan di samping, belum melakukan hal-hal aneh lainnya.

"Sempat-sempatnya makan gorengan, Mbak."

"Tadi beli. Kenapa?"

"Enggak apa-apa ... maaf banget, boleh bagi enggak, Mbak? Enak aja sih kelihatannya, hehe. Kepingin saya."

Bunga tidak sungkan membagikannya sepotong bakwan. Anggap saja dia membalas budi karena kejadian tadi.

"Ini permen buat Mbak. Barter."

Bunga keheranan, tetapi diterima permen itu. Itu permen kecil rasa mint. Berbungkus biru. Ditaruh permen itu di kantung, dan laki-laki itu berkomentar, "Gak langsung dimakan permennya, Mbak."

"Kan masih makan gorengan, Bang." Bunga memang sedang makan bakwan saat itu.

Laki-laki itu menggarukkan kepala. Tertawa. "Iya juga, ya."

Kereta yang mengarah ke tujuan Bunga akhirnya tiba ketika dia selesai dengan gorengan. Buru-buru dia minum.

"Hati-hati ya, Mbak. Jangan lupa perhatikan sekitar," kata lelaki itu di dalam kereta. Dia berpindah ke gerbong yang lain. Bunga melihatnya menghilang ditelan kerumunan.

Di dalam kereta, Bunga menyadari orang-orang juga mendapatkan permen mint yang sama dengan yang lelaki tadi berikan.

Om gendut cabul itu juga dapat permen. Dia duduk lumayan jauh dari tempatku duduk.

Dia sendiri tidak diamuk masa. Kejadian tadi memang berlangsung sekilas sehingga tidak banyak yang tahu—lebih baik begitu.

Balik soal permen. Mayoritas orang (lagi-lagi, termasuk om gendut itu) juga makan permen tersebut. Anak-anak, laki-laki, perempuan, ibu-ibu, om-om, yang tua, dan yang muda.

Ada pula orang-orang yang tidak makan permen, termasuk Bunga.

Apa maksudnya ini? Apa lelaki tadi menolongnya karena dia ingin mempromosikan permennya? Sempat melintas pikiran semacam itu.

Mendadak, Bunga merasa ingin ke toilet. Kantung kemihnya sudah penuh.

Ruang gerak di gerbong sangat terbatas akibat penuhnya orang saat itu. Namun, dia cukup beruntung karena belum ada yang menggunakan toilet perempuan. 

Suara kereta yang melaju di atas rel, yang tenang, mengisi telinga dengan nyaman ketika buang air kecil. Sayup-sayup yang damai.

Sampai tiba-tiba, muncul suara ledakan beruntun.

Ledakan demi ledakan ikut menggantikan suara kereta yang berangsur-angsur berhenti.

Suaranya tidak begitu menggema kencang. Seperti ada suara cairan yang meletus, muncrat ke sekitar berbarengan dengan ledakan.

Disusul teriakan panik dari orang-orang. Langkah tak beraturan dari beramai-ramai di luar, dan sampai ada yang tersungkur.

Bunga sempat mendengar teriakan, "Kepalanya meledak!!" dan sesuatu benar-benar meledak tepat di balik pintu putih toilet.

Ah, pasti seseorang telah mati dengan kepalanya hancur di situ, dan darahnya membanjiri lantai. Rentetan kejadian ini membuatnya tidak bisa buang air kecil dengan tenang.

Benar-benar memalukan! Dia tidak bisa berada dalam kejadian ini dalam keadaan begini.

"Babi!" Bunga meremas keras paha dengan air kencing yang tiba-tiba tertahan untuk keluar begitu saja meski perjalanannya masih setengah.

Jadi, walaupun dalam keadaan tertekan dengan ombak ledakan dan paniknya orang-orang yang tiada padam, Bunga paksakan untuk selesai buang air kecil sampai sekiranya habis, tidak peduli jika ternyata masih ada beberapa tetes kecil.

Walaupun jantung tegang, badan mulai lemas terombang-ambing, dia cebok dan buru-buru mengenakan kembali rok, tidak peduli jika itu membuat setelannya berantakan.

Setidaknya dia sudah lebih siap sekarang, tetapi sampai saat itu saja karena tidak ada niatan keluar meski ledakan dan kepanikan itu telah berhenti.

Apalagi, setelah mendengar ada seorang ibu yang melindungi anaknya, berjuang memohon-mohon agar anaknya tidak dibunuh.

Bunga bisa mendengarnya sangat jelas, bahwa kemudian ibu itu ditendang ke tiang kursi, lalu berteriak kesakitan karena kepalanya dihantam keras berkali-kali oleh sesuatu—yang aku tebak kapak.

Dia bisa mendengar suara hantaman keras yang ngilu itu, juga bagaimana perlahan-lahan kepala ibu itu hancur. Tulang kepalanya yang hancur seperti celengan, mengeluarkan isi darah dan otaknya yang encer.

