23 Ruangan Yang Senyap

Jemari lentik itu bergerak dengan gelisah. Seperti menunggu sesuatu. Casey mencuri-curi pandang pada eugene. Gadis itu tampak lebih baik dari pada pagi hari. Rona jingga memancar dibalik jendela. Waktu pulang tinggal menunggu beberapa menit lagi. Dan raut casey tampak tak nyaman.

"Eugene pulang bersama ku yah" ajak Casey sesaat setelah bel berbunyi. Tak mempedulikan anak-anak lain yang menghambur keluar. Kini lebih memikirkan jawaban dari gadis yang sibuk menata barangnya masuk ke dalam tas.

"Ah, maaf.. kali ini aku tidak bisa lagi~" tergesa eugene buru-buru keluar dari kelas. Hanya Casey dan beberapa anak yang bertugas piket saja di dalam.

Menghela nafas seakan dengan begitu rasa sesak di dada sedikit menguar. Kalau boleh jujur ia tak ingin pulang. Tak ingin sendirian.

Mobil mewah berwarna hitam melaju membelah jalanan kota Seoul yang cukup lengang. Termangu menatap keluar jendela. Casey begitu bosan dan ini hampir membunuhnya.

Beberapa maid dan buttler langsung menyambut sesaat ia turun dari mobil. Berdiri didepannya sebuah bangunan khas abad pertengahan. Sebuah mansion, dan itu adalah tempat tinggalnya.

Terpenjara dalam ruangan besar. Hanya ia ditemani beberapa pelayan. Sedikit merutukki kenapa ia tak boleh tinggal sendirian mencari tempat baru. Nyatanya semuanya sama saja, bahkan di tempat yang ia sebut rumah.

Gadis ikal itu terduduk di tepi ranjang Queensize nya. Mematut dirinya pada cermin yang letaknya berhadapan. Ia benci wajahnya, benci warna mata yang mirip dengan orang tuanya. Ia bahkan bisa menghitung berapa kali mereka dapat makan malam bersama dalam satu tahun. Miris.

"Hah~ aku ingin makan tteokboki lagi"

Kenangan manis yang berlangsung sebentar. Dan mungkin hanya dirinya yang mengganggap mereka berteman. Casey berpikir betapa menyedihkannya ia sekarang.

Ponselnya berdering. Membuyarkan dari lamunannya. Sedikit merasa lega awalnya sebelum mengetahui siapa gerangan yang menelfon.

"Ya ada apa tuan kim ?"

"Berhenti memanggil ayahmu sendiri dengan panggilan seperti itu" suara di seberang sana menghardik namun tak cukup untuk membuat gadis itu takut.

Rahang casey mengeras. Ia tetap harus menjaga sopan santun. Walau sebenarnya ia sudah lelah berpura-pura baik-baik saja.

"Bagaimana sekolahmu ? Kau mendapatkan nilai bagus kan ?"

"Iya" Casey menjaga intonasinya. Merasakan kerinduan dan kebencian di saat yang bersamaan. Suara di seberang sana terasa asing namun familiar. Sulit mendeskripsikan bagaimana perasaan gadis berambut ikal itu saat ini.

"Titip salam ayah pada mr. Andrew . Jangan menyusahkannya" —pip sambungan telfon terputus sepihak. Casey rasa ia tak lebih berharga dari sang bodyguard nya.

Anggaplah dia adalah gadis manja yang egois. Anggaplah ia bisa membentak dan memaksa ayahnya untuk pulang. Tapi untuk apa ? Bahkan saat makan malam keluarga beberapa bulan lalu ia tak merasa nyaman. Yup, terakhir mereka bertemu tepatnya 3 bulan lalu.

Untuk apa ia pindah kemari ? Alasan ayahnya terdengar cukup konyol sebenarnya. Ingin lebih unggul dari ibunya, selalu begitu. Keduanya bahkan tak tinggal satu rumah dan Casey harus terjebak diantara permasalahan pelik kedua orang dewasa yang kolot itu.

Terduduk di tepi jendela besar yang menghadap langsung pada halaman seluas 200 meter persegi. Dihiasi pohon maple yang mulai menguning, indah. Menghabiskan musim gugur dengan berjalan-jalan keluar dan ia hanya terkurung dalam rumah besar ini sendirian.

Kita tak bisa menentang kenyataan. Menerima fakta pahit cukup sulit. Menghindarinya juga percuma. Hanya terlupa sesaat dengan melewati jalan lain. Berputar tanpa menemukan titik permasalahan. Kita hanya berpura-pura menyelesaikan walau sebenarnya kita berusaha lari.

Casey sadar akan apa yang ia alami. Diam diam gadis ikal itu berjalan di lorong panjang dengan membawa Hoverboard merahnya. Menuruni tangga dengan sangat hati-hati tak ingin menimbulkan suara. Beberapa maid tengah mengelap furniture rumah tanpa sadar kehadirannya.

