2 ●Prolog : Berlian Surga & Pertempuran Para Wangsa

Sebongkah berlian angkasa dilemparkan sayap-sayap malaikat melintasi bintang-bintang. Menembus lapis-lapis daratan langit keemasan yang tiang-tiangnya dipanggul makhluk terang benderang yang tak henti melepas mantra. Gunung berlian itu bergulung-gulung, meluncur cepat, mengeluarkan suara dahsyat yang menyebabkan gemuruh kilat sahut-menyahut. Ia telah berjalan melintasi waktu, cuaca dan partikel-partikel debu selama ribuan-ribuan hari.

❄️💫❄️

Konon, berlian sebesar kerikil surga yang setara dengan seribu gunung paling kokoh di bumi diperebutkan oleh penghuni-penghuni antar dimensi. Benda terang benderang itu berada dalam kubah kaca yang jernih, namun kekuatannya tak mampu ditembus badai neraka. Setiap makhluk berharap dapat merengkuh percikannya, dengan segala cara. Mereka yang terbang berupaya menangkap dengan kepakan sayap-sayap. Mereka yang melata berjuang meraih serpihan dengan menyimpannya dalam lipatan sisik-sisik. Mereka yang berenang mencoba menangkap dengan mulut terbuka lebar, selanjutnya mengatup rapat untuk dibawa menyelam jauh ke dasar samudera. Mereka yang sanggup berlari membawa kantung-kantung dengan lapisan sekuat perisai.

❄️💫❄️

"Poorva auriga. Poorva!" teriakan wangsa Akasha menyapu angin-angin. Menunggangi bulir-bulir salju yang sedemikian dingin hingga setiap yang dilalui ikut membeku dan luruh seakan kristal terhempas cadas.

Wangsa Akasha, makhluk sempurna elok dengan rambut halus dan kulit sewarna purnama pucat. Matanya berkilau-kilau bak safir dengan bibir merekah delima. Pergi menunggang angin dan lenyap seperti debu. Seperti kelompok-kelompok lain yang tengah berupaya menjemput bongkahan berlian langit, wangsa Akasha mengerahkan prajurit terbaiknya untuk menangkap segala kemungkinan.

"Liiiiiirrrr!" hentakan kaki yang gagah, kokoh dan menimbulkan gempa. Suara berat dan kuat yang mampu menghadang angin. "Al Lir!"

Wangsa Pasyu yang rupawan, dengan tubuh liat dan penampilan sempurna, mengejar ke arah kepala berlian yang tampak makin cemerlang menjauhi ekornya yang pudar. Wangsa Pasyu tidak secepat Akasha, tak sehalus angin. Namun tiap kali menapak, segala yang bernyawa lebih baik menyingkir. Mata mereka coklat gelap dengan hembusan napas yang menimbulkan uap.

❄️💫❄️

"Poorva auriga," desis prajurit-prajurit Akasha. "Bintang yang suci. Kali ini benar-benar sempurna dan demikian terang. Ke mana ia berakhir terbang?"

"Lir. Lir. Lir!" utusan Pasyu mendengung berkali-kali. "Bintang! Berhenti di tempatku melompat untuk terakhir kali!"

Al.

Lir.

Bahasa Pasyu untuk menyebutkan bintang raksasa yang menerangi kegelapan. Al Lir adalah cahaya paling terang yang memancar dari bahan baku padat benda angkasa, yang kehadirannya diramal oleh para ilmuwan, pandhita, cerdik pandai, pembaca mantra dan orang-orang paling berpengetahuan. Siapa memilikinya, berjaya selamanya. Apakah mereka yang mengejar bongkahan berlian surga akan pulang dengan kemenangan atau sebaliknya; memanggul dengan kantung hampa tanpa membawa bongkahan, serpihan, bahkan debu bintang?