Lalu anaknya, yang suaranya melengking kencang, berlari menjauh, sampai tiba-tiba suaranya menghilang begitu saja.

Bunga menduga anak itu dilempari kapak dari belakang hingga benda itu menancap di belakang kepalanya. Kepala belakangnya yang hancur, dengan otak, hidung, dan mulutnya yang terbelah.

"Reza enggak kenal ampun banget, ya," ada yang mengatakan begitu, mungkin teman-temannya.

Bunga yakin ada lebih banyak orang di luar sana—hal yang membuat dia tidak akan keluar dari toilet.

Dia tahu siapa-siapa saja orang itu. Orang-orang yang sama, yang bertanggung jawab meledaknya kepala-kepala para penumpang.

Orang-orang yang dengan sadisnya membunuh seorang ibu tidak berdaya dengan anaknya. Dan, niatan-niatan yang dilakukan kawanan itu terhadap mayat-mayat manusia tanpa kepala di gerbong kereta.

Hanya saja, tidak ada yang bisa dilakukan. Bunga mendengar semua itu sambil menggigit-gigit jari dan menangis.

Badannya sudah sangat lemas, apalagi tungkai, dan yang tak disangka, dia jatuh terpeleset di toilet. "GOBLOK KENAPA SEGALA JATUH!" Bunga memukul kencang pipinya berkali-kali sampai biru legam.

"BODOH! BODOH! BODOH!"

Kepalanya makin panas nan tegang tiap detiknya. Pikirannya dilanda bencana kekacauan yang besar. Pastilah suara gaduh tadi memancing yang di luar sana untuk ke mari. Dan benar saja, seseorang melangkah ke mari.

Mata kapak yang runcing langsung muncul, mencuat, menembus menghancurkan sebagian pintu toilet. Terkejut luar biasalah Bunga. Namun, cepat ditutup mulut rapat-rapat. Tidak boleh bersuara sedikit pun!

Bergidiklah ketakutan. Kapak itu ditarik. Sebuah bola mata mengintip, mencari sesosok lewat celah itu.

Harapannya menghilang ketika mata tersebut berhasil menemukan Bunga, yang setelah itu, Reza, mencoba menghancurkan seluruh bagian pintu untuk bisa masuk demi membunuh yang di dalam.

Bunga panik-sepaniknya, menjauh dari pintu itu, tidak peduli jika hal itu membuat keadaan jadi lebih gaduh. Tentu saja, toilet kecil itu membuatnya tidak bisa pergi ke mana-mana.

"Ngapain ngancurin pintu toilet? Enggak ada kerjaan amat."

Reza langsung berhenti menghancurkan pintu.

"Ada yang selamat di sini."

"Nanti aja urusnya. Bantuin sini."

"Ya sudah."

Reza menjauh dari pintu toilet. Ketakutan Bunga belum reda. Dia sangat tidak bisa membayangkan kalau nanti akan dibunuh ramai-ramai oleh orang-orang itu.

Mungkin akan seperti ibu tadi, dihantam kepalanya keras-keras sampai pecah, dan isinya akan meluber ke mana-mana.

Reza dan orang-orang itu pun menyibuki diri dengan tujuan utama mereka membantai para penumpang.

Bunga bisa mendengar kesibukan mereka dengan jelas dari sini. Suara mesin dinyalakan, lalu digunakan untuk menguliti mayat-mayat itu. Daging dipotong-potong, tidak digunakan, dibuang. Tulang-tulang dihancurkan, juga dibuang.

Terakhir diambil satu organ penting dari sana, dan ditaruh di kantung. Sisanya dibiarkan begitu saja. Semua proses itu tidak begitu lama.

Setelah kaca pada gerbong dihancurkan—entah dengan kapak Reza atau penghancur kaca darurat di situ—, maka kantung-kantung dikeluarkan. Ada yang bertanggung jawab di luar. Bunga tidak memperhatikan bagaimana proses setelah itu.

Hening mengungkung. Perih. Bunga sadar, dia akan mati setelah itu.

Langkah demi langkah memburu kepada dirinya di tempat yang sempit.

Dan ... suara berisik helikopter tiba-tiba saja merusak semua ketegangan itu. Ada beberapa yang hadir dalam tragedi ini, Bunga tidak yakin berapa.

Suara hujan peluru di luar kereta, menandakan tujuan mereka tiba di sini, yang sangat jelas. Semua yang di gerbong segera panik.

Ada yang berseru, "Awas!" dan langsung saja muncul asap tebal berwarna ungu dari sana, meluas sampai merangsek ke dalam toilet. Reza dan kawanannya batuk-batuk keras, termasuk Bunga.

