24 The Three Musketeers

"kau kesini sendiri ?"

Tanya eugene pada gadis yang tengah bermain diatas Hoverboard. Ia sendiri terduduk bersandar pada dinding kaca. Mengompres tangannya dengan plastik berisi es batu pemberian Michelle. Wajah pemuda tadi cukup keras untuk di pukul, namun eugene tebak ia berhasil mematahkan tulang hidungnya.

"Iya tentu saja"

"Kau dari rumahmu menggunakan itu ?" Yang di maksud eugene adalah benda beroda dua dan sedang menyala. Casey lalu turun dan duduk di sebelahnya.

"Gila saja, aku tadi naik taksi sampai di pertigaan sana"

Dan eugene mengangguk paham. Ia masih menyibukkan diri dengan tangannya yang memerah. Kalau boleh jujur, ini pertama kalinya ia memukul seseorang. Bahkan saat masih menjadi laki-laki.

Ia tak ingin melukai tubuhnya, terutama wajahnya yang menjadi aset menggaet wanita. Bisa di bilang ia seorang pengecut, selalu melakukan berbagai cara agar tak terlibat perkelahian. Laki-laki mana yang tak pernah berkelahi.

"Bagaimana kau bisa lepas dari pantauan pria besar itu ?"

"Maksudmu mr. Andrew ?" Kembali mengangguk. Eugene yakin bodyguard Casey telah di sumpah untuk mengikuti gadis ikal itu kemanapun juga. Biasanya pria besar itu selalu berada dalam jarak kurang dari 5 meter —kecuali saat di sekolah— namun anehnya, sosok itu sama sekali tak terlihat bagai di telan bumi.

"Aku pergi diam diam"

"Bagaimana mungkin ?!" Alis eugene terangkat. Ia jelas tahu bahwa Casey kim tak mungkin melakukan hal berandal seperti itu, ia dari keluarga terpandang. Dan hal terlarang baru saja gadis itu lakukan.

"Ayolah jangan terlalu terkejut. Aku ingin berjalan sendiri sekali-kali~ "

.

.

Si gadis yang tengah melayani pembeli sedikit mencuri pandang pada dua gadis lainnya yang tengah mengobrol di luar mini market. Insiden tadi cukup mengejutkan di tambah datang seorang yang sebenarnya ia tak ingin melihat keberadaannya disini.

'aku akan membayar apa yang pemuda tadi beli' perkataan eugene melintas sejenak di pikirannya. Bahkan eugene membayar persis sebesar yang di serahkan pemuda bernama Jeffrey tadi.

Kertas bernilai yang terselip di dompetnya dengan rapi. Michelle dilema bagaimana bersikap dihadapan eugene. Ia tak ingin di kasihani, namun uang tersebut sangat ia butuhkan.

Empat jam berlalu dengan cepat saat Michelle sibuk melayani pembeli. Shiftnya telah berakhir dan kini ia berjalan keluar menenteng kantong plastik berisi es krim.

Tak lagi menemukan dua temannya di depan minimarket. Michelle mencondongkan tubuhnya melihat dengan seksama dan mendapati dua gadis berbeda sifat tengah bermain jungkat-jungkit di taman bermain seberang mini market.

"Kekanakan sekali" gumam Michelle menghampiri dua temannya.

"Hay Michelle !!" Riang eugene menyapanya, sedangkan Casey hanya tersenyum seraya melambai. Michelle merasa ia tengah mengasuh dua anak kecil yang di tinggal orang tuanya.

"Ini.."

"Es krim !!!" Seru eugene bersemangat saat menerima satu cup es krim. Casey juga nampak berbinar, tapi gadis itu menutupi dengan senyum anggun andalannya. Michelle mendudukan dirinya di ayunan, menatap bagaimana lahapnya dua gadis itu menikmati es krim pemberiannya.

"Kau kabur dari rumah" pertanyaan pertama dari mulut Michelle menyentak Casey yang tengah asik melahap eskrim. Ia tak berkutik karena ucapan Michelle tepat sasaran. Dan gadis berambut kecoklatan sadar akan hal itu.

"Cepat lah habiskan dan segera pulang, aku tak ingin di anggap menculik penerus keluarga Kim yang terhormat" menggendong tas nya bersiap untuk pergi sebelum gumaman casey menghentikan langkahnya.