❄️💫❄️

Jauh. Jauh di belakang wangsa Akasha nan anggun dan wangsa Pasyu yang perkasa, berlari-lari kecil para budak Nistalit. Kaki-kaki kecil mereka terlihat lelah dan lemah. Berbeda dengan dua wangsa utama penguasa dunia yang memiliki segala keunggulan dengan baju pelindung dan senjata megah, Nistalit membawa kantung-kantung berisi perkakas. Kantung-kantung itu meliuk di punggung yang bungkuk karena letih. Dahi-dahi berkeringat. Langkah terseok.

"Cepaaat!" suara angin wangsa Akasha terdengar lembut namun mengiris gendang telinga. "Kalian punya banyak pekerjaan!"

"Mereka tak akan selamat!" prajurit Pasyu berteriak menggelegar. Suara yang serupa ringkikan kuda dan auman harimau. "Budak-budak kalian hanya mahir merengek."

Prajurit Akasha tak menghiraukan.

Mereka melayangkan cambuk panjang yang ringan dengan ujung lunak berbentuk kuncup bunga. Tidak melukai, tak ada goresan apalagi tetesan darah. Sekedar mengingatkan orang-orang Nistalit untuk tak banyak membuang waktu. Ujung cambuk itu terasa dingin ketika menyentuh kulit. Yang terkena memucat sesaat, lalu tubuhnya menua lebih cepat. Kulit berkerut-kerut di sekujur tubuh.

"Apa yang akan wangsa Akasha lakukan dengan orang-orang lemah macam Nistalit?" prajurit Pasyu tertawa beriringan dan memacu gerakan meninggalkan Nistalit jauh di belakang.

"Apa yang bisa kalian lakukan?" hardik panglima Akasha ke arah Nistalit, mengulang keraguan dari wangsa Pasyu.

Orang-orang lemah itu mencoba berdiri tegak.

Bersuara serak.

"Kami bekerja teliti

Kami pandai besi

Kami seorang abdi."

❄️💫❄️

Sebagian prajurit Akasha dari kesatuan Jaladhi menambah kecepatan dengan menunggang gelombang samudera ketika tiba di lautan. Sebagian prajurit Akasha dari kesatuan Gangika mendapatkan bisikan angin saat melewati sungai-sungai. Akasha Giri mengawal Nistalit dan menjaga agar para budak tak keluar jalur.

Satu lagi wangsa Akasha yang masih tertinggal, tak mengikuti persaingan merebut bongkahan berlian langit.

"Al Lir adalah milik wangsa Pasyu!" gelegar pemimpin dengan moncong putih dan kaki-kaki yang kuat.

"Sejak kapan Pasyu merasa pantas merebut poorva auriga kami?" teriak kesatuan Akasha.

Jejak bongkahan berlian semakin nyata di ujung kaki langit.

Seakan mencari jodohnya dengan permukaan bumi dan keras berlapis-lapis.

Akasha melepaskan senjata dari sarungnya. Pasyu mempersiapkan kemampuan terbaiknya.

❄️💫❄️

Pertempuran memperebutkan berlian surga yang kedatangannya dinanti ratusan bahkan ribuan tahun tak terelakkan. Bahkan, bongkahan itu belum mencapai daratan ketika pertempuran dahsyat mulai berkecamuk di permukaan laut, sepanjang aliran sungai maupun daratan-daratan.

Orang-orang Nistalit mengkerut dalam ketakutan.

Mereka memeluk kantung-kantung yang berisi perkakas.

"Mahatarundara," bisik seorang Nistalit.

"Y-y-ya…," gumam sosok di sebelahnya, kurus kering.

"Apakah itu Mahatarundara?" suara lemah para budak seperti dengungan lebah bersahutan.

"Bintang paling berharga," bisik seorang Nistalit dalam getar ketakutan dan gairah yang meredup.

❄️💫❄️

Peperangan berkecamuk di angkasa, daratan, lautan.

Isi perut bumi berhamburan. Gelombang lautan mencapai puncak gunung. Sungai-sungai retak. Gurun menerbangkan hujan pasir. Dari perseteruan dua wangsa besar yang menguasai dunia, di sebuah tempat segolongan budak meringkuk ketakutan mendekap kantung-kantung.