Merekalah yang disebut pasukan Jagal Sima. Pasukan berani mati yang selalu menanggapi tragedi berskala besar seperti pembantaian di kereta LRT hari ini. Bunga sering melihat berita tentang mereka di TV.

Dia tidak menyangka bahwa hari ini dia akan terlibat dalam tragedi ini, serta menjadi bagian dari mereka yang diselamatkan pasukan ini.

Susul-menyusul terdengar ada yang melompat masuk dari atas kereta lewat jendela. Jumlah mereka memang bisa dihitung jari, tetapi Bunga tahu mereka akan jadi lawan yang merepotkan.

Tanpa basa-basi, hujan peluru berikutnya datang tanpa ampun. Bunga tidak menyaksikan—ataupun berniat—melihat semua keganasan itu dari toilet karena hal itu berlangsung dari dalam lorong gerbong sana.

Hanya ada jeritan ramai-ramai yang mewarnai derasnya peluru. Lalu, serangan balasan! Dilanjutkan sebuah pertarungan jarak dekat yang intens. Bunga tidak bisa membayangkannya karena tidak pernah melihat Jagal Sima bertarung secara langsung.

Yang pasti, pembantaian dan serangan balasan itu tidak berlangsung lama. Juga, masalah asap di dalam toilet kecil itu.

Hanya saja, Bunga masih tidak ingin keluar. Dia tidak tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dia tidak ingin menebak.

"Bisa-bisanya semua pada mati. Udah mana yang nyerang cuman 5 lagi."

Namun, ternyata ada teman Reza yang masih hidup. Bencana.

Sekarang, Bunga bisa mendengar dia melangkah ke mari.

"Oh Mbak yang tadi, toh. Pantesan enggak ada tadi dilihat," kata teman Reza ketika melihat perempuan itu lewat celah lubang di pintu toilet.

Bunga hanya diam, balik memandanginya.

Itu adalah lelaki yang sama dengan yang menolongnya dari om cabul, meminta bakwan, juga memberikan permen tadi.

Otak Bunga sudah mati untuk berpikir lagi. Tidak ada yang bisa dilakukan, selain menunggu lelaki atau monster itu membunuhnya.

Menunggu agar monster itu menyelesaikan kehidupan tentang perempuan pengangguran yang selalu beruntung ini. Mereka punya namanya sendiri.

Nama monster-monster berkekuatan mengerikan ini adalah Sima.

Dan sekarang, Sima itu sedang membuka paksa pintu toilet kereta yang terkunci. Dengan kemampuan fisiknya yang di atas manusia biasa, dia berhasil membukanya.

Bunga bisa melihat sepenuhnya kembali orang itu, tetapi kali ini sebagai Sima. Wajahnya penuh cipratan darah. Dan kesan ramah dari senyumnya kini jadi sangat mengerikan.

Darah dari manusia-manusia yang mati di depan toilet itu merangsek masuk ke dalam. Bunga langsung berdiri, mencegahnya mengotori pakaian.

Ada 2 orang tergeletak di lorong depan toilet.

Satunya seorang laki-laki bersetelan pegawai kantor; kemeja putih polos dan celana bahan hitam. Ada cincin di jari kelingkingnya.

Satunya lagi seorang pasukan Jagal Sima. Kedua tangannya buntung. Ada garis darah panjang di depan badan.

Dua-duanya masih muda, seperti Bunga. Mereka mati lebih cepat, dan perempuan itu akan menyusul setelah ini. Dia bergidik membayangkan kematiannya sendiri. Lalu, tertawa.

"Apanya yang lucu, Mbak? Ini kerambit. Ambil, ya." Sima itu kembali dengan menyodorkan sepasang senjata. Dia pungut itu dari pasukan Jagal Sima yang telah mati. Apa dia memberikannya untuk menyuruh Bunga bunuh diri?

Diterimalah senjata itu. Bunga masih tertawa.

"Yuk keluar. Gak akan ada yang ganggu, kok. Klon Reza sama yang lain sibuk di gerbong lain, agak jauh dari sini. Termasuk Jagal Sima bajingan itu."

Tangan lelaki Sima itu menuntun Bunga melangkah keluar dari toilet. Dia menerimanya seolah tidak pernah lagi berpikir dua kali.

Mereka tiba di dalam gerbong. Sima itu membawa Bunga sampai tengah gerbong.

Sepasang mata ini pun langsung dipaksa melihat pemandangan neraka. Mayat manusia tanpa kepala, berseliweran di kursi yang berjejer maupun di lantai dengan padatnya—saking padatnya dia akan selalu menginjak mereka meski berusaha menghindar.

Jendela kereta penuh akan cipratan darah merah padam, maupun potongan-potongan otak yang hancur seperti hamburan kue ulang tahun, yang membuat dalam gerbong ini menjadi remang-remang dengan dominasi cahaya merah.