"Aku tak ingin pulang"

Menghela nafas, Michelle rasa sudah cukup mereka bermain-main sekarang. Ia berbalik menatap datar sembari berkacak pinggang.

"Jangan merajuk Tuan Putri, tempatmu bukan disini" memang marganya dengan Casey sama. Tapi bukan berarti nasib dan takdirnya sejalan. Mereka berbeda dan Michelle sangat tidak suka kesenjangan itu. Ia iri, ia ingin sekali ada di posisi Casey.

Casey berdiri menatap nyalang pada bola mata gelap Michelle. "kau tahu apa ? orang yang berusaha menjauhiku tak sepantasnya berkata demikian"

Eugene masih berusaha menghabiskan eskrim di tangannya. perdebatan antara dua gadis dihadapannya tak ia mengerti. Ternyata memang benar perasaan seorang gadis cukup rumit, bahkan untuk masalah se sepele ini.

Michelle terdiam. Ia merasa bersalah telah bersikap kekanak-kanakan juga. Gadis didepannya mungkin saja tak sebahagia yang terlihat. Namun egonya lebih besar, Michelle tak menggubris dan melangkah menjauh. "Sudah lah aku lelah"

"Michelle tunggu !"

Gadis berambut kecoklatan berbalik dengan tangan mengisyaratkan agar eugene berhenti mengejarnya. "Berhenti atau aku akan berteriak rampok"

Michelle sedang tak ingin di dekati. Ada aura hitam yang kembali menguar. Seperti gurita yang menyemprotkan tinta hitam sebagai bentuk pertahanan. Eugene sadar dan ia menghormati dengan tak mengambil langkah apapun lebih dekat pada gadis yang sekarang punggungnya terlihat menjauh.

Kini hanya ada ia dengan Casey didepannya. "Jika kau ingin menangis, lepaskanlah" menepuk bahu gadis ikal itu menenangkan.

Sebenernya eugene sedikit bingung, gadis se sempurna Casey kim tengah menangis di bahunya. Ia jarang berempati, dan sekarang ia merasakan rasa sedih serupa. mungkin karena hormon estrogen nya tengah melonjak, Eugene hanya mencari-cari alasan agar tak di anggap cengeng.

.

.

.

Rumah ini lagi. Michelle tak yakin ia pantas menyebut ruangan berukuran 5x6 meter sebagai rumah. Bukan karena sangat sempit, ia bahkan sudah terbiasa tidur di dalam lemari dan kamar mandi. Bukan juga karena tempatnya yang kumuh. Rumah adalah tempat kita pulang, dan selalu menyambut dengan kehangatan. Dan Michelle tak dianggap di rumah itu.

"Aku pulang.."

'PRAAAANG!!'

"kemana saja kau hah ?!" Lemparan botol hampir mengenai kakinya. Pria tua paruh baya menyambutnya dengan sangat ramah. Michelle sudah cukup sering mengalami hal ini, tapi tak bisa di pungkiri bahwa ia takut. Ia ingin pergi, ia ingin menghilang dari dunia saja.

"Cepat bersihkan dan siapkan makanan"

Tangannya bergetar mengumpulkan pecahan kaca yang menyebar. Michelle bukan gadis lemah yang akan merengek dan mengeluh saat serpihan kaca botol menggores telapak tangannya. Tangisan tak membantu sama sekali, justru ia akan mendapat pukulan keras jika berani mengeluarkan air mata di hadapan pria bertitle ayahnya.

Badannya berusaha tegap saat berjalan ke dapur. Dalam diam gadis itu mengeluarkan serpihan kaca dari telapak tangannya. Menyalakan keran agar isakkannya tak terdengar hingga keluar. Michelle tak lemah, tapi rasa perih ini hampir saja membuatnya gentar. Cairan merah pekat mengalir membasahi wastafel.

Harusnya ia tak pulang. Harusnya ia pergi ke sauna atau ke rental komik dan bermalam semalaman. Tapi jika itu ia lakukan, Michelle tak tahu bagaimana nasibnya kemudian.

Seperti saat ia nekat bersama eugene di taman bermain. Menghabiskan waktu seharian hingga lupa menyiapkan makanan di rumah. Tubuhnya hampir remuk saat sabuk kulit sintetis menyentuh punggungnya. Bahkan rasa perih itu masih ia rasakan hingga saat ini.

avataravatar
Next chapter