"Kalian tetap di sini!" bentak pasukan Akasha Wanawa, berdiri mengepung para budak.

Kebingungan, ketakutan, terpojok oleh keadaan genting; para Nistalit merapat berjongkok.

"Mengapa kita tidak diminta bergabung dan berperang?"

"Bodoh! Tubuh kita tak sekuat wangsa Pasyu dan tak ringan seperti wangsa Akasha."

"Tapi kita diminta untuk berangkat, mengejar Mahatarundara."

"Bukan mengejar. Kita punya tugas lain."

"Jadi kau tahu apa tugas kita?"

"Aku pernah mendengar sekilas."

"Apa kita akan mendapatkan Mahatarundara? Kita akan…ah, apa? Memukulnya? Menangkap? Mengangkat? Memecah?"

Bisik-bisik percakapan tak menentu di bawah bayang-bayang pohon raksasa yang melindungi tubuh-tubuh kotor Nistalit, bungkam dalam riuh rendah suara peperangan yang anehnya, terdengar merdu dan megah.

Kilatan-kilatan prajurit Akasha bergerak lincah dan gesit.

Gempuran pasukan Pasyu yang terbang, mengaum, menggulung di permukaan daratan.

❄️💫❄️

Pertempuran itu melepaskan uap kebiruan, merah muda dan kilau keemasan. Suara-suara nyanyian yang terus dilepaskan pasukan Akasha demi menambah kekuatan sendiri dan menghancurkan daya tempur lawan. Hawa busuk yang menguar dari kulit pasukan Pasyu berusaha mematikan setiap pergerakan musuh.

Bongkahan berlian semakin mengecil, begitupun, semakin silau melepaskan pantulan sinar. Peperangan mendekat ke arahnya, yang mencari wadah paling sempurna di permukaan bumi.

"Mahatarundara…apa kita akan menyentuhnya?" bisik seorang Nistalit yang nyaris tak percaya dengan kabar burung dari mulut teman-temannya.

"Nistaliiiit! Kami mendengar ucapanmu!" gelegar pasukan Akasha. "Jangan pernah berpikir apapun tentang poorva auriga!"

Budak-budak Nistalit meringkuk ketakutan.

"Mereka yang berbicara menerima cambukan! Mereka yang mengucapakan poorva auriga dalam bahasa Nistalit, menerima hukuman!"

Tanpa pertanyaan ulang, tanpa peradilan, cambuk berujung kuncup bunga menelusuri terdakwa sesuai perintah tuannya. Mereka yang berharap kehidupan lebih unggul dari serbuk poorva auriga, atau al lir, atau mahatarundara pada akhirnya melenguh pasrah saat cambuk kuncup bunga mencemeti permukaan kulit. Tetiba Nistalit menua, usia mereka terpangkas paksa, mereka berhutang waktu lebih panjang lagi pada wangsa Akasha apabila ingin tetap hidup.

Sejak pertempuran dahsyat yang melibatkan seluruh wangsa Akasha dan wangsa Pasyu, tak ada lagi kata mahatarundara berani disebutkan. Nama itu semakin terdengar asing, aneh, tak biasa. Nistalit tak boleh melafalkannya, apalagi memilikinya. Memimpikan menyentuh serbuknya saja sebuah dosa.

Berlian surga itu pada akhirnya bersarang sempurna di kawah abadi permukaan dunia. Pertempuran besar terus berkecamuk di tepian cekungan besar. Tak terhitung korban berjatuhan, termasuk orang-orang Nistalit yang terpaksa terseret dalam pertempuran. Hanya wangsa Akasha dan wangsa Pasyu yang berhak mengucapkan sebutan poorva auriga dan al lir. Namun, mahatarundara ternyata memiliki kisah sejarahnya sendiri.

❄️💫❄️

________________________________

Poorva auriga : bintang suci (bahasa Wangsa Akasha)

Al Lir : bintang besar (bahasa Wangsa Pasyu)

Mahatarundara : bintang raksasa (bahasa Nistalit)

avataravatar
Next chapter