8 Step

Sepatu kets hitam membawa kaki jenjangnya menyusuri terotoar. Matanya menatap lurus ke depan, kearah gadis berambut coklat maple didepannya. Jauh didepannya. Ia sangat berhati-hati memilih langkah. Mengikuti seseorang adalah tindakan ilegal tapi rasa penasaran nya lebih tinggi dari rasa takut dianggap stalker.

Saat gadis didepannya berhenti, dirinya ikut berhenti dan mencari tempat persembunyian. tempat sampah, di balik vending mesin, di balik tiang listrik. baiklah, yang terakhir cukup konyol karena akhirnya ia ketahuan.

"aku tau kau disitu, keluar lah" gadis didepannya nampak sudah tahu jika selama ini ia diikuti.

Eugene keluar dari persembunyiannya, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "hehehehe" hanya sebuah cengiran tak beralasan membuatnya nampak bodoh Dimata Michelle.

"A.. aku mau pulang" elak Eugene mencari alasan agar tak dianggap penguntit. Itu sungguh tak elit dan mencoreng harga dirinya sekali.

"aku tau rumahmu bukan ke arah sini" ucapan Michelle nampaknya membuat Eugene tak bisa berkata apa-apa lagi. Ini mungkin pertama kalinya Ia tak berkutik di hadapan perempuan.

"Izinkan aku pulang bersama mu"

Michelle menghela nafas dan menatap Eugene dari atas hingga bawah. Rumahnya cukup jauh jika berjalan kaki. Sejujurnya ia memiliki alasan sendiri kenapa tak menggunakan transportasi umum untuk pulang.

"baiklah ayo"

Eugene berlari kecil menghampiri Michelle. cengiran nya makin lebar, mau tak mau membuat Michelle tersenyum.

Terduduk di salah satu bangku di depan minimarket, Eugene menatap kedalam minimarket dimana Michelle nampak membeli sesuatu. Saat Michelle keluar, dirinya berpura-pura seperti tak ada sesuatu yang terjadi. Lebih tepatnya, ia tak ingin Michelle tahu dirinya memperhatikan gadis itu selama di dalam.

"untukmu" Michelle menyodorkan sebotol air mineral dingin. Eugene bergumam terimakasih seraya menerima minuman dari Michelle.

Eugene memperhatikan gadis disebelahnya dari sudut mata. Bagaimana wajah itu terpahat, dan kenapa ia selama ini tak sadar dengan kehadiran gadis itu di sekolahnya. Sampai tatapannya tertuju pada perpotongan leher Michelle. Terlihat beberapa bercak kebiruan dan hampir ungu.

"Kenapa kau tak langsung pulang ?" pertanyaan Michelle mengagetkan Eugene. Namun sebisa mungkin ia mengalihkan pandangannya ke depan. "Kau tidak marah kan ?"

"untuk ?" Michelle mengangkat alisnya atas pertanyaan Eugene.

"Karena aku membahas Casey tadi" Eugene harap-harap cemas, takut malah membuat Michelle makin dingin.

"Kau terlalu memikirkan sesuatu yang tidak penting" Michelle menenggak kembali mineralnya sedang Eugene asik memandangi wajah Michelle dari samping. Semilir angin berhembus dan meniup lembut poni Michelle yang lumayan panjang. Eugene sadar Michelle selalu mengikat rambutnya di belakang tanpa ada aksesoris lainnya.

Gadis berambut sebahu itu mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. Sebuah jepit rambut memang selalu ada di tasnya. berulang kali Eugene keluarkan, ini pasti ulah ibunya.

Eugene menjepitkan penjepit itu pada rambut Michelle. Cukup untuk membuat beberapa helai tak mengganggu penglihatan Michelle. Yang di perlakukan begitu langsung terkaget.

"Aku hanya tak ingin kau tersandung karena pandanganmu terganggu" Eugene mengatakan alasan sebenarnya tapi entah kenapa terdengar konyol bagi dirinya sendiri. Seperti si brengsek yang sedang menggoda korbannya, pikir Eugene. Walau pada faktanya memang begitu dirinya dulu.

Respon Michelle diluar ekspektasi Eugene. Gadis berambut coklat itu tertawa samar. Sesuatu yang sudah cukup meyakinkan Eugene bahwa Michelle tak lagi marah padanya.

Beberapa waktu mereka habiskan dengan menatap jalanan yang mulai sepi. Langit mulai berwarna orange dengan matahari mulai tenggelam di balik bangunan tinggi.

"aku akan mengantarmu ke halte" Michelle bangkit seraya menggendong tasnya kembali.

"Aku akan mengantarmu pulang dulu" Eugene masih Keukeh dengan niat awalnya. Michelle menghentikan langkahnya menatap tajam seakan mengancam pada gadis berambut sebahu itu.

"bus terakhir akan jalan sebentar lagi."

"ba-baik.." Eugene akhirnya mengikuti langkah Michelle.

"Jadi kau sekelas dengan Casey ?" tumben sekali Michelle memulai percakapan dengannya. Dan kenapa yang jadi perbincangan adalah murid baru itu.

"benar, kau juga sering melihatnya bersamaku kan" raut wajah Michelle terlihat tak nyaman dengan penjelasan Eugene. Ada yang aneh dari tatapan Michelle.