Pecahan-pecahan tulang tengkorak maupun organ mata berserakan di mana-mana. Darah masih mengalir dari leher mereka yang terekspos, yang kulit lehernya terbuka seperti mekarnya bunga.

Ada 4 pasukan Jagal Sima lainnya di lorong ini. Satu orang kepalanya tertancap tombak di lantai. Satu orang lagi menancap tombak di badannya. Dan dua lagi kepalanya terbelah dua vertikal.

Bau amis dan busuk dari mayat-mayat ini dengan mudah menusuk hidung, membuat Bunga muntah besar.

Bunga tersungkur lemas karena muntah. Dia muntah di atas wajah seorang Sima. Wajahnya penuh darah campuran dari teman-temannya, yang sampai masuk ke dalam mulutnya, termasuk muntahan itu sendiri—membuatnya jauh lebih jijik dari pada muntahan sendiri.

Kedua tangan bersandar pada dada Sima, yang berlubang memperlihatkan tulang, jantung, dan paru-paru, yang telah hancur. Hal itu semakin ngeri setelah pupil mata Sima yang masih terbuka itu, seperti melotot tajam kepada Bunga.

Dia menjauh ketakutan, ketika tiba-tiba lelaki itu melemparkan tombak ke arahnya. Tombak itu meleset—sengaja dibuat meleset—dan menancap pada mayat manusia.

"Jangan kabur, Mbak." Lelaki itu mengambil kembali tombak tadi.

"Sini saya bantu berdiri." Dia mengulurkan tangan kanan. Mau tidak mau Bunga menerimanya. Dia membawanya berdiri. "Pakai kerambitnya, ya. Habis ini kita berantem." Lalu tersenyum.

Bunga menggunakan kerambit itu. Dia pernah melihat bagaimana Jagal Sima memakainya, tetapi tidak pernah saat mereka bertarung secara langsung. Dia juga membuat kuda-kuda ala kadarnya.

"Bisa-bisanya Mbak selamat karena enggak makan permen dan mutusin buat diam di toilet. Mbak udah tahu kah kalau permen itu yang ngebikin kepala manusia ini meledak kayak konfeti?" kata lelaki itu. "Ya ... apa pun itu, di gerbong tengah ini, Mbak satu-satunya yang masih hidup. Beruntung banget, ya."

Dengan gesit lelaki itu mengarahkan ujung tombaknya tepat di depan mata Bunga. "Mbak itu manusia spesial. Saya pengin mati di tangan Mbak. Jadi, pakai kerambit itu dan lawan saya, please."

Bunga bergeming. Dia pandangi anak tombak itu dengan tatapan kosong, lalu berpindah ke kerambit di tangan. 

Setelahnya Sima itu bersiap di posisi. Meregangkan badan lebih dahulu. Melakukan kuda-kuda, dengan ujung tombak diarahkan ke depan.

Bunga menelan ludah.

Lelaki itu pun meluncurkan tombaknya ke depan. Bunga menyadarinya. Entah kenapa, berhasil menghindar. Dia memutar tombak ke atas, lalu turun menebas. Tidak tertebas.

Tanpa memberi celah, cepat menebas menyamping. Dihindarinya pun sambil mundur, dan terkena luka yang dalam di pergelangan tangan kanan.

Dia memutar-mutar tombaknya di udara, lalu melancarkan tebasan yang lebih gila lagi. Bunga tidak mengerti kenapa, tetapi dia bisa menghindar, walaupun kemudian terkena luka sabetan yang lebih dalam.

Bunga sampai melompat ke pangkuan mayat di kursi, menghindar tebasan dari atas. Saat ingin kembali ke lantai. Langsung diserang saat baru mendarat. Hasilnya, telinga kiri pun putus.

Bunga menjerit kencang—teriakan pertama sejak kejadian pembantaian. Tangan segera menutup telinga kiri yang basah karena darah. Dia mulai kewalahan.

"Refleks Mbak kok lebih bagus dari para bajingan itu, ya? Aneh," kata Sima itu.

Semua luka ini membuat Bunga tak punya pilihan selain terus mundur sampai ke gerbong sebelah. Lelaki itu tidak menebas lagi. Dia melemparkan tombak. Bisa dielak lagi. Hampir-hampir akan mati seperti pasukan Jagal Sima itu.

Namun, tiba-tiba Bunga tersandung. Dia panik mundur ke belakang cepat-cepat, sementara lelaki itu semakin dekat dengan tombak baru yang muncul dari telapak tangan. Dia adalah predator yang sudah mengunci mangsanya. 

Tumpukan mayat-mayat ini sangat menghambat Bunga untuk bergerak mundur, dan tahu-tahu Sima itu sudah di depannya, sebelum mata bahkan berkedip, anak tombak itu sudah melaju ke kepala.

"Bangsat!"

avataravatar
Next chapter