Jika menjadi anak baik tak cukup membuat ayahnya lebih memperhatikan, mungkin menjadi anak nakal akan berhasil.

Jantungnya berdebar begitu sukses keluar dari pintu utama tanpa ketahuan. Dewi Fortuna sedang berpihak padanya. Secepatnya melesat masuk ke balik hutan maple kecil yang tak jauh darinya. Jalan raya ada di baliknya.

.

.

.

Angin berhembus membawa aroma wangi yang menggelitik hidung eugene. Di temani sekaleng soda, gadis itu menanti berakhir nya shift Michelle. Menghitung beberapa mobil yang lewat sedikit menghilangkan kantuknya.

Di balik dinding kaca sosok Michelle nampak tersenyum ramah menyapa para pelanggan. "Cih.. dasar muka dua" ada sedikit rasa iri karena senyum itu tak tertuju padanya.

Beberapa waktu berlalu hingga eugene merasa sangat kebosanan. Gadis di dalam minimarket tengah membawa sebuah kardus ke dalam gudang. Segera eugene mendatanginya.

"Apa yang kau lakukan" tanya Michelle terkejut karena temannya malah membawa kardus lainnya ke dalam gudang.

"Membantumu lah, apalagi"

"Itu harusnya di tata di rak tengah"

Dan kepercayaan diri eugene langsung luntur. Bodoh sekali ia tak bertanya dulu pada Michelle. Berlagak bahwa ia bisa di andalkan nyatanya apa yang ia lakukan sungguh memalukan.

Michelle hanya menggeleng akan tingkah laku eugene. Gadis itu kembali setelah menaruh kardus di gudang. Menatap wajah eugene yang salah tingkah.

"Ini di taruh di rak tengah" Michelle menaruh kaleng-kaleng sarden pada rak yang di maksud. Eugene melihat dengan mulut membulat seraya mengangguk paham. Wajahnya terlihat sangat polos. Michelle rasa ia seperti sedang mengasuh anak kecil.

"Baiklah kalau begitu serahkan saja padaku" eugene dengan keras kepala nya susah sekali di hentikan. Michelle hanya berdiri memperhatikan teman tingginya ini. Sedikit merasa terbantu sebenarnya, dalam hati ia berterima kasih telah bertemu dengan eugene walau pertemuan mereka bisa dibilang tak begitu mulus.

"Permisi.."

"Ya sebentar.." memberi isyarat untuk menunggu dan Michelle meninggalkan eugene menuju meja kasir.

Disana berdiri pemuda berambut keunguan dengan cengiran bodohnya, menyodorkan sebotol minuman keras untuk di bayar.

"Anak SMA di larang membeli soju, sana pulang" hardik Michelle menatap datar pada pemuda yang tadi siang mengganggunya.

"Anak usia 17 di larang bekerja, dan kau tahu pasti apa yang akan sekolah lakukan jika mengetahui nya" Jeffrey—pemuda berambut ungu—masih tersenyum dengan santainya. Wajah Michelle mengeras.

"10 dollar"

Jeffrey mengeluarkan secarik uang 50 dollar. "Kembalian nya untuk mu saja" ujarnya saat melihat Michelle akan memberikan kembalian.

Gadis itu terkejut, uang sebanyak itu cukup untuk makan beberapa hari. Mungkin ia terlalu keras pada pemuda didepannya. Mungkin Jeffrey lebih baik dari yang ia kira. "Terim—"

"Asal dengan itu kau mau berkencan dengan ku" dan senyuman tadi berubah menjadi seringaian.

Sedari tadi gadis yang masih menata kaleng sarden sedikit menguping. Wajahnya merah padam menahan amarah. Tubuhnya seperti bergerak sendiri menarik pemuda itu keluar minimarket.

"Apa yang kau—"

'BYUUURR~"

Dan botol soju itu sukses mengguyur tubub Jeffrey dari kepala hingga kaki. "Bawa kembali uang mu pecundang" eugene melempar uang yang di pakai Jeffrey untuk membayar.

Wajah pemuda itu mengeras. Matanya jelas sekali meluapkan emosinya. Ia sudah di permalukan oleh seorang gadis didepan umum.

"Kau akan rasakan pembalasannya ! Dan kau juga Michelle !! Aku pastikan kau akan menjadi milikku !"

'BRAAAK!'

"Oh sorry"

Teriakan Jeffrey terpotong oleh sebuah Hoverboard yang menabrak tubuhnya hingga terjatuh dengan sangat tidak elit. Permintaan maaf yang keluar dari mulut si pemilik Hoverboard terdengar sangat tak tulus. Bisa ditebak ia dengan sengaja menabrak Jeffrey.

"Casey ?!"

"Sepertinya aku melewatkan hal seru teman-teman.." wajah datarnya berubah ceria begitu menyapa seruan eugene.

avataravatar
Next chapter