Belum sempat Eugene menanyakan ia langsung didorong masuk ke dalam bus oleh Michelle. Dan tepat setelah itu bus berjalan, meninggalkan Michelle yang masih berdiri menatap nya dari halte.

"Ma, biar aku saja" Eugene bangun dari kursi nya lebih dulu. Mengambil piring bekas di meja makan dan membawanya kearah wastafel. Lily dan David hanya termangu melihat anak semata wayangnya berinisiatif mencuci piring setelah makan.

Lily dan David saling bertatapan seakan hanya dengan itu mereka saling bercakap. Ada yang salah dengan anaknya, itulah inti pemikiran kedua orang tua Eugene dengan perubahan sikapnya.

"Eugene, kau sakit ?"

"Apa ada yang menggangu pikiranmu nak ?"

Keduanya bergantian menanyai Eugene dengan khawatir. Seakan perubahan sikap Eugene mengarah ke hal yang negatif. Sang anak yang bingung hanya bisa menggeleng dan lanjut mencuci piring.

"Sudah sudah.. kau istirahat saja, biar mama yang cuci" Lily mendorong Eugene dan menjauhkannya dari wastafel.

Dengan wajah kebingungan akhirnya Eugene kembali ke kamarnya. Merebahkan tubuh diatas kasur, menatap langit-langit kamar dengan perasaan sesak. Ia lalu meraih ponsel yang ia letakan di laci meja disampingnya. Membuka beberapa galeri foto berharap menemukan sesuatu.

Nampak semua fotonya sama persis dengan foto saat ia dulu masih laki-laki, hanya saja kini ia perempuan. Dapat disimpulkan semua yang ia rasakan sekarang tak jauh beda saat masih menjadi dirinya dulu. Alisnya bertaut mengingat kejadian dulu, dimana ia sangat jarang pulang ke rumah dan menghabiskan waktu bermain dan menggoda wanita tentunya.

Itulah sebabnya Lily merasa aneh saat Eugene membantu pekerjaan rumah. Karena dalam ingatan Lily, anak semata wayangnya selalu bersikap seenaknya.

"Baru sadar ternyata kau"

"Astaga ! jangan mengagetkan !" Eugene terlonjak dari kasurnya. Sosok Anastasya tengah duduk di jendela kamarnya dengan pakaian serba hitam andalannya.

Anastasya melayang dan ikut berbaring disebelah Eugene. "Kenapa lama sekali kau menyadari seberapa buruknya dirimu Eugene"

Gadis berambut sebahu itu terduduk dan menatap curiga kearah Ana. "jangan-jangan kau yang membuat ku tertabrak" tudingnya.

Anastasya berdecak kesal, ia juga duduk dan beradu tatap dengan Eugene.

'PLAAK'

Sebuah buku yang cukup tebal sukses mengenai pucuk kepala Eugene, membuatnya mengumpat samar.

"Beberapa kejadian tak bisa kau salahkan Eugene. Bisa dibilang itu adalah timbal balik atas perbuatanmu selama ini. Kau harusnya sadar, banyak di luar sana yang tak sebahagia dirimu. Tapi kau malah menyia-nyiakan orang-orang yang sayang padamu" Omelan panjang lebar keluar dengan mulus dari Anastasya. Eugene sendiri lebih memilih meledeknya dengan menirukan gerak bibir Ana.

"ya ya ya.. jadi apa aku bisa kembali menjadi laki-laki ?" walaupun Eugene bertanya begitu, ia tak berharap lebih atas jawaban yang akan Ana berikan. Malaikat cebol itu susah di percaya.

"Tergantung, apa kau akan berbuat baik atau tidak. Ingat, karma mu sendiri yang merubah dirimu menjadi wanita" jelas Ana.

"Kan kau sendiri yang mengubah ku" omel Eugene pada ruang hampa disampingnya. Benar kan, malaikat cebol itu susah di percaya. Terbukti ia menghilang tiba-tiba saat ia bicara. Malaikat macam apa yang tak sopan begitu.

"Sudah senang ?"

Sosok pemuda bersayap putih muncul di belakang gadis yang tengah sibuk melihat suasana di bumi.

"Kau mengganggu ku Gabriel" gadis itu tak menggubris sosok bersayap—yang ia panggil dengan Gabriel.

"Kau tak puas puas yah Lucy, dulu kau membuat satu keluarga hancur, kini kau membuat kehidupan seorang gadis—atau bisa dibilang pemuda— terombang ambing" Gabriel ikut melihat apa yang menjadi kesibukan gadis mungil yang ia panggil Lucy.

"Berhentilah memanggil ku Lucy, aku benci panggilan yang penuh kutukan itu" tiba-tiba saja gadis mungil itu berubah menjelma menjadi makhluk besar penuh dengan api.

"Baik baik... Anastasya. Sosok aslimu mengganggu mataku" Gabriel menutup matanya dengan tangan sebelah kiri. Makhluk besar itu menjelma kembali menjadi gadis kecil nan imut.

"Kali ini aku ingin memperbaiki semuanya Gaby Jangan ganggu aku.."

"Baik baik"

To be continued

avataravatar
Next